Thursday, October 2, 2008

Aku, diriku, kisah 20, Pesta Kawin


Untuk ukuran desa, saat itu, ini termasuk nyeleneh bin eksentrik. Acara pesta pernikahan kakakku dimulai dengan prosesi seserahan. Pihak pengantin laki-laki bersama rombongannya akan datang ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah dibalut dengan tatacara perkawinan adat sunda.

Kedatangan pihak pria ini tidaklah tangan kosong. Buah tangan, barang seserahan, harus dicangking dalam penampilan yang indah. Masing-masing benda dibawa oleh anggota rombongan yang mengenakan busana terbaik.

Kakakku selaku staring utama, memakai jas beskap sunda lengkap dengan blangkon dan keris berjalan di muka barisan, dinaungi payung kebesaran bagai satria dari keraton Pajajaran. Barisan dipimpin oleh Ki Lengser selaku wakil sekaligus juru bicara yang disewa secara khusus.

Iring-iringan start dari rumah Haji Maksum di kampung Pasar Lama akan menempuh jarak satu setengah kilometer menuju finish di rumah kedua Haji Hasan di kampung Kauman. Bapak memilih rumah H. Maksum sebagai tempat pemberangkatan, karena rumahnya besar berada di tepi jalan besar sehingga rombongan akan leluasa. Rumahku, di samping lokasinya di gang juga terlalu dekat menuju rumah calon besan.

Anak sulung dinikahkan sangat membahagiakan kedua orang tuaku. Pesta diselenggarakan besar-besaran. Saat itu ekonomi bapak juga masih menunjang. Barang bawaan sangat banyak. Menurut tetanggaku belum pernah ada iring-iringan sepanjang ini. Kepala barisan sudah sampai di muka rumah yang dituju, ekor barisannya masih berada di posisi start.

Pakaian-pakaian wanita yang elok, mulai dari kain jarit, kebaya, selop berwarna keemasan, ditata dalam keranjang-keranjang rotan yang dihias warna warni, dibawa oleh rumbongan pager ayu yang cantik-cantik. Aneka perhiasan emas, berupa anting-anting, gelang, kalung, bros dibawa oleh ibu-ibu keluarga dekat dalam cupu manik di atas nampan berenda-renda.

Kaum pria membawa benda-benda yng ukurannya besar atau bobotnya berat. Binatang misalnya, ada yang menuntun seekor kerbau gemuk, lima ekor domba dan lima ekor kambing, sepasang angsa putih, bahkan kelinci pun ada. Ayam betina dan ayam jantan ikut berbaris. Ayam pelung, di dalam sangkar, keluruk terus seolah mengucapkan selamat berbahagia kepada mempelai. Ia tidak takut oleh banyaknya orang. “Emang mah kebagian membawa marmot, “ ujar Mang Nunu pamanku.

Hasil bumi juga turut serta menyemarakkan suasana bagai pesta perayaan Hari Kemerdekaan. Beras Cianjur yang punel dan harum dalam ‘tolombong’ dipikul sebanyak lima pikulan. Beratnya dua kuintal, kata kakek. Padi yang masih ada gagangnya, dipikul kira-kira sepuluh pikulan. Padi yang berjuntai bagaikan rambut yang bergoyang-goyang tertiup angin ketika pikulan berjalan. Di belakang padi turut pamer singkong dan talas bentul besar-besar. Umbi berikut pohonnya di bawa serta. Pisang raja cere, pisang Cililin kualitas cap jempol, bertandan-tandan dengan warna kuning kecoklatan indah dipandang, bergerak-gerak dengan irama timbul tenggelam seperti orang hanyut, dipikul dalam nada langkah yang rancak.

Anak-anak, termasuk aku, berada di barisan paling belakang, bertindak selaku penggembira. Berjalan bagai pawai penuh nuansa bahagia. Meskipun, saat itu, aku belum punya sepatu.

Acara utama akad nikah berjalan sangat lamban menurutku. Anak-anak sudah tak sabar ingin segera menyantap hidangan gulai daging yang harumnya sudah lebih dulu hinggap di ujung hidung.

Untung ada acara sawer yang bisa melupakan sejenak. Nyanyian kidung penuh nasihat kehidupan bagi mempelai yang dilantunkan pesinden kondang, meski suaranya merdu, tidak terlalu dihiraukan. Tapi siraman beras bercampur kunyit dan uang logam sangat kami perhatikan. Semua anak-anak berebutan memburu oang logam yang berjatuhan gemerincing. Bukan main banyaknya uang logam yang disawerkan. Anak-anak puas hampir semua memperoleh koin.

Pesta sungguh meriah. Mulai pagi hingga siang semua muka nampak ceria. Di bawah terop berhias, dalam hujan kilatan lampu blitz dari juru foto, semuanya nampak bergembira. Terlebih pada saat acara makan siang. Masakan yang dibuat lezat cita rasanya. Opor ayam sangat menantang, gulai kambing dan kerbau seperti menghimbau. Sate kambing dan sate ayam dengan aroma yang khas disediakan berpiring-piring tiada habisnya seolah mengajak berpacu adu kekuatan perut.

Pencuci mulut, buah pisang raja mateng di pohon, sungguh manis dan enak di lidah. Aneka jenis minuman seperti sirup es kelapa berwarna merah jambu. Cendol dari bahan beras berwarna hijau diseduh gula aren dan santan, berlimpah ruah.

Belum lagi kue-kue tradisional di toples dan lodor. Ada rengginang, burayot, kue samboja, kariwel, kue bugis, tape ketan baik yang hitam maupun yang putih kehijauan. Opak ketan, sejenis kerupuk, tersedia di dalam blek-blek kaleng, bersama opak kolontong yang manis. Kue kering seperti kue lebaran juga tersedia.

Saat foto bersama aku di sisi pengantin tapi agak ke belakang dikit. Adikku sengaja kusuruh berdiri di mukaku. Aku malu kalau kakiku ikut terekspose. Maklum kakiku nyeker .. he..hee….

Siang hari pesta akad selesai. Rombongan, kecuali pengantin, pulang ke rumahnya masing-masing. Bapakku masih sibuk berbicara dengan para panitia yang sengaja dibentuk. Pesta belum tuntas. Justru acara hiburan baru akan dimulai nanti malam. Atas ijin yang diberikan Pak Lurah, bapak boleh menyelenggarakannya di alun-alun Cililin. Acara bukan hanya semalam. Bapak akan memberikan hiburan gratis kepada seluruh penduduk selama tujuh malam.

Nanti malam acaranya adalah seni tradisional yang disebut Pantun Beton. Entah apa koq ada istilah betonnya padahal tidak ada bangunannya. Apalagi cor-coran semen!

Pantun ini adalah seni bertutur suatu cerita hikayat-hikayat sunda kuno, seperti dalang tapi tanpa wayang, diiringi dengan gamelan sunda. Sisipannya adalah nyanyian dari para pesinden yang cantik-cantik. Ada lima pesinden yang bergantian mengumandangkan lagu, baik yang sunda pakem mapun sunda pop yang lagi populer seperti Bajing Luncat, Bangbung Ranggaek, Bubuy Bulan, Neng Geulis, Panon Hidung dan Mojang Priangan.

Pertunjukan dimulai pukul setengah delapan, ba'da shalat Isya. Alun-alun dipenuhi pengunjung tidak saja penduduk Cililin tapi juga ada yang datang dari kecamatan tetangga seperti Batujajar, Cihampelas dan Sindangkerta. Pedagang makanan, pakaian dan mainan anak-anak ikut menyemarakkan suasana. Acara berakhir lewat tengah malam.

Malam kedua, ketiga dan keempat, berturut-turut diputar film layar tancap. Pertama film koboy yang digandrungi anak-anak berjudul Duel on The Missisippi. Malam kedua Tarzan. Penutup film produksi Filipina berjudul Darna si pembela kebenaran yang berperang membasmi ratu ular, si ratu kebatilan. Aku senantiasa terkenang dengan film Darna ini. Darna adalah tokoh wanita yang diperankan seorang aktris cantik. Kesaktiannya sangat mengagumkan dalam menaklukan ular-ular besar yang dikerahkan si ratu batil. Aku jadi ingat ular sanca cerita kakekku yang ‘digawingkeun’ di pohon beringin di alun-alun.

Acara terakhir adalah acara puncak. Malam itu dilangsungkan pertunjukan wayang golek. Dalang Kupa adalah dalang bertarif mahal. Didampingi pesinden utama yang lagi kondang yaitu Titim Fatimah. Saat itu di Jawabarat hanya ada dua pesinden kesohor. Upit Sarimanah di deretan terdepan. Titim yang baru naik daun berada di peringkat dua.

Di malam terakhir ini alun-alun Cililin sungguh dibanjiri lautan manusia. Semua ingin melihat dari dekat seperti apa sih wajahnya Titim itu. Suaranya memang ciamik. Dengan sound system yang didatangkan dari kota Bandung, suara merdu itu menggema dan menempel di dedaunan pucuk cemara di bukit-bukit yang mengelilingi desa Cililin.

Pertunjukan wayang berakhir sebelum adzan subuh berkumandang. Ketika bubar semua merasa puas atas suguhan wayang maupun pesindennya. Meski ngantuk semua memuji ki dalang dan Titim yang suaranya jernih dan lantang. “Tidak mustahil beberapa bulan ke depan Titim bisa saja menggeser posisi Upit Sarimanah,” ujar Pak Nana guru kesenian di SMP Cililin.

Alun-alun sudah sepi tapi anak-anak masih berbalut sarung bertumpukan di bawah panggung. Tidur di bawah pentas bukan hal yang baru. Setiap ada acara wayang di alun-alun kami tidak terlalu memperhatikan cerita wayang. Yang penting adalah bermain kejar-kejaran, jajan kacang sangrai yang garing, atau makan kupat tahu kalau dibelikan orang tua. Setelah penat, belum tengah malam, kami semua memilih tertidur pulas di bawah panggung.

Bubarnya acara tidak menghentikan aktivitas di rumahku. Bapakku harus menghitung isi koceknya. Berapa banyak harta yang terkuras. Berapa banyak sisa kewajiban yang harus dilunasi. Total jenderal berapa banyak biaya yang dikeluarkan. Untuk sebuah kebanggaan dan harga diri orang desa memang konsumtif begitu. Istilah kerennya value for money. Eh kebalik, money for value!


aku, diriku, kisah 19, Kang Ateng



Kakakku yang paling sulung, Kang Ateng, orangnya keren. Ganteng abis deh. Orangnya perfectionist. Cute, charming dan handsome. Entah apa yang dimakan ibuku saat mengidam kakakku itu. Aku senantiasa iri dan bangga kalau melihat ketampanan kakak. Bukan cuma aku seorang yang memuji kakakku. Paman, bibi, bahkan kakek yang pecinta wayang golek melukiskannya menggunakan kata-kata puitis Ki Dalang. Katanya bagaikan "lalaki langit lalanang jagat, sakti kawanti-wanti, gagah samanca buwana."

Kalau mau menggambarkan keelokannya dengan rangkaian kata-kata, harus memakai seloka, pantun, madah atau puisi. Paling tidak menggunakan tamsil Gurindam Dua Lusin seperti ini:


Laksamana malang melintang,

Burung Blekok terbang di ladang,

Parasnya tampan tidak kepalang,

Gagah elok enak dipandang.


Ia punya kelebihan pandai merancang busana. Umpama hidup sejaman, dia tidak kalah dengan reputasi Itang Yunasz, Robby Tumewu atau pun Robby Darwis. Eh, yang terakhir itu perancang busana apa pelatih sepakbola? Maaf kalo-kalo salah ye.

Kang Ateng dapat dukungan financial yang memadai. Waktu itu ia sudah duduk di bangku SMP. Jangan heran, SMP doeloe orangnya banyak yang udah punya kumis. Jadi tak perlu heran kalau anak SMP itu udah mirip-mirip anak SMA atau bahkan mahasiswa tahun pertama saja layaknya.

Bapak memberi previlege kepada kakakku untuk mengambil barang-barang keperluannya dengan bayar di belakang atas tanggungan ayahanda. Toko yang ditunjuk adalah tokonya Teh Elis yang berdiri di deretan depan pasar Cililin.

Aku sangat hafal, barang-barang apa saja yang suka diminta dari Teh Elis itu. Itu karena akulah yang disuruh mengambil benda-benda yang dibutuhkan kakak. Minyak rambut pasti Cap Dengkak. Kalengnya berbentuk oval bergambar wanita cantik dengan pose kaki agak mekangkang. Dalam bahasa sunda disebut ngadengkak! Tulisan di kaleng terbaca, Lavender Pomade, Brilliantine. Kalau tidak ada cap dengkak boleh di-subsitute dengan Erasmic yang tempatnya kaca transparan. Warna pomade-nya hijau. Tutupnya dari logam, bisa diputar.

Bedak dingin yang diminta pasti Tjap Saripohatji. Wujudnya berupa butiran sebesar telur cecak terbungkus kertas warna kuning seperti amplop ukuran bujur sangkar. Di tengah-tengah bungkus dipasang potret wanita dengan action mirip Jamu Nyonya Meneer. Kakakku emang pesolek. Kalau mau tidur mukanya dilaburi bedak dingin. Katanya menjaga agar kulit muka senantiasa halus. Selain memakai Saripohaci, menjelang tidur kakakku sibuk membungkus kepalanya dengan kain. Ini menjaga agar rambutnya yang selalu diset menggunakan benda bernama catok tidak menjadi rusak bentuk sisirannya. Semuanya itu dilakukan sendiri. Saat itu, di desaku, belum ada ‘binatang’ yang bernama Salon.

Mencatok rambut dilakukan subuh usai sembahyang. Besi berbentuk gunting tapi bulat dan tumpul dipanaskan di atas kompor. Kalau sudah panas diangkat lalu dicoba dulu ke kertas koran. Jika panasnya sudah cukup baru rambutnya diplintir agar jadi ikal berombak. Rambut jadi rapih tidak ada yang jocong, yang membahayakan pedagang balon gas. Kalau bapakku lagi bercanda, Kang Ateng sering dipanggil dengan sebutan Koboy Catok.

Penampilan kakak bukan ‘mengarang’ sendiri. Semua itu berkiblat kepada penampilan idolanya, sang legendaris Elvis Presley. Baju yang seperti kaus t-shirt berkerah, dengan kancing di dada memakai tali, dihiasi jumbai-jumbai mirip pakaian indian suku Apache, kakakku punya. Warnanya hijau Kermit hasil rancangan sendiri yang dijahit oleh Kang Dodo langganannya. Tampilan itu ia lihat di layar kaca, cinemascope istilahnya, berjudul Love Me Tender dari Twentieth Century Fox, Loving You dari Paramount, dan Kid Galahad dari United Artists.

Seusai mengenakan baju itu yang ternyata sangat pas, kakakku langsung pergi ke tukang foto studio. Posenya berdiri agak menyamping dengan kaki kanan naik ke kursi. Wajah tersenyum melihat ke kamera. Meski belum technic colour foto itu sangat indah. Kegantengan kakakku diekspoitir abis di media seluloid itu. Aku sendiri sangat suka melihat potret itu. Bahkan potret itu, belakangan sudah direpro dan dibesarkan, banyak keluarga menyukainya. Di rumah ibuku ada satu ukuran 10R telah diberi bingkai yang bagus.

Kegantengan kakakku terkenal tidak hanya di desa tapi meluas ke peloksok sekecamatan Cililin. Bahkan tembus ke kecamatan tetangga. Selain cakep, kakakku pandai bermain gitar. Dia bermain orkes dengan teman-temannya. Beberapa kali dalam event penting lingkungan desa kakakku sering manggung. MC-nya selalu menyebutkan satu persatu personil orkes. “Gitar pengiring dipegang oleh…… Ateng Hendradjajaaaa…” pekiknya yang langsung disambut oleh tepukan para penonton terutama gadis-gadis desa yang ada di deretan depan.

Walaupun baru SMP kakak sudah berkali-kali berganti teman dekatnya. Setahuku yang pertama adalah Neng Hilda anaknya Den Edi pemilik Bis. Saya suka sama Neng Hilda. Orangnya cantik, kulitnya bersih, rajin sembahyang. Bapaknya juga kaya. Dan, terutamanya, Neng Hilda sering memberiku kue-kue kalau aku main ke rumah Deden adiknya. Yang kedua, Neng Eti putrinya Haji Dodoh pemilik toko Nugraha di muka alun-alun Cililin tempat aku disuruh membeli rokok commodore itu. Neng Eti kelihatannya agresif. Kalau ngobrol sama kakakku, sering duduk nyerempet-nyerempet.

Pacar yang ketiga namanya Neng Djudju. Kulitnya putih bersih, rambut keriting kecil warna pirang dengan rambut jatuh sampai di pinggang. Neng Djudju bersahabat dengan Aisyah yang rumahnya saling berhadapan. Ibunya Aisyah jualan pisang goreng. Kalau aku disuruh kakakku mengembalikan buku ke Neng Djudju, aku pasti dibelikan pisang goreng buatan ibunya Aisyah itu. Pisang nangkanya manis, tepung beras asli digoreng pakai minyak klentik buatan sendiri. Sungguh lezat tiada tara. Emh …

Beberapa bulan berlalu aku tidak pernah mendapat instruksi yang berkaitan dengan Neng Djudju. Ternyata kakakku sudah putus lagi. Entah yang mana sih yang memenuhi seleranya. Saat itu kakakku kelihatannya sibuk mau menghadapi ujian akhir SMP. “Barangkali ia mau berkonsentrasi penuh pada pelajaran,” pikirku.

Suatu hari kakakku memanggilku. Ia menyuruh menyerahkan surat dengan amplop indah warna merah muda. Pesannya serahkan kepada putrinya Haji Hasan. Aku bilang bahwa di situ itu ada dua gadis, sama besarnya sama pula cantiknya. Yang membedakan cuma warna kulitnya, yang satu putih bagai salju dan yang satunya agak gelap sawo matang. Kakakku bilang terserah aku saja yang mana saja. “Semuanya sama saja,” ujarnya.

Aku pergi ke toko daging Pak Haji Hasan yang di alun-alun itu. Di dalam toko ada Ibu Haji Dioh seorang, tengah duduk sambil menghitung uang dari laci meja dagangannya. Di sebelah toko adalah ruang tamu rumahnya. Pintunya terbuka tapi tidak ada siapapun di situ. Dua gadis yang menjadi tujuan juga belum keluar. Padahal hari menjelang pukul empat sore.

Sembari menunggu munculnya bidadari, aku menebak-nebak, bidadari yang mana yang keluar terlebih dahulu. Yang putih itu namanya Ceu Ai, sedang yang agak hitam adalah Ceu Jamilah. Kalau aku boleh memberi penilaian, sepertinya Ceu Ai lebih unggul satu point dari adiknya.

Ceu Ai dan Ceu Jamilah mesti hampir sama besarnya dan hampir sama cantiknya bukanlah gadis yang dilahirkan kembar. Mereka kakak beradik normal, selisih satu tahun. He.. hee.. Bu Haji Dioh dan Pak Haji Hasan tidak ikut KB karena memang belum ada program itu. Anaknya, setahuku ada Kang Engkos, Ceu Haji Kulsum, Ceu Yoyoh, Ofan, Iim, Wawan, Ceu Ai, Jamilah dan siapa lagi ya, pokoknya buanyaak.

Bersamaan dengan tutupnya warung daging keluarlah satu bidadari. Ceu Ai menengok dari pintu entah mencari siapa. Aku yang sedang berputar-putar bergelayutan di pipa besi tiang loteng segera memanggil karena Ceui Ai kelihatannya akan masuk lagi. Aku berlari dan menyerahkan amplop merah muda yang sejak tadi kusimpan di balik baju. Ketika kuserahkan amplop itu jadi agak lembab terkena keringat badanku.

“Ceu Ai ieu aya titipan ti Kang Ateng,” ujarku dalam bahasa sunda.

Begitu amplop berpindah tangan aku segera berlari membuat Ceu Ai tak sempat mengucapkan sepatah katapun. Aku langsung tancap gas untuk menyampaikan laporan. Biasanya kalau tugas terselesaikan aku diberi tip buat beli combro panganan khas di desaku.

Aku merasa senang menyampaikan surat itu karena pilihanku yaitu Ceu Ai, pas sekali. Umpama yang keluar Ceu Jamilah, surat itu mau tidak mau pasti aku serahkan kepadanya. Surat yang kusampaikan itu rupanya menjadi suatu pembuka jalan kehidupan kakakku.

Usai membaca pengumuman hasil ujian SMP yang dipampang di sekolah, kakakku riang gembira. Ia lulus. Malam harinya bapak dan ibuku berdiskusi perihal kelanjutan studi kakak. Di Cililin tidak ada SLTA. Sudah pasti kakak harus sekolah di kota. Di Cimahi atau di Bandung sekalian.

Beberapa hari kemudian bapak memberi tahu bahwa kakak diterima di SMEA Jalan Wastukencana, Bandung. Kakak akan tinggal di Bandung, di rumah istri keduanya Haji Maksum pengusaha pabrik beras sahabat berat bapakku. Katanya Haji Maksum dan istrinya sudah bersedia menampung. Bahkan kakak itu dianggap sebagai anaknya, karena Bu Haji (aku lupa namanya) tak dikaruniai anak. Cuma lokasi rumahnya itu di Jalan Lodaya, jadi agak jauh ke Wastukencana.

Berita ini segera menyebar di desaku. Jang Ateng, putra sulungnya Pak Momon, akan pindah ke kota Bandung untuk sekolah. Semua orang sepertinya kagum, karena saat itu hanya satu dua saja keluarga yang mau menyekolahkan anaknya sampai harus pindah ke kota.

Ceu Ai menanyakan kepadaku kapan Aa (maksudnya Kang Ateng) pergi ke Bandung. Saya bilang hari Minggu tiga hari lagi. Ceu Ai kelihatan seperti ada sesuatu yang berat di hatinya. Ia menitipkan sepucuk surat kepadaku. “Nih buat Aa, “ katanya dengan pandangan menerawang entah kemana. Aku melihat ada titik bening air mata yang menggelayut di kelopak matanya. Butir itu nampak akan jatuh. Ia pun lantas berlari kembali ke rumahnya. Aku hanya ikut merasakan, seperti ada sesuatu yang hilang.

Setahun dua tahun berlalu. Kakakku senantiasa berkiriman surat dengan Ceu Ai. Aku merasa lega. Takutku kakak, yang biasanya mudah ganti pacar, tergaet oleh gadis kota. Saya bayangkan pasti teman-teman sekolahnya itu cantik-cantik. Penyakit kakak bisa kumat kalau melihat cewek semlohai.

Suatu ketika, tiba-tiba di rumahku kedatangan tamu istimewa. Pak Haji Hasan dan Bu Haji Dioh datang bersilaturakhmi malam-malam. Aku bisa menangkap percakapan mereka. Topik bahasan adalah tentang kakakku. Haji Hasan merisaukan jauhnya lokasi kakakku dengan Ceu Ai, takut menjadikan rencana besanan menjadi bubar. Intinya Pak Haji Hasan, yang terkenal tegas itu, menawarkan satu-satunya pilihan seperti lagunya Elvis Presley. It’s now or never!

Kondisi yang menyulitkan posisi ini akhirnya harus ditebus dengan patahnya studi kakakku yang tinggal setahun lagi. Ia gagal menyelesaikan sekolahnya di SMEA itu. Ia harus melepaskan lajangnya mempersunting kembang desa putri Pak Haji Hasan bernama Ceu Ai itu.

Sampai di sini aku masih berpikir, apakah kisah kakakku ini happy ending-nya, seperti juga kisah sebelumnya tentang Si Uro, hepi apa sedih? Mereka berdua nampak bahagia ketika memulai pelayaran bahtera kehidupan di samudera cinta. Tapi kakakku gagal bersekolah yang sangat diharapkan orang banyak di desaku yang haus akan success story dari warganya selaku pewaris kehidupan desa di depan.

Selamat tinggal masa remaja. Hidup kekuasaan orang tua atas para anak-anaknya, semoga saja akhir cerita semua berbahagia. Tiada pihak merasakan adanya penyesalan yang berkepanjangan.Amien!