Monday, September 29, 2008

aku, diriku, kisah 18, dua balita dua kumpay



Orang Cililin suka ikan mas. Semua menyebutnya lauk emas. Di Jawa disebut tombro. Jenisnya, dibedakan dari warna sisiknya, ada yang disebut domas, belang batu, kumpay atau kamper. Kakekku memelihara ikan mas di sawah bersamaan dengan menanam padi. Bibitnya sebesar jari. Selama dua atau tiga bulan, sewaktu padi masih butuh banyak air, ikan mas itu dipelihara. Setelah sawah mulai tidak digenangi air lagi ikan pun dipanen. Membantu menangkap ikan menggunakan ayakan, anyaman bambu sebesar niru, memang asik. Badan berlepotan penuh lumpur menambah kegembiraan suasana panen. Aku biasanya bertelanjang saja. Tokh peristiwa ini tidak disaksikan supporter atau para penggembira. Apalagi camera-man, wartawan juru liput dan cheer-leader, tak ada laah….capek deh!

Asyiknya suasana akan berlanjut saat disambung dengan acara makan siang. Kali itu, dapat dipastikan, nasi putih tidak lagi ditemani sekedar ikan peda, ikan asin paling murah di kampungku. Lauknya pasti ikan mas yang sudah digoreng kering oleh nenek. Pasangan ikan mas yang akan disandingkan, sudah bisa diterka pasti tahu goreng, sambel terasi, kerupuk, lalapan mentimun dan daun antanan yang rasanya 'cengkring' di lidah.

Sambungan kegembiraan pasca panen ikan masih berlanjut. Keesokan harinya aku pasti akan diajak ke pasar. Aku dibelikan celana atau baju baru oleh kakek. Itu diperoleh dari uang keuntungan menjual ikan mas ke Pak Supriatna, tukang ikan yang akan menjualnya kembali di pasar. Tugas tambahanku adalah menjaga ikan mas agar tetap hidup. Airnya harus diperhatikan harus selalu bersih. Kalau airnya keruh binatang bersisik indah ini bisa tewas. Ikan mas yang mati tidak ada yang mau beli. Sampai pembeli terakhir pun ikan mas harus dalam keadaan hidup. Itulah kode etik jualan ikan mas di kampungku. Tidak ada ikan mati, meski diberi es, diperjualbelikan.

Lauk emas itu, kata latinnya adalah Cyprinus carpio. Kata ensiklopedi itu termasuk genus cyprinus dari family cyprinidae. Ordonya adalah cypriniformes dari kelas Osteichthyes, group Pisces dan Phylum Chordata. Kata-kata aneh itu yang berkesan cuma kata Pisces saja. Aku dilahirkan tanggal 13 Maret di bawah naungan zodiac Pisces, gambarnya dua ikan yang meniru posisi yin dan yang orang Korea.

Orang Inggris menyebutnya common carp. Orang Iran menamakan ikan mas ini dengan kata kapour. Orang Sunda tidak salah banget kalau menyebutnya kamper. Tapi kalau orang Rusia kebangetan, masa menyebutnya sazan. Orang Kazastan juga keterlaluan, dia bilang itu kalyntyr atau munke. Orang Turkmenian lebih gila lagi. Ikan mas disebut kepiz atau tennbalyk. Wah waah …..

Pemandian Sumurbandung itu sesungguhnya didapati ada dua kolam. Satu sumur atau kolam utama, ada di sisi utara bentuknya luas. Pemandiannya berwujud bangunan tembok permanen. Terpisahkan dengan jalan kampung selebar dua meter, di sisi selatan, terdapat kolam 'pembantu' dalam ukuran kecil. Bentuknya berupa lingkaran dengan jari-jari sekitar satu setengah meter saja. Kolam kecil ini bangunannya tidak permanen. Terbuka tanpa atap dan hanya diberi dinding anyaman bambu saja. Tapi tempat ini, meski terbuka, tetap teduh karena di pinggir kolam tumbuh pohon beringin selaku pohon perindang sekali gus tempat mata air kolam keluar.

Letaknya di sisi kiri rumah Ibu Maryamah. Oleh sebab itu tidak heran kalau kolam kecil ini lebih digunakan oleh keluarga tersebut bersama tetangga terdekatnya. Penduduk lain lebih suka menggunakan pemandian umum Sumurbandung utama yang luas dan berpenerangan listrik.

Di dalam kolam kecil ada dua ekor ikan kumpay yang berwarna oren dan ros. Ukurannya sudah cukup besar. Kira-kira sebesar paha orang tua. Keduanya selalu saling berdekatan bagai dua remaja sedang kasmaran. Kemana si oren berenang kesitu pula si ros mengikutinya. Ikan ini nampak sekali keindahannya karena air kolam sangat jernih alami. Penduduk tidak pernah memberi makan. Kedua ikan ini hanya memakan lumut-lumut yang tumbuh di batu-batu besar yang menjadi dinding kolam.

Satu hal yang menguntungkan. Ikan ini bebas dari kejailan dan gangguan. Semua orang memandang ikan ini sebagai makhluk keramat. Siapa berani mengganggu dia sendiri akan menanggung akibatnya. Kesakralan ikan ini dipercaya oleh banyak orang. Maka lestarilah ikan yang jumlahnya cuma dua ekor itu.

Suatu ketika kolam kecil nampak agak kotor. Itu diakibatkan sudah banyak daun beringin yang mengotori dasar kolam. Kalau dibiarkan lama-lama air kolam bisa bau dan mata air bisa saja tersumpat. Pada hari Minggu pagi penduduk bekerja bakti membersihkannya. Untuk sementara waktu Si Kumpay duo sejoli ditangkap dulu kemudian disimpan di dalam ember kaleng besar dengan diberi air kolam secukupnya. Ember diletakkan di dapur rumah Ibu Maryamah.

Paling lama satu atau dua hari kolam akan penuh air kembali. Jadi untuk hari Minggu dan Senin kolam kecil tidak akan digunakan. Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan untuk memperbaiki dinding kamar mandinya.

Pukul sembilan malam aku sudah tertidur lelap. Maklum hari Minggu aku bermain gangsing dan mencari buah saliara buat tembak-tembakan menjadikan tubuhku penat. Tiba-tiba saja terjadi kegaduhan yang membuat aku terbangun. Orang-orang, termasuk bapakku lari menenteng ember. “Kahuruan … kahuruan … kahuruannnn…!!” penduduk berteriak-teriak sekerasnya. Aku segera keluar rumah. Langit ternyata sudah membara. Kahuruan atau kebakaran terjadi nampak tidak terlalu jauh dari rumahku. Orang-orang berpekik Allohu Akbar …. Allohu Akbar bersahutan. Laki-laki dewasa bergegas membawa ember menuju lokasi terjadi nya kebakaran.

“Rumah Ceu Yoyom, yang terbakar,” ujar Bi Imah yang sempat melihat dari dekat dengan suara ngos -ngosan.

Bunyi api bergemuruh dan letupan bambu yang terdengar berderak-derak dengam asap membumbung menciptakan suasana kengerian yang mencekam.

Ceu Yoyom itu seorang bidan. Suaminya tentara yang berdinas di luar kota (aku lupa di kota mana). Ia tinggal bersama ibunya, Ibu Maryamah yang rumahnya di tepi Sumurbandung kecil itu.

Selang dua jam bapakku sudah kembali. Badannya kotor penuh warna hitam dari angusnya arang. “Kasihan Yoyom,” ujar bapak ketika menuju kami yang menunggu berdiri di muka rumah.

Bapak lalu bercerita, bahwa malam ini Ceu Yoyom sedang tugas piket di Rumah Sakit Pembantu Cililin, satu-satunya rumah sakit yang ada di desaku. Yang menunggu rumah dan dua anak balita adalah ibunya yaitu Bu Maryamah.

Seusai menidurkan si bocah dua balita, Bi Maryamah menutup kelambu. Lalu pergi ke rumah saudaranya yang tidak jauh letaknya. Hanya terhalang enam rumah saja. Ia mau minta tolong, dikerokin punggung. Ibu Maryamah merasa tidak enak badan. Masuk angin mungkin.

Belum saja selesai kerokan, orang-orang sudah berteriak ada kebakaran. Rumah Bu Maryamah terbakar. Rumah setengah batu setengah gedeg itu cepat sekali membara. Tetangga terdekat mencoba mendorong pintu rumah bagian depan tapi pintu tidak bisa dibuka. Dia pikir rumah itu dikunci. Rumah itu sesungguhnya tidak dikunci, hanya saja pintu itu bukan didorong tapi harusnya ditarik. Karena gugup dan panik apapun bisa terjadi. Yang jelas dua balita yang tidur di ranjang berkelambu tak terselamatkan.

Semuanya hanya bisa sesenggukan. Dini hari, jenazah balita itu sudah bisa ditemukan dalam posisi saling berpelukan dengan kondisi hangus terbakar. Keduanya segera saja dibalut dengan kain kafan.

Di dapur, di dalam ember kaleng yang besar, didapati pula bangkai dua ekor ikan kumpay yang juga nyaris menjadi arang.

Sejak kejadian itu orang-orang semakin percaya bahwa musibah dua balita itu berkaitan erat dengan masalah proses pemindahan sementara kedua ikan penghuni kolam Sumurbandung.

Sejak peristiwa itu, berhari-hari suasana sekitar kolam pemandian menjadi tidak nyaman. Ada semacam kesedihan bercampur kengerian menyelimuti dan mewarnai raut-raut muka penduduk yang biasa mandi dan mencuci di situ.

Aku sendiri, jika hari mulai gelap, memilih jalan putar tidak lewat sekitar kolam jika ada keperluan ke tempat temanku. Meski belakangan, Pak Tjip yang bekerja sebagai seorang polisi, mengatakan bahwa penyebab kebakaran adalah lampu tempel yang diletakkan di atas meja kecil, di dalam kamar, tersenggol kucing peliharaannya Bu Maryamah. Lalu api menyambar ujung kelambu dan membakar rumah sampai ludes. “Untung angin tidak sedang bertiup kencang,” sambung Pak Tjip kepada bapakku sehingga, katanya, api tidak merembet ke rumah tetangga yang berdekatan.


Aku, diriku, kisah 17, Babangi


Ada pabrik kerupuk di belakang rumah H. Mukmin. Pabrik ini berteknologi kuno. Atau supaya enak didengar, berteknologi tradisional. Perangkat yang digunakan, kayu, bambu, tali-tali ijuk. Logam yang digunakan itu berhubungan dengan masalah penggorengan, berupa wajan raksasa berikut seroknya, dan bagian perebusan berupa dandang ukuran jumbo.

Bahan bakar yang digunakan adalah kayu bakar. Minyak yang dipakai untuk menggoreng kerupuk adalah minyak goreng terbuat dari kopra buah kelapa. Lazim disebut minyak kelapa.

Bahan utama untuk membuat kerupuk adalah ‘aci sampeu’. Aci itu artinya tepung kanji, sampeu itu singkong atau ubi kayu. Campurannya, yang menjadikan kerupuk itu harum dan gurih, adalah terasi. Untuk keelokannya digunakan pewarna. Bahan kunyit alias kunir digunakan agar kerupuk berwarna kuning. Untuk warna hijau dibuat dari daun suji, sedang untuk warna merah dengan kasumba pemerah kue.

Cara membuatnya, kanji, dan terasi diberi air secukupnya. Diaduk dengan diberi pewarna maupun tidak. Kentalnya harus pas. Lalu dimasukkan kedalam tabung-tabung penampung. Tabung-tabung itu ditekan oleh engkol kayu panjang yang ujungnya dibebani berbagai ukuran batu besar. Adonan yang mendapat tekanan mencari celah-celah jalan keluar. Celah memang dibuat pada setiap tabung. Ada tiga lubang sebesar batang lidi, tempat keluar adonan. Buruh pembuat kerupuk menadah adonan yang jatuh ‘brojol’ seperti tali itu dengan sedikit digoyang-putar sehingga menjadi berbentuk bunga, bahan kerupuk mentah. Beberapa buah kerupuk mentah ini ditata di dalam niru yang terbuat dari anyaman bambu. Satu lempeng niru berbentuk persegi panjang ini bisa menampung lima puluh buah kerupuk mentah. Jika sudah siap, kerupuk mentah ini dikukus dalam pengukusan sampai kanji menjadi masak.

Kanji masak, sebutannya babangi, kalau sudah dingin, dibawa keluar untuk disimpan di penjemuran. Kalau hari panas penjemuran bisa memakan waktu tiga sampai lima hari.. Kalau musim hujan bisa lebih.

Babangi yang masih kenyal, kalau dimakan, rasanya enak kenyal-kenyil mirip permen karet. Meski rasanya agak asin tapi anak-anak doyan mengunyahnya. Tidak ada orang menjual babangi setengah kering, tapi anak-anak tokh bisa memperolehnya. Babangi yang dijemur dan terletak paling pinggir di ladang penjemuran menjadi sasaran operasi.

Dengan sedikit naik ke atas tembok pagar anak-anak bisa meraihnya meski harus susah payah untuk menjangkaunya. Anak-anak yang jangkung dan panjang tangannya bisa meraup lima atau enam babangi sekali ambil Tapi yang posturnya seperti aku, terlebih babangi yang di pinggir sudah didahului teman, hanya mampu gigit jari.

Untungnya solidaritas dan rasa setia kawan senantiasa dijunjung tinggi. Yang tidak memperoleh babangi akan diberi oleh yang babangi-nya paling banyak. Dengan adanya kesetiakawanan yang kondusif, rahasia pencurian babangi senantiasa di simpan di peti es. Seperti juga kasus korupsi, kami juga bisa menyembunyikan rahasia terbesar dalam berperi kehidupan anak kecil.

Meski rahasia sudah di-keep, tokh operasi tidak selalu berjalan mulus. Usep misalnya tertangkap tangan oleh pemilik pabrik kerupuk yang rupanya mulai kesal atas ulah anak-anak yang menjadi hama kerupuk.

Ia dinasehati lebih dari satu jam oleh pemilik pabrik. Meski Usep hampir nangis dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia pun menyatakan rasa penyesalannya. Hasilnya Usep dibekali kerupuk mateng yang sudah digoreng, masih hangat lagi, barang sepuluh buah.

Sejak kejadian itu kami menghentikan operasi. Komandan menangguhkannya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semuanya menunggu perkembangan lebih lanjut. Lagi pula minggu ini sudah mulai musim mangga. Operasi dengan sandi Babangi akan dialihkan ke medan lain, operasi mangga muda di kebun wak Haji Pelit.


Sunday, September 28, 2008

Aku, diriku, kisah 16, Si Uro, Nyi Omah, dan Si Juned


Ada tiga ‘bintang’ yang populer di era masa kecilku. Keterkenalannya trio ini ditandai dengan nyaris seratus persen dari seluruh populasi yang ada di Cililin mengenalnya. Di kalangan anak-anak sebayaku tokoh ini tidak saja dikenal, tapi sekaligus ditakuti kalau bersua vis to vis.

Aktor pertama yang akan dikisahkan menggunakan nick name sederhana, Si Uro. Di awal kiprahnya orang tua yang satu ini tidak lebih dari sosok seorang pembantu yang setia, rajin, tidak banyak omong. Perubahan jalan hidupnya dimulai dengan terjadinya tragedi kebakaran yang menimpa sederetan asrama Polisi Cililin.

Salah satu rumah merangkap warung dekat asrama, meski tidak ikut terbakar, adalah tempat Si Uro mengabdi. Asrama yang terbakar menyuguhkan tidak sekedar api yang berkobar menggila, tapi juga diselingi dengan berbagai bunyi dentuman dan rentetan bunyi mesiu yang ikut terbakar.

Sejak peristiwa langka yang mencekam itu Si Uro menjadi pendiam. Tingkahnya berubah. Kalaupun dia bicara itu hanya berupa gumaman yang tak jelas apa yang diucapkannya. Si Uro, ujar orang-orang, telah menjadi gila. Ia mulai menggelandang. Lebih banyak berada di sekitar pasar dan memunguti makanan sisa.

Ia menjadi beringas terhadap anak-anak yang sering melemparinya. Bocah-bocah senantiasa merasa takut, tapi bercampur dengan perasaan ingin tahu dengan apa yang diperbuat Si Uro. Jadinya mendekat juga. Anak-anak mulai membuat cerita dari satu kepada yang lain tentang kegalakan Si Uro. Gangguan berupa lemparan dengan batu-batu kecil atau berwujud cemoohan dengan mimik muka menirukan tampang Si Uro.

Tindakan ini memancing Si Uro menjadi alergi terhadap anak kecil. Dia selalu memandang anak-anak dengan penuh curiga. Matanya yang merah, kepala cukuran gundul dengan rambut yang mulai tumbuh pendek beruban membuat sosok Si Uro menjadi menyeramkan.

Aku sendiri tidak pernah mencari perkara dengannya. Aku lebih memilih menghindar untuk berpapasan dengan orang tua yang satu ini. Lagi pula, sebelum gila, Si Uro sering disuruh bapakku untuk bantu-bantu ala kadarnya sebagai alasan bapakku untuk memberi sedekah kepadanya.

Tidak ada yang tahu siapa kerabat Si Uro yang sendirian ini. Bahkan, cerita dari mana dan mulai kapan Si Uro, ketika muda usia, berada di Cililin. Semua orang hanya tahu, bahwa Uro muda bagai turun dari langit, tiba-tiba ada begitu saja.

Kini Si Uro, kalau siang hari, dapat mudah ditemui di lokasi pasar. Sebaliknya kalau malam hari, penduduk Cililin hanya bisa melihat tanda-tanda kehidupannya saja. Si Uro sejak sore sudah mendaki ke lereng bukit, menuju daerah yang dikenal bernama Gabus. Di sebuah goa, meski bukan belantara yang lebat, Si Uro beristirahat melepaskan penat setelah seharian mengais sisa-sisa makanan dari tong sampah yang satu ke tong berikutnya.

Sebagai isyarat, Si Uro setiap malam senantiasa membuat api unggun pengusir dingin dan sekaligus penerangan dan pertahanan dari binatang malam di mulut goa. Nyala api ini bisa dilihat dari kampungku..

Suatu ketika, manakala nyala api unggun Si Uro tidak terlihat lagi, orang mulai curiga. Lagi pula Si Uro tadi pagi tidak nampak keberadaannya di pasar sebagaimana biasa dia menggelandang. Ketidakhadirannya sungguh terasa dan menjadi pembeda warna hari-hari suatu desa. Semakin siang orang-orang semakin penasaran, mereka mulai saling bertanya. “Kemana Si Uro yaa…,” guman orang-orang.

Ketika malam berikutnya juga nyala api unggun tidak muncul, penduduk mulai menduga .Pasti orang tua yang malang itu sakit keras. Keesokan harinya beberapa orang dewasa memutuskan untuk mendaki bukit Gabus, mencari tahu apa yang terjadi dengan Si Uro.

Siang hari, selepas dzuhur, barulah berita jelas menyebar ke peloksok desa. Si Uro telah tiada. Si Uro mati. Lelaki senja yang kesepian itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir tanpa sanak keluarga, tanpa kehadiran siapa-siapa. Berselimutkan dinginnya bukit, Si Uro terbujur kaku di pembaringannya, di atas sehelai tikar kumal yang ditumpuki dengan beraneka kain ‘gombal’ yang lusuh.

Anak-anak bersedih. Lelaki tua yang selalu diganggunya, sehingga dia balas mengganggu, kini telah tiada. Ada sesuatu yang hilang dalam aktivitas keseharian di desa. Terutama di minggu-minggu pertama. Saat itu, orang masih menitikkan airmata duka untuk Si Renta tanpa sanak keluarga. Kisah Si Uro ‘happy ending’-nya sedih dan menyedihkan.

Cerita selanjutnya tentang tokoh kedua bernama Nyi Omah. Seorang gadis yang lumayan elok parasnya. Kuning langsat kulitnya, rambutnya panjang terurai. Sayang, entah apa yang membuatnya, ia hilang ingatan. Dengan berpakaian yang tidak karuan, sebagaimana lazimnya orang gila, kecantikan Nyi Omah menjadi tersembunyi. Ia suka menggelandang dan tidur di kios pasar yang gelap dan sepi karena, kalau malam , ditinggalkan pedagang.

Nyi Omah termasuk orang gila yang tidak membahayakan anak-anak. Kategori jinak. Oleh sebab itu anak-anak suka memberi Nyi Omah permen yang disebut ‘es bon-bon’. Nyi Omah orangnya pendiam. Dia menenteng keranjang tempat menyimpan baju-baju lusuh yang merupakan uniform kebesarannya.

Suatu ketika Nyi Omah tiba-tiba tampil bersih. Pakaian lusuhnya tidak nampak lagi. Dia berpakaian rapi dan necis. Lebih aneh lagi Nyi Omah tidak muncul di pasar. Ia tampil tidak jauh dari rumahku di Sumurbandung.

Jarum jatuh saja orang kampung pasti semua tahu. Apalagi ada perubahan drastis yang terjadi atas performance Nyi Omah. Semua orang bergunjing dan bergosip. Setelah diselidiki, Nyi Omah ternyata dirawat oleh Pak Sobur, duda mantan guru yang juga agak samin. Maksudnya kadar gilanya hanya sedikit saja. Orang Sunda bilang "owah".

Nyi Omah yang kini nampak ayu tinggal di rumah Pak Sobur, duda tua yang seorang diri. Orang-orang tidak bisa berbuat apa-apa. Orgil ketemu orgil, ya sudah biarin saja. Siapa tahu dua-duanya bisa sembuh dari owahnya.

Hasil dari symbiose mutualistis ini sudah dapat diterka ujung ceritanya. Nyi Omah berbadan dua. Orang-orang berkomentar. Pak Sobur, duda tua, gila lagi, ternyata untuk urusan yang satu masih tokcer. Cerita selanjutnya tentang Nyi Omah aku hentikan sampai di sini saja. Happy ending-nya, apakah hepi atau sedih, aku tidak mampu memberi argumentasi.

Kita beralih saja ke aktor ketiga, aktor terakhir. Juned namanya. Jalannya tegap badannya cukup bagus layak untuk menjadi, minimal, anggota OKD. Apa itu OKD? Itu tuh Organisasi Keamanan Desa. Mirip Kamra atau Satpam jaman sekarang. Ia berpakaian hijau ala tentara. Dia dididik kemiliteran dan dilengkapi dengan senapan tempo doeloe bernama ‘dorlok’. Kalau sudah dibunyikan ‘dor’ peluru terlepas dari senapan, tapi selanjutnya pause dulu. Tembakan berikutnya, senapan harus dicolok-colok terlebih dahulu guna mengeluarkan selongsong peluru yang masih tertinggal di dalam laras, baru bisa diisi mesiu .

Kembali ke masalah Si Juned. Ia lebih duluan hadir, sebagai sosok orang gila, dari pada dua tokoh yang telah kita bahas di depan. Juned kedudukannya jauh lebih tinggi satu anak tangga dibanding Uro dan Omah.

Juned lebih cerdik dan memiliki jam kerja yang jelas. Juned memiliki pakaian dinas dan pakaian rumah. Di jam kerjanya Juned nyerocos ngomong apa saja tidak berstruktur. Ada beberapa phrase kata-kata jargon yang kerap dilontarkan berulang-ulang sehingga menjadi populer di kalangan anak-anak.

Ia sering menyebutkan ‘plong batujajar’ dalam dialek sunda yang kental. 'Raja Hendrik' dan 'Ratu Melmina' (mungkin maksudnya Wihelmina) adalah ucapan lain yang reflek keluar begitu saja dari mulut lincahnya.

Pakaian kebesaran Si Juned bagai busana selebritis. Penuh bertaburkan kancing-kancing yang dijahit di berbagai permukaan bajunya yang berkantong banyak. Yang paling dihapal anak-anak, seperti juga aku ketika mulai bisa membaca, adalah tulisan ‘HIK’ yang terbuat dari sederet kancing cetet di punggungnya. Sampai kini misteri singkatan HIK ini tak pernah ada yang mampu memecahkannya. Saya yakin pemecah sandi sekelas CIA , Mosaad, KGB, atau BIN tidak mampu menjelaskannya.

Dalam tugasnya Juned memiliki ‘tupok’ alias tugas pokok yang jelas Istilah kerennya, Juned memiliki Visi dan Misi yang clearly. Ia mendatangi kios demi kios para penjual sembako yang ada di pasar Cililin. Dari setiap pedagang beras Juned meminta segenggam beras yang dimasukkannya ke dalam tas kain yang selalu bertengger di pundaknya. Dari kios tukang ikan asin dia hanya meminta sepotong kecil ikan gabus atau secomot ikan teri. Dari tukang sayuran dia hanya meminta sejumput kecil lombok rawit atau sebuah lombok besar, hijau atau pun merah. Atau mungkin memungut sebutir kentang, atau sebatang wortel. Pokoknya Juned tidak pernah serakah. Dia tidak meminta banyak. Least but not last.

Jika pasar sudah usai dikitarinya, ia memindahkan operasinya di sekitar terminal bis. Kepada sopir-sopir atau penumpang yang sedang jajan di warung kopi ia menyodorkan tangannya mengharap sedekah. Sopir-sopir lazim memberi uang receh barang lima atau 10 ketip. Ada juga yang memberi sebatang rokok putih merek Kresta, atau Escort, atau Kansas, Kartika Eka Paksi, Commodore, Wembley, Bom, atau Lancer. Jarang orang mengisap rokok kretek yang cuma dua jenis saja yaitu merek Soepiah dan Djarum.

Juned beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Setelah itu dia pulang ke desa Cipetir. Di sana anak dan istrinya sudah menunggu menyambut tas doraemon yang dipenuhi aneka bawaan dari pasar. Di luar jam kerja Juned berpakaian sederhana dan bersih. Juned tidak banyak berkata-kata. Meniru No Comment-nya pejabat kalau diwawancarai wartawan.

Bahkan, walau masih memakai pakaian dinas, jika bersua di perjalanan pulangnya, Juned tidak nyerocos seperti di pasar tadi. Kalau ditanya, “Mang Juned dari mana? Jawabnya cukup ramah,: “Biasa Den, Emang dari pasar …” jawabnya datar.

Dengan penampilan seperti itu orang-orang tua di desaku memberi penilaian bahwa Si Juned itu sesungguhnya tidak gila. Dia hanya memilih lakon seperti itu untuk menjadi seorang kepala keluarga yang dituntut harus mampu menafkahi anak istrinya.

Konon khabarnya hasil operasi pasarnya, setelah disortir dan dipilah-pilah, benda-benda itu laku dijual kepada tetangga dengan harga miring. Kehidupan tidak banyak memberi pilihan kepada Juned. Ia memilih peran gila yang tak mungkin orang akan tergila-gila dengan job-nya itu. Hanya satu saja keisengan Juned yang cerdik tapi super nakal itu. Dan itu senantiasa menjadi kenangan atau mimpi buruk yang tak pernah terlupakan bagi anak gadis remaja atau ibu muda. Juned sering menyergap dan memeluk cewek. Untuk urusan harrasment yang satu ini, memang universal. Mau gimana lagi, he… heee….. Hukum kita tidak mampu menjerat tindak pidana yang pelakunya orang gila. Kecuali kalau ada novum, bahwa Juned terbukti hanya sekedar gila-gilaan, eh.., maksudnya gila bo'ongan. Anda berminat jadi Juned masa kini?


Aku, diriku, kisah 15, Jurig Kebon Kopi



Orang Cililin, seperti juga orang Sunda pada umumnya, tahu jurig. Lima huruf yang membentuknya tidak istimewa. Tapi maknanya, terutama bagi anak-anak seperti saya dulu, adalah sesuatu yang menakutkan. Jurig itu hantu. Orang Jawa menyebutnya genderuwo.

Jenis jurig itu, sebagaimana juga genderuwo, aneka ragam. Hantu perempuan yang bolong punggungnya, disebut kuntilanak. Orang Sunda menyebutnya cukup kunti saja, nggak ditambahi lanak. Orang Betawi menyebutnya sundel bolong.

Jika dilihat dari lokasi tempat hantu itu berada, di sunda ada yang disebut jurig jarian. Ini bukan hantu berjari. Jarian itu artinya tempat pembuangan sampah. Hantu yang menempati TPS ini disebut jurig jarian. Kalau hantu yang suka mangkal di pohon-pohon besar, seperti kalong atau kelelawar besar, disebutnya ‘kelong wewe’. Kerjaannya, kata nenekku, suka nyolong bayi yang akan dibawanya ke atas pohon.

“Pohon sukun yang ada dekat makam Pasirmeong itu tempatnya kelong wewe,” sambung nenek waktu bercerita perihal perjurigan.

Di kampung Sumurbandung, kata Maman dan Mimin, si kembar putra Mang Karmin, di kebon kopi, di sisi barat tanah kosongnya Haji Mukmin, dikenal ada jurignya. Cep Yayat putra Haji Mukmin pemilik bis Tjintamanah itu, ujar Mimin, pernah melihatnya. Waktu itu malam hari Cep Yayat sendirian mau menengok kolam lele. “Mukanya hancur, jalannya sempoyongan,” tambah Mimin mengulangi ucapan Cep Yayat sembari menyeringai menirukan mimik si hantu.

Cerita keangkeran kebon kopi sudah populer bagi warga Sumurbandung. Hantu di situ suka iseng. “Suka menyiram orang lewat di situ dengan pasir,” ujar Ma Elim tetangga sebelah.

Ada kalanya, hantu itu hanya memperlihatkan dirinya berupa asap putih disertai bau kemenyan. Konon khabarnya, kejadian ini biasa terjadi pada saat malam Jum’at kliwon. Oleh sebab itu Ma Elim suka memberi sesajen yang diletakkan di bawah pohon kopi paling ujung, sisi selatan, dekat selokan yang serem. Komposisi alam di situ menyempurnakan situs kebon kopi menjadi tempat yang ideal untuk dihuni makhluk halus. Sesajen kesenangan hantu adalah secangkir kecil kopi pahit, gula aren dan kelapa masing-masing cukup sekerat kecil.

Di kebon kopi yang dimaksud, kalau malam, memang gelap gulita. Tidak ada lampu listrik atau lentara yang dipasang. Padahal kebon kopi itu jalan terdekat satu-satunya buat keluargaku kalau mau ke alun-alun. Adakalanya bapakku, malam hari, menyuruh membeli rokok commodore kesayangannya di toko Nugraha miliknya Haji Dodoh. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus melewati kebon kopi. Meski baru jam tujuh malam, di situ memang sepi. Tetap saja ngeri dan bulu kuduk berdiri. Jalanpun setengah berlari.

Bahkan, suatu ketika, aku melihat makhluk hitam seperti mengendap-endap mau menerkamku di kebun pisang miliknya Bu Guru Tjitjih yang ada di sisi barat kebon kopi. Aku berteriak dan lari kembali ke rumah sambil cerita sama seluruh penghuni rumah bahwa aku baru saja melihat jurig. Tubuhku gemetar. Ibu memelukku dan memberi aku minum teh tawar. Bapakku malah ngakak. Sambil pergi mau menengok jurig kebon kopi, katanya.

Lima menit bapak sudah kembali. Ia cerita bahwa yang bergerak-gerak di kebun pisang itu bayangannya daun pisang yang sudah kering tertiup angin. “Ini jurignya sudah bapak potong,” ujar bapak sambil menaruh daun pisang yang dimaksud.

Kakakku tertawa. Tapi ibu tidak tertawa. Ibu, seperti juga aku, percaya kalau di situ memang ada ‘penghuni’-nya. Kata ibu, “Jangan gegabah ngomong, bisa-bisa suatu ketika kita diujinya.”

Aku percaya pada bapakku karena aku tahu bapakku memang pemberani dan tak percaya takhayul. Tapi aku tetap saja tak bisa tidur. Di satu sisi aku juga percaya ibu. Katanya Allah itu menjiptakan makhluk, selain khewan dan tumbuhan, ada tiga jenis yaitu; jin, setan dan manusia. Yang suka mengganggu itu, sering disebut jurig, adalah jin kafir yang perbuatannya selalu jahat. Hiii .........


Monday, September 22, 2008

Aku, diriku, kisah 14, Sparta versus Athena


Yunani sering disebut sebagai negeri yang dihuni para dewa. Yunani kuno senantiasa menjadi pusat perhatian dunia karena kemajuan peradabannya. Hal-hal yang berkaitan dengan agama, filsafat, ilmu, peperangan dan olahraga berkembang dengan subur yang berawal dari kegelisahan terhadap hakikat hidup..

Adalah dua negara ‘polis’ di Yunani. Namanya Sparta dan Athena. Sparta terletak di ‘dalam’, di lembah yang dikelilingi gunung-gunung. Untuk menjaga aktualisasi diri mereka mengembangkan ilmu kedigjayaan berperang. Mereka harus tambil garang. Istilah itu sekarang menjadi sebutan tampil spartan. Athena berada di pantai yang mendorong majunya perniagaan. Ilmu-ilmu seni dan filsafat berkembang dengan baik. Perekonomian yang mensejahterakan adalah pertahanan yang kuat.

Sparta memilih pendekatan kekerasan, otoriter dan militeristik. Athena berbeda 180 derajat. Mereka memilih cara-cara lebih manusiawi. Mereka mengembangkan sistem demokrasi. Kedua sistem yang diterapkan negara kota ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dengan otoriterisme yang dijalankan Sparta, kehidupan mereka lebih teratur daripada Athena. Sedangkan dengan demokrasi yang dikembangkan, Athena menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan para filsuf, kaum cendekiawan, dan para seniman.

Sparta memiliki kekuatan militer yang kuat. Meskipun minim dengan orang-orang terpelajar, disiplin berkembang dengan baik. Raja Leonidas I, misalnya, dengan dibantu 300 pasukan Sparta mampu menghancurkan ribuan tentara Persia.

Akan halnya Athena, dengan para pemikir yang jenius seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, berjaya mengukir dunia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tempat yang lebih tinggi dan berkembang dengan pesat.

Sparta dan Athena, dalam rentang waktu yang panjang, senantiasa berseteru tiada habisnya, meski perseteruan ini membawa Yunani kejenjang kemajuan.

Jauh dari Yunani kuno, di desaku yang jauh dari keramaian kota, ada dua kelompok kampung yang senantiasa berseteru. Meski tak sampai perang antar kampung. Itu adalah kampung Kauman dan kampung Sumurbandung. Kauman lokasinya di sisi barat selatan alun-alun Cililin. Sesuai namanya, kampung ini berada di belakang mesjid agung. Berada di kaki bukit Gegerpulus yang hijau subur. Banyak guru agama, para ustadz dan Haji.

Sebaliknya Sumurbandung menempati daerah datar yang ada di sisi Utara timur alun-alun. Kampungnya padat, didapati banyak warung dan toko tempat perniagaan. Pengusaha angkutan bis dan pabrik wajit Cililin tinggal di sini. Satu-satunya tempat kursus mengetik hanya ada di kampung Sumurbandung.

Persaingan kedua kampung memang unik untuk disimak. Kondisi ini menjadi pendorong dan memotivasi keduanya untuk tidak terkalahkan. Dalam bidang olah raga, sepak bola utamanya, hanya pertandingan dua kampung inilah yang paling menyedot animo penonton. Kedua pihak suporter pasti hingar bingar saling ejek dan saling maki. Pemain akan tampil ngotot, ekstra keras dan penuh trik yang mengundang tepukan.

Dalam bulan puasa, pertandingan adu mercon bumbung, biasa disebut lodong, tiada habisnya. Bunyinya memekakkan telinga. Adakalanya kaca-kaca jendela pada bergetar terkena getaran ‘bom’ karbit. Seusai tarwih bunyi meriam bambu itu akan saling timpal bersahutan. Para donatur mengumpulkan uang untuk membeli karbit sebagai bahan ‘mesiu’ meriam bambu. Jangan sampai hari belum pagi persediaan mesiu telah ludes.

Anehnya sehebat apapun persaingan itu terjadi tak pernah kedua kampung ini saling merusak apalagi saling menyakiti. Keduanya seperti sepakat, hati boleh panas tapi kepala tetap dingin. Persaingan Kauman versus Sumurbandung di masa kini tak masuk di akal bisa terwujud.

Cerita Sparta dan Athena sengaja saya tulis di depan. Dalam nuansa perseteruan abadi itu, entah siapa yang memulai, ada ide pemberian nama terhadap kesebelasan bola yang ada. Kesebelasan anak-anak Sumurbandung memilih nama Athena. Sedangkan anak Kauman menyandang sebutan Sparta.

Bendera kesebelasan dibuat. Athena memakai dasar kuning dengan gambar obor merah dan tiga buah lingkaran olahraga. Sparta memakai dasar hijau dengan gambar bola berwarna kuning. Kauman memang fanatik warna hijau.

Pimpinan kesebelasan Athena adalah Mang Cecep, pamanku. Ia pencetak gol yang disegani kiper-kiper lawan. Di deretan pasukan Kauman, putra mahkota pak Lurah Syahlun yaitu Kang Ucup sebagai panglima perangnya. Hati-hati dengan Kang Ucup si jago silat ini, ia pandai mematahkan tulang kering lawan.

Di Athena banyak pemikir dan banyak ide. Nama Athena, supaya lebih bermakna, kemudian sepakat diubah menjadi Atena, kependekan dari Angkatan Teruna Nasional. Pembinanya, kebetulan Dan Yon 327 Infanteri, setuju dengan nama yang lebih berbau nasionalisme ini.

Di Kauman tetap Sparta seperti Sparta yang asli di negeri Yunani yang tersohor keras, disiplin tapi sportif. “Nggak pake singkatan-singkatan. Pokoknya Sparta ya tetap Sparta!” ujar Cep Dayat sekretaris organisasi saat itu.

Perayaan 17 Agustus adalah puncak acara persaingan. Dua kampung ‘polis’ ini mengeluarkan berbagai kekuatan utamanya. Dalam tarik tambang, lomba karung, dan panjat pinang. Dalam bidang olah raga populer adu gengsi terjadi lebih terasa. Para orang tua, selaku sponsor, biasanya sudah bisa menebak. Sparta bakal unggul di bidang apa dan Atena di bidang apa. Bapak bilang sama aku: “Bulutangkis pasti dimenangkan Atena. Tapi sepakbola, seperti tahun lalu juga, pasti digondol Sparta.”

Ramalan bapakku memang tepat. Atena dan Sparta masing-masing punya keunggulan. Lebih dan kurangnya itu, bagi desa, membuat suasana menjadi lebih dinamis.

Konon khabarnya Athena dan Sparta di Yunani itu pernah terserang wabah penyakit. Banyak orang yang mati. Akan halnya Sparta dan Atena di desaku, entah sebab apa, digerogoti waktu akhirnya sampai pada kondisi kedua nama besar itu redup untuk kemudian tak pernah terdengar lagi.

Sepak bola Cililin yang berintikan gabungan Sparta-Atena, pada masanya sangat disegani berbagai kesebelasan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung. Bahkan Wowo dan Omo, pemain utama Persib, pernah ditugaskan selaku talent scoutting mencari pemain berbakat dari Cililin.

Mang Cecep, pamanku, pernah mengejutkan dalam kejuaran bulutangkis di Bandung yang diselenggarakan KOGOR (Komite Gerakan Olah Raga) semacam KONI masa kini. Tapi, bagaikan terkena epidemi, kejayaan itu surut dan kemudian sirna. Bendera Sparta maupun Atena tak pernah dikibarkan lagi.

Sebagian wilayah Sparta dan Atena, di negeri Cililin, terendam waduk Saguling bersama 30 desa lainnya dalam hamparan seluas 6.176 hektar berupa sawah ladang dan kampung halaman. Banyak penduduk yang pindah jauh ke kota-kota lain mencari penghidupan yang lebih baik. Bakat-bakat itu, baik yang pemikir maupun yang spartan, ikut pula termutasikan. Meski kini tidak atas nama Cililin lagi, tokh masih ada dan berkiprah di pertiwi Indonesia juga. Semoga.


Aku, diriku, kisah 13, Gelasan


Kurus, tinggi semampai, memakai ban atau ikat pinggang lebar berwarna perak, hitam legam, itu apa? Teka-teki ini sering dilontarkan Kang Ucup, penjual kumang atau kalomang di muka sekolah, yang suka melucu kepada anak-anak yang membeli kepiting berumah keong itu. Jawabnya, sambung Kang Ucup, dia menunjuk tiang telepon yang berdiri di muka pagar sekolah.

Di sisi timur alun-alun, agak ke pojok selatan, ada tiga batang tiang telepon tertancap membentuk formasi segitiga sama sisi. Tonggak itu sangat kokoh menurut pendapatku. Di puncak tiang, formasi segitiga diikat dengan palang-palang besi dicat brons. Di tengah, kira-kira setinggi dua meter dari permukaan tanah, juga ‘dibending’ dengan besi serupa. Pada palang besi yang bawah inilah kami para ‘bocah’ sering memamerkan kepandaian bergelayutan, atau sekali-sekali ada juga yang bergaya akrobatik meniru sirkus.

Aku biasanya hanya bisa duduk di pinggir palang besi itu, berpegangan erat ke tiang telepon, Agak miris mau meniru acting teman-teman. Duduk di situ itu berebutan jika ada pertandingan bola. Rasanya luas penglihatan memirsa jalannya pertandingan dari ketinggian dua meter.

Pada palang yang atas berderet mangkok putih yang masing-masing memikul kawat tembaga. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa benda itu namanya isolator yang mempunyai daya tahan isolasi listrik sebesar 10 megaohm. Mangkok putih itu tidak pernah mulus. Bagian bawahnya pasti sempal. Ia senantiasa menjadi idaman anak-anak di kala musim layangan tiba.

Pecahan isolator itu diyakini sangat ampuh untuk dijadikan bahan utama gelasan. Benang yang diberi gelasan berserbuk pecahan isolator unggul dalam bertarung, jaya dalam berlaga.

Aku membuat gelasan sendiri. Bahannya adalah sebuah ketapel dan batu kerikil sebesar biji salak. Kemudian putih telur perekat kayu bernama ‘ka’, jeruk nipis, zat pewarna atau gincu. Kok ada ketapel? Ya, ketapel atau catapult kata turis, digunakan untuk menembak mangkok putih yang ada di puncak tiang telepon tadi. Kalau dapat beberapa keping pecahan keramiknya lalu aku tumbuk sampai halus. Ukuran kehalusannya diukur dengan saringan dari kain. Yang lolos menembus saringan itulah yang akan menjadi bahan utama gelasan.

Benang yang akan digelas, harus terpilih. Biasanya cap kambing nomer 24 untuk layangan kecil, cap gajah nomer 8 untuk layangan ulur yang agak besar. Benang ini, sebelum digelas, dibentangkan kemudian digesut dulu dengan menggosoknya menggunakan kain atau sabut kelapa yang diberi putih telur. Membentangkan benang lazimnya digelar di dua tiang jemuran baju. Di putar berkali-kali sesuai panjangnya benang yang akan digelas.

Penggesutan ini bermaksud agar benang tidak berbulu, serat kapasnya terintegrasi secara utuh sehingga benang bertambah liat dan kuat, tidak mudah putus. Kalau sudah kering benang hasil gesutan digulung kecil agar bisa masuk dalam kaleng yang akan dipakai dalam proses penggelasan. Biasanya pecahan genting ukuran bujur sangkar bersisi dua sentimeter digunakan untuk menggulung benang.

Adonan gelasan, serbuk keramik, perekat ‘ka’, gincu, sedikit jeruk nipis dan air secukupnya dididihkan sambil terus dikocek agar ramuan gelasan teraduk merata. Kalau sudah mendidih di angkat. Setelah setengah dingin ‘gendul’ benang yang akan digelas lalu dicelupkan. Setelah hangat suam-suam baru benang dibentangkan kembali.

Caranya, ujung benang ikatkan di tiang jemuran. Lalu aku berjalan mundur membawa kaleng ramuan gelasan sambil menekan benang yang keluar dari kaleng. Hal ini dilakukan agar benang tetap berpermukaan halus dan rata tapi serbuk kacanya bisa menempel dengan baik. Setelah semua benang sudah digelas, biarkan sampai kering.

Perekat kayu yang bernama ‘ka’ itu terbuat dari bahan kulit sapi yang seperti lendir. Kalau digunakan membuat gelasan baunya tidak sedap. Oleh sebab itu jeruk nipis mengurangi aroma tidak enak itu. Di sisi lain, jeruk nipis membuat benang gelasan tidak terlalu getas. Penggunaan ‘ka’ yang berlebihan juga bisa membuat benang menjadi getas, mudah patah, kemudian putus.

Kalau sudah kering, benang digulung menggunakan kaleng susu bekas. Bukan susunya yang bekas, tapi kaleng susunya. Agar benang tidak terkena karat maka kaleng hendaknya diberi alas kertas koran yang dililitkan. Sebelum benang gelasan digulung terlebih dahulu benang pengulur yang digulung. Benang pengulur biasanya jauh lebih panjang dari pada benang gelasan. Menyambungkan benang pengulur dengan benang gelasan ada caranya tersendiri. Harus diperhatikan putaran benang harus searah. Istilahnya kepala benang harus disambungkan dengan ekor benang. Jika kepala ketemu kepala, atau ekor ketemu ekor, benang akan selalu melintir sehingga ketika ditarik akan mudah kusut. Benang menjadi rusak dan pada akhirnya bagian yang kusut terpaksa harus diamputasi.

Benang gelasan yang dipakai tidak boleh terlalu panjang. Dia hanya ada di atas saja mulai dari layang-layang itu sendiri. Kalau kita mengadu layangan, benang gelasan itu jangan sampai ada dalam genggaman tangan kita. Benang gelasan sangat tajam. Dia bisa lebih tajam dari pisau. Sudah banyak jari yang luka teriris benang gelasan. Yang digenggam dalam memainkan layang-layang adalah benang pengulur.

Benang gelasan juga tidak boleh terlalu pendek. Jika musuh pandai ‘menyasar’ dengan kecepatan tinggi, layang-layang lawan akan menyabet benang kita serendah mungkin. Bila perlu dekat tangan pemain. Kalau yang tersabet itu benang pengulurnya sudah dapat ditebak pasti layangan kita kalah. Putus terbang melayang dengan benang yang terbawa layang-layang cukup panjang.

Menurut aku lebih berseni mengejar layang-layang putus dari pada bermain mengadu layang-layang. Mengejar dan berebutan memberi rasa puas yang tersendiri. Kalau dapat bukan main bangganya. Sebaliknya kalau luput, kecewa terasa menyesakkan dada.

Saat aku kecil berburu layangan itu jujur. Yang diperkenankan diambil, sesuai tradisi, hanya benangnya saja. Layang-layangnya dikembalikan kepada yang punya. Anehnya, kok semua orang berbuat sama, jujur tak mau curang. Padahal kalau mau diambil, siapa yang tahu.

Para pemburu layangan seperti aku sudah hapal posisi para pemain layangan. Ini layang-layang punya Kang Engkos, ini punya Pak Sarbini. Sehingga kalau mengembalikan tepat sasaran kepada pemiliknya. Ada kalanya mengenal pemain dari motif gambar layang-layangnya. Pak Gaos misalnya, ia senang menggunakan layang-layang berwarna merah motif ‘kapinis’ mirip sayap dan ekor burung sriti. Kang Engkos layangan bondol warna biru tua bermotif ‘wajit’, jajaran genjang, di bagian kepala layang-layang.

Den Kadar, memang orang kaya, membeli layang-layang pun dari kota Bandung. Motif yang digemarinya aneka ragam. Gambar tengkorak paling disenanginya. Kalau mengembalikan layang-layang kepadanya, biasa kita diberi tip. Lumayan bisa membeli segelas es cincau.

Kecelakaan dalam mengejar layang-layang kerap juga terjadi. Sholeh, anak kauman sebayaku misalnya, pernah jatuh di jembatan bambu. Alat vitalnya nyaris putus tersayat bambu tepi jembatan. Khabar itu, layaknya di kampung, segera beredar luas. Semua orang tua memberi nasehat agar jangan suka mengejar-ngejar layang-layang. Hal yang klise ini menimpa diriku juga. Tapi, nyatanya nasehat datang, pemburu layangan tetap berlalu dan berpacu!

Kalau melihat mangkok putih di atas tiang telepon. Aku suka tersenyum sendiri. Semasa kecil benda itu selalu aku rusakkan. Setelah dewasa, tidak dinyana, aku bekerja di telkom bagian jaringan yang tugasnya, antara lain, mengganti isolator yang pecah itu.


Sunday, September 21, 2008

Aku, diriku, kisah 12, Mencari Belut


Pagi sangat indah. Mentari di ufuk timur memancarkan sinar keemasannya, bak muncul dari peraduannya di ujung danau Poso yang terhampar seperti lautan. Embun pagi masih enggan tersibak dari permukaan danau yang terkenal sangat dalam. Penduduk masih satu dua orang saja yang lewat di atas jembatan sungai Poso. Air sungai bersih dan jernih tanpa polusi. Ia berhulu di danau Poso. Bunyi alirannya gemericik terdengar di telingaku yang saat itu tengah berpegangan pagar pengaman di sisi timur jembatan kayu.

Di tepi sungai berderet karamba-karamba terbuka, terbuat dari bambu yang dibelah-belah kecil. Ujung-ujung bambunya yang tengadah ke langit tidak sama panjangnya, memberi aksentuasi pemandangan yang asimetris. “Sungguh elok pemandangan sungai dan danau Poso ini,” gumamku memuja kebesaran Tuhan.

Rekaman peristiwa itu terlintas di pikiranku. Pada waktu itu aku masih bertugas sebagai Sekretaris Kepala Wilayah Telkom Sulawesi. Potret danau Poso dan Hotel Tentena saat itu belum berhiaskan tragedi kerusuhan Poso yang berkepanjangan dan menyakitkan. Terkenal kisah pilunya sampai ke manca negara.

Di balik karamba-karamba bambu, dalam kerangkeng, terdapat berbagai ukuran makhluk danau Poso yang sudah berhasil ditangkap. Makhluk ini, tentu saja berbeda dengan makhluk misterius yang ada di danau Lochness yang masyhur itu, bernama “sogili”. Ia mirip naga licin tapi hidup di air dan tak berkaki.

Ia adalah sejenis belut berukuran anakonda. Untuk mengetahui besarnya sogili, gampang saja kita lihat dari dekat di kolam kecil milik hotel Tentena. Lingkaran perutnya, sebesar paha Maradona maha bintang sepakbola dari Argentina yang gempal itu. Panjangnya bisa mencapai dua atau tiga meter.

Sogili hidup di air tawar. Menurut sahabatku, Munawar yang ustadz itu, sogili halal di makan karena bukan amphibi. Ia bernapas dengan insang. Rasanya gurih. Turis dari negara Matahari Terbit sangat menggemari daging Sogili.

Sogili sulit dikembangkan di daerah lain. Pernah seorang teman mencoba membawanya ke Makassar dalam kantung plastik besar dan di beri air danau serta oksigen. Tokh di perjalanan, raksasa yang langka ini, menghembuskan nafasnya sebelum sampai di tujuan.

Aku tidak bermaksud menjadi penangkap belut jenis sogili ini. Kisahku hanya menggumamkan kembali masa kecilku. Pengisi waktu luang seusai pulang sekolah. Tentu saja waktunya tengah hari yang lagi terik menyengat. Aku mencoba berprofesi menjadi pemancing belut amatiran. Itu bisa terwujud manakala sawah-sawah masih bergelimang air. Padi belum tumbuh tinggi.

Memancing belut dalam ukuran tidak sampai sepermilnya sogili alias rata-rata ukuran belut sawah itu sebesar jari tangan. Paling besar sebesar jempol, paling kecil sebesar kelingking. Pendek kata disimpulkan average ukurannya sebesar jari tengah.

Umpan yang digunakan ada dua macam. Kalau di sawah lagi banyak anak katak hijau, disebut ‘bancet’, maka aku tidak usah membawa umpan dari rumah. Sebelum mancing belut, di sawah, menangkap bancet dulu. Tapi kalau bancet sudah tumbuh besar, maka aku memilih mencari cacing saja di kebun atau di dekat tempat pembuangan sampah.

Kail yang digunakan untuk menangkap belut berbeda dengan kail untuk menangkap ikan. Kail belut disebut ‘urek’. Tali urek terbuat dari serat kulit pohon aren yang disebut ‘papagan kawung’. Kawung itu artinya pohon aren. Serat aren ini, wujudnya seperti benang tapi agak kaku, panjangnya sekitar dua atau tigapuluh sentimeter perhelainya. Kemudian beberapa helai serat digabung dan dipilin, sebutannya ‘dirara’, seperti teknik membuat tambang atau tali rami. Ukurannya kecil saja agar lentur dan mudah didorong masuk ke lubang tempat belut berada.

Di ujung tali, sebelum proses ‘merara’ dilakukan, harus sudah tersedia mata kailnya. Aku biasa membuat mata kail urek dari kawat baja yang ada di lingkaran ban luar mobil bekas. Yang bekas itu bannya bukan mobilnya. Teman-teman menyebutnya hil. Nulisnya hil apa hill aku nggak tahu persis. Mengambil kawat dari dalam pinggiran ban tidak boleh asal gampangan saja, misalnya dibakar. Kawat bajanya akan menjadi lembek sehingga tidak akan kuat menahan beban ketika terjadi kasus tarik menarik dengan sang belut.

Harus diambil secara manual saja menggunakan pisau yang tajam lewat operasi caesar, dengan cara ditoreh, dicongkel dengan obeng, dan dipotong dengan tang potong.

Kawat yang terpilih lalu diasah ujungnya agar menjadi runcing seperti tajamnya jarum jahit atau peniti. Kemudian, setelah runcing, ditekuk dengan dibantu paku yang ditancapkan di balok kayu atau menggunakan pelat tang yang mirip mulut crocodille. Kalau bentuk dan ukurannya sudah pas seperti kail ikan yang dijual di toko maka kawat sisanya dipotong. Ujung kawat yang lurus dan tidak runcing lalu dipukul agar pipih sehingga waktu 'merara' serat 'papagan kawung' talinya tidak melorot dan lepas dari kail.

Panjang tali urek dibuat cukup 75 sampai 100 sentimeter saja panjangnya. Tokh tali yang masuk ke lubang belut, paling dalam, cuma 25 senti saja. Kalau sudah selesai mancing, urek hendaknya disimpan dengan cara dibentangkan lurus agar urek tetap bagus tidak tertekuk-tekuk. Biasanya urek dikaitkan di ‘gedeg’ dinding rumah. Ujung ekornya dijepitkan dengan lidi yang diselipkan dicelah-celah anyaman gedek dinding rumah.

Memancing belut itu cukup dengan cara memasukkan urek ke dalam lubang yang ditengarai ada belutnya. Lalu sambil digerak-gerakkan pelan mulut kita mengeluarkan bunyi meniru bunyi cecak. :”Cek…cekk …. Cekk……”. Entah siapa yang memulai bahwa belut senang bunyi mirip cicak itu. Penelitian dan riset siapa yang dijadikan referensi. Nyatanya setiap anak sebayaku senatiasa melakukan 'protap' (prosedur tetap) yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas penangkapan belut.

Ketegangan terjadi manakala tali urek bergerak perlahan-lahan ditarik belut yang memakan umpan. Kalau sudah masuk sepuluh senti maka tali kita tarik dengan harapan mudah-mudahan kail tersangkut di bibir tipisnya belut. (Belut itu tidak dower lho!). Jika berhasil nyangkut maka akan terjadi tarik menarik adu tenaga antara belut dengan si pemancing. Sedikit demi sedikit tali urek bisa ditarik. Pantangannya jangan dihentak. Pada saat kepala belut mulai nongol dari lubangnya maka kita akan bisa melihat ukuran besarnya belut. S, M, L, XL, atau XXL. Begitu setengah badan belut keluar, jari tangan kanan segera menjepit belut yang licin dengan kuncian ala yudo. Perut belut menempel di punggung telunjuk dan jari manis, sebaliknya punggung belut ditekan oleh perut jari tengah. Belut yang tertekuk itu segera dipukulkan ke pematang sawah agar KO. Kalau belum sampai hitungan sepuluh belut masih menggeliat boleh kita banting sekali lagi biar betul-betul KO. Belut yang berhasil ditangkap ‘diti’ir’ dengan menggunakan rumput alang-alang liat dan panjang. Diti’ir itu adalah lubang insang belut ditusuk dengan rumput hingga tembus ke mulutnya. Kalau hasil memancing ada lima atau tujuh ekor belut maka tentengan si pemancing akan nampak keren. Yang terbanyak hasilnya akan berwibawa saat berjumpa dengan sesama pemancing belut. Oleh sebab itu belut tidak umum disimpan di dalam kantung.

Pulang memancing, jika dapat, belut harus diurus sendiri. Belut ditoreh perutnya menggunakan sembilu alias kulit bambu yang tajam bagai pisau. Isi perut belut dibuang. Belut dicuci menggunakan pucuk daun jambu agar lendir dan bau amisnya hilang. Kalau sudah bersih punggung belut dipukul-pukul menggunakan ulekan kayu agar dia menjadi pipih dan tulang punggungnya agak remuk sehingga kalau diberi bumbu bisa meresap. Di samping itu mudah untuk digorengnya.

Nasi merah yang hangat, sambel terasi yang pedas ditemani terong kupa yang berwarna ungu dan kacang panjang, maka hidangan belut akan terasa menjadi lauk yang paling lezat. Jangan lupa, makanlah belut goreng di kala perut sudah lapar. Dijamin makan menjadi nikmat.

Saat itu lauk sangat langka. Keberadaan daging belut di piring merupakan peristiwa yang jarang diperoleh. Tentu saja nuansa ini akan menjadi memori yang indah. Nostalgia terhadap rasa daging belut, kelak setelah dewasa, akan menjadi suatu kerinduan yang menyiksa. Mendapatkan daging belut di kota tidak lagi mudah.

Ada hikmah yang dapat diambil dari proses memancing belut. Keuletan belut harus ditiru. Dalam dunia bisnis yang kejam, kalau hendak disergap pesaing, berkelitlah dan harus licin bagikan seekor belut!


Aku, diriku, kisah 11, Teve pertama di desaku


Banyak orang bercerita bahwa Vladimir Kosma Zworykin, orang Amerika asal Uni Sovyet, telah berhasil menciptakan pesawat televisi cathode ray tube tahun 1923 yang dilakukannya di Westinghouse Laboratories, Pittsburgh. Lalu penyempurnaannya dilakukan John Logie Baird di USA, tahun 1925, yang untuk pertama kalinya berhasil memancarkan siaran langsung percobaan dalam durasi pendek.

Lima tahun kemudian, tahun 1930, di Negeri Paman Sam ini sudah ada siaran langsung, tanpa rekaman atau siaran tunda. Baru pada tahun 1938 pertelevisian dilengkapi perangkat rekaman yang mampu merealisasikan siaran tunda. Setahun kemudian lahir banyak siaran televisi nonstop yang tumbuh menjamur di USA.

Tapi di desaku, sumpah mati, televisi pertama lahir di rumahnya Haji Maksum, pemilik penggilingan padi berkapasitas raksasa. Haji yang terkenal dermawan ini membeli pesawat televisi hitam putih merek Philips berteknologi tabung elektron.

Televisi disiapkannya dalam rangka menyambut pembukaan pesta olahraga Asian Games ke empat yang akan dibuka oleh Bung Karno, idola orang-orang tua di desaku saat itu. Katanya acara akan dilaksanakan tanggal 24 Agustus 1962. Saat itu aku duduk di kelas enam SR.

Haji Maksum sahabat erat bapakku. Aku sering bermain-main di pabriknya sehingga aku tahu percakapan mereka tentang akan adanya televisi. Di rumah Haji Maksum ini aku sudah dianggap keluarga sehingga bebas keluar masuk rumah dan pabriknya. Istrinya, Hj. Komariah, sering menyuruh aku membantu jaga tokonya. Aku paling senang kalau disuruh menimbang gula pasir atau kacang tanah yang sudah dikupas. Nanti kalau sore hari, setelah toko tutup, aku dibekali sebungkus kacang shianghai yang gurih dan enak di mulut sebagai upah membantu melayani pembeli.

Setelah televisi yang didatangkan dari Bandung sampai maka ramailah rumah Haji Maksum. Orang-orang tua, ‘geng’-nya Haji Maksum, mengerubungi benda hitam yang dipercaya bisa memperpanjang mata itu. Petugas yang membawa televisi itu memasang antena yang dipasang di loteng menggunakan pipa yang menjulang. Antena itu tinggi sekali menurut ukuran saya. “Sepertinya lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi yang ada di kebun belakang pabrik,” pikirku.

Televisi sudah bisa di tes dua atau tiga hari menjelang acara pembukaan. Aku tidak bisa melihat karena pesawatnya masih ditaruh di kamar pak Haji.

Pada hari pembukaan itulah televisi diletakkan di atas meja di lapangan tempat menjemur padi. Jemuran ini berlantaikan semen plesteran, cukup luas sehingga mampu menampung orang banyak yang akan ikut serta menonton Asean Games.

Malam yang dinanti tiba. Televisi disetel. Anak-anak duduk paling depan teratur berjejer membawa sarung untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Orang-orang dewasa duduk di kursi, di bagian belakang. Gambarnya hitam putih dan tidak terlalu jelas maklum jauh dari antena pemancar. Lebih sering keluar bintik-bintik hujannya. Bahkan wajah Bung Karno yang di-close up, sering meleyat-meleyot bagai pohon cemara tertiup angin. Tapi itu tidak menjadi masalah buat kami. Layar kaca ajaib ini layak dibicarakan berhari-hari.

Seusai nonton, sebelum berkomentar tentang materi siaran, anak-anak bercerita bahwa semua badannya terasa gatal-gatal. Pengakuan itu bak gayung bersambut. Semua anak-anak merasakan hal yang sama. Gatal. Betapa tidak, kita memang nonton di lantai tempat menjemur padi. Bulu-bulu butiran padi yang halus itu menjadi biang kerok gatalnya badan. Gatal ini sama persis dengan gatal yang kurasakan manakala ada kentongan dan aku mengungsi malam hari ke dalam rumpun padi di sawah. Aha... penontonnya emang gatel ..... Gratis kok pengen nyaman!

Selang beberapa hari kemudian televisi ke dua hadir di desaku. Kali ini hartawan bernama Haji Asmuni, pemilik bis Sukalaksana, juga membelinya. Dari rumah haji Asmuni ini tidak banyak reportase yang bisa disampaikan. Tidak ada cerita, karena televisinya disiarkan dalam limited edition alias edisi terbatas. Peruntukannya sangat jelas, bahwa property ini didedikasikan khusus keluarga saja. Yang bukan keluarga dilarang ngintip! Makanya sampai sekarang pun aku belum pernah nonton di rumahnya karena, ya ... karena aku bukan mantunya! (Padahal aku naksir putrinya yang bernama Neng Sholihat).

Penduduk hanya bisa melihat bahwa di rumah itu pasti, sepasti-pastinya, ada televisi karena, secara de facto, ada antena teve nampak menjulang sama tingginya dengan antena yang ada di rumah Haji Maksum.

Dengan hadirnya tabung kaca ajaib di rumah Haji Maksum, aku bisa melihat dan mendengar Titiek Puspa yang cantik dan merdu suaranya melantunkan lagu kesayanganku, ‘Minah Gadis Dusun’. Sampai kini aku hapal syair lagu itu. Penyanyi lainnya yang kugemari adalah Lilis Suryani dengan lagunya ‘Tjai Kopi’ dan ‘Gang Kelintji’. Band yang paling disukai anak-anak adalah ‘Band Botjah’ yang lupa siapa-siapa saja awak band-nya.

Ketika Achmad Albar terkena kasus narkoba, anganku di bawa ke rumah Haji Maksum pula. Rocker gaek itu pernah menjadi seorang jenderal. Aku sangat menggemari filmnya yang berjudul ‘Djenderal Kantjil’ yang ditayangkan TVRI. Achmad Albarnya belum kribo. Di hatiku aku ingin seperti jenderal kancil. Kalau perang menang terus.

Menantikan televisi di rumah kakekku atau bapakku, rasanya lama sekali. Bahkan almarhum kakekku, sampai akhir hayatnya tak pernah memiliki benda bernama televisi itu.