Friday, August 27, 2010

SENDA GURAU DENGAN SEORANG KRISTIONO


Hampir semua orang tahu siapa itu Kristiono. Terlebih orang Telkom. Pegawai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa sekaligus network ‘perkawatan’ milik Ibu Pertiwi ini merentas karir dari bawah hingga puncak sebagai seorang President Director.

Berbekal selembar ijazah insinyur elektro dari Institut Teknologi 10 November, Surabaya, ia ‘magang’ di Telkom di ruangan mesin sentral telepon otomat (STO) yang 18 derajat Celcius dinginnya.

“Pak Kris itu pernah masuk angin gara-gara tidur kelelahan di Ruang STO,” ujar Pan Sopandi mantan atasannya kepada Penulis.

Pemuda kelahiran Februari 1954 ini memang kalau sudah bekerja lupa ‘menginjak rem’. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Alex Sinaga, mantan GM Kandatel Surabaya Barat yang pernah dipimpinnya ketika Pak Kris sebagai orang Telkom nomor satu di Jawa Timur.

“Pak Kris itu pekerja keras tapi cerdas,” ujar Endro Lukito mantan Senior Manager Human Resources DIVRE V Jatim. Tapi, sambung Endro, “sesungguhnya Pak Kris itu senang berkelakar.”

Hal itu dibenarkan oleh Pak Kordinal, mantan Senior Manager General Support. “Orangnya kalem, tenang, dan sulit diterka mode-nya. Jadi mencari waktu yang tepat untuk bersenda-gurau dengan beliau memerlukan kepekaan tersendiri,” sambungnya.

Alkisah, suatu ketika, Para Pimpinan Telkom Jatim, mulai level I sampai level III, diwajibkan mengikuti GURILA di hutan jati dan pantai Situbondo. GURILA, kepanjangan dari Gunung, Rimba dan Laut, adalah acara outbond yang diperlukan untuk menempa fisik dan mental, sekaligus membina kerja sama dan kebersamaan. Instrukturnya dari rekan-rekan Marinir Surabaya.

Level I itu tentu saja Pak Kris ikut dalam barisan. Level II adalah para Kepala Stafnya beliau, para Senior Manager, ditambah dengan para eksekutif Kantor Daerah, para General Manager. Yaitu Kandatels MAMA BERSUSU. Madiun, Malang, Jember, Surabaya Barat dan Surabaya Timur.

Di Level III berjejer 16 Manager, eksekutif kelas Kantor Cabang. Yang masih ingat, antara lain: Pak Iskandar, Kakancatel Sidoarjo - Gunawan Rismayadi, Kakancatel Situbondo - Darwis Siregar, Kakancatel Lumajang - Agus Subekti, Kakancatel Gresik – Joni Wibisono, Kakancatel Kediri – Pak Wawan (Alm), Kakancatel Banyuwangi) – dan … siapa lagi ya?

Suatu ketika di kaki bukit kapur yang ‘dihuni’ hutan jati berikut ular kobranya, semua peserta diwajibkan mengikuti apel pagi. Selaku perwira upacara adalah seorang Mayor Marinir. Pak Kristiono didaulat menjadi Inspektur upacara. Apel akan dilaksanakan pukul 07.30 WIB dalam disiplin TNI yang ketat dan tepat waktu.

Semua peserta bangun pagi. Mulai jam lima sudah sibuk antri mandi darurat di kamar-kamar mandi kelas ‘hutan’ buatan penyelenggara. Yang ingin pergi ke ‘belakang’ harus antri karena kapasitasnya terbatas.

Jam enam pagi, yang sudah siap apel, sudah bisa meminum kopi dan serta mencicipi pisang goreng yang masih hangat.

Pak Kris, kelihatannya baru bangun tidur, ikut bergerombol dengan kami. Dia duduk di sebuah batang jati yang sudah roboh. Sebagaimana biasa, kalau ada kesempatan, saya mulai ‘jualan obat’. Bercerita berbagai kisah lucu. Dan itu, semua orang Telkom mengakui, adalah spesialisku. Ciri khas cerita lucuku selalu ada surprise di penghujung dagelan.

Karena ada Pak Kris aku melai bercerita yang tokohnya adalah Pak Kris itu sendiri. Tapi, gaya saya berkisah, serius memandang teman-temanku saja. Cuek, seolah-olah di situ tidak ada Pak Kris.

Ceritanya begini, ujarku memulai kisah. Suatu ketika Pak Kordinal menerima sebuah surat penting yang sudah didisposisi oleh Pak Kris. Sebagaimana rata-rata Pimpinan Top, disposisinya pasti singkat dengan gaya tulisan yang cepat, pertanda super sibuk, mirip steno atau mirip dengan tulisan resep yang dibuat oleh dokter.

Rupanya Pak Kordinal tidak terlalu sering membaca tulisan disposisi Pak Kris. Beliau hanya mengernyitkan alis, tidak tahu apa yang tertera di situ. Mau tanya kepada bawahannya, gengsi! Mau telepon ke Pak Kris, sipembuat disposisi, dipandang tabu dam malu. Akhirnya, paling aman, pikir Pak Kordinal, “Lebih baik tanya Pak Endro saja.”

Di antara para Senior Manager (SM) Pak Endro adalah orang yang paling ‘mengerti’ tentang Pak Kris. Di samping sudah lama bersama Pak Kris, Pak Endro adalah SM yang paling dekat ruangannya, paling sering dipanggil Pak Kris mendiskusikan segala sesuatu. Hampir semua SM maupun GM, kalau mau menghadap Pak Kris, biasa singgah dan berkonsultasi dengan Pak Endro terlebih dahulu. Jadi Pak Endro adalah ‘nyaris’ duplikatnya Pak Kris.

Pak Kordinal menyodorkan surat berdisposisi tadi ke Pak Endro.”Tolong dong aku dibantu,” ujarnya. “Maksudnya Pak Kris, dalam disposisinya itu apa, ya?” sambung Pak Kordinal sambil mengambil kursi di muka meja kerja Pak Endro.

Pak Endro ‘sang dewa penolong’ yang terkenal ramah itu langsung menyamber surat yang disodorkan sahabatnya. Harapan kita, semoga Pak Endro mampu memberi pencerahan, seperti biasanya kepada semua yang mendapat kesulitan. Pak Endro paling hafal tulisan Pak Kris yang mirip resep dokter itu!

Tapi, hadirin, apa yang terjadi? Pak Endro kali ini sama seperti Pak Kordinal. Mengernyitkan alis. Bahkan kadar kernyitnya lebih tinggi karena alis Pak Endro lebih tebal dari alisnya Pak Kordinal. Lagi pula Pak Endro lebih dramatis, menambahnya dengan gerakan kepalanya yang menggeleng kekiri dan kekanan berkali-kali. Seharusnya, menurut penulis, musti ditambah dengan suara “ Ckk…ckkk…ckkkk!”.

Pak Endro angkat tangan sembari bergumam, “Iya ya. Aku koq nggak ngerti juga….”.

Melihat subjek surat yang nampak penting dan urgen maka, meskipun gengsi, harus ada yang berani menanyakan bunyi disposisi itu kepada penulisnya langsung. Disepakati bahwa yang terbaik adalah berdua, Pak Endro dan Pak Kordinal, menghadap langsung ke Pak Kris.

Setelah mendapat lampu hijau dari Bu Yermin, sekretaris Kadivre, mereka masuk ke ruangan Pak Kris. Di belakang meja kerjanya Pak Kris masih berbicara dengan seseorang melalui telepon.

“Ada apa ini,” ujar Pak Kris sambil meletakkan gagang telepon setelah menutup pembicaraan.

Pak Endro mengemukakan keperluannya. “Ini lho Pak. Maaf, maksud Bapak dalam disposisi ini, kami belum tahu …, ” ujarnya sambil menyerahkan surat yang dimaksud.

Pak Kris mengambil surat itu. Dua detik berlalu. Pak Kris bertanya, “Lho koq suratnya sudah sampai di Pak Kordinal?”

“Iya pak. Saya terima dari anak buah saya. Ini dari staf Sekretariat,” ujar Pak Kordinal berusaha menjelaskan mengapa dia menerima surat itu.

“Gini lho. Ini kan belum saya disposisi. Ini bukan disposisi. Ini saya baru nyoba ballpoint baru,” ujar Pak Kris menjelaskan sambil senyum kecut.

“Pantes Pak Kordinal dan saya nggak bisa baca,”pikir Pak Endro

“Ha …haaa…… Sialan lu Den …!” ujar Pak Kris yang dari tadi mendengarkan ceritaku, memecahkan perhatian. Audien saya serempak langsung menoleh ke sumber suara.

“Eeee… sudah hampir jam tujuh. Aku belum mandi,” sambung Pak Kris sambil melirik Mayor Marinir yang dari tadi sudah berdiri tidak jauh dari Pak Kris. Padahal maksud Mayor berdiri di situ itu memberi isyarat, bahwa Bapak akan menjadi inspektur upacara koq sudah siang gini belum mandi!

“Denny memang sialan,” pikir Pak Mayor yang kelihatan kesal sehingga harus menyesuaikan keadaan kalau-kalau upaca diundur sedikit.

Photo: Courtesy of http://www.businessweek.com

----




231 Chamberlin Drive, West Seneca, NY 14210-2613


PARE-PARE KOTA KENANGAN


Salah satu kota yang aku singgahi dalam perjalanan hidup ini adalah Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan.

Berbekalkan sebuah eSKa bernomor 348, bertanggal 12 September 1995, aku melangkahkan kaki ke kota pelabuhan terbesar kedua di Sulawesi Selatan, yakni Pare-pare. Pak Koesprawoto, Kepala Telkom Divisi Regional VII Kawasan Timur Indonesia, memberi kepercayaan kepadaku untuk memangku jabatan Kepala Kantor Daerah Telekomunikasi (Kandatel) Pare-pare.

Sebelumnya aku banyak berkecimpung menjadi ‘pembantu’ orang nomor satu yang memimpin PT. Telkom di pulau Sulawesi, bahkan Kawasan Timur Indonesia.

Pertama kali menjadi Sekretaris Kepala Wilayah Telekomunikasi (Kawitel) X Sulawesi, era kepemimpinan Pak Effendi Soetanto. Beliau pindah ke Jawa Barat, lalu aku di’waris’kan kepada Drs. Soerato yang pakar Gugus Kendali Mutu (GKM) di Telkom.

Dari Pak Soerato kemudian aku ‘diserah-terimakan’ kepada Pak Adeng Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kawitel X Sulawesi.

Setelah Pak Adeng, terus aku diturunkan kepada penggantinya, yaitu Bapak M.J. Worung. Dari Pak Worung terus diestafetkan kepada Bapak Pramudjo. Di jaman Bapak Pramudjo inilah Telkom melakukan Restrukturisasi. Empat Wilayah Usaha, meliputi Sulawesi, Bali dan Nusra (saat itu termasuk Timor-Timur), Maluku, serta Papua digabung menjadi satu, berganti nama menjadi Divre VII.

Aku mengalami masa kepemimpinan ‘Twinning’ di Ujungpandang (sekarang kembali menjadi Makassar). Ada Kawitel, yaitu Pak Pramudjo, tapi ada pula Kadivre, yaitu Pak Koes.

Kepindahanku ke Pare-pare merupakan langkah transformasi dari memegang peran sebagai ‘ekor kerbau’, menjadi seorang ‘kepala tikus’. Daerah operasi Kandatel Pare-pare lumayan luas. Sekitar 45.000 km2. Membawahi 11 Kantor Cabang Mulai dari Kancatel Mamuju, di sisi Sulawesi sebelah barat, sampai Masamba, Palopo di Timur Utara, mendekati Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Aku harus mampu berkordinasi dengan 13 Kepala Daerah Tingkat II, dua orang Pembantu Gubernur, dua orang Komandan Korem, dan dua orang Kapolwil.

Pada saat pelantikan (di jaman Orde Baru dikenal ada istilah Penguasa Tunggal) maka bingung Pejabat Pemda yang mana yang akan melantik. Pembantu Gubernur ataukah Walikota Pare-pare? Ternyata menurut protokol dari Provinsi Sulawesi Selatan, yang akan melantik adalah Pembantu Gubernur.

Saat itu, aku lupa pak siapa Pembantu Gubernurnya, tapi kalau Walikotanya masih ingat. Bapak Syamsul Alam Bullu (Alm).

Di luar Jawa, terlebih di Kota kecil seperti Pare-pare yang waktu itu penduduknya sekitar 100 ribu orang, semua pejabat menjadi sangat rukun. Hampir semua pejabat instansi non Pemda itu orang dari Jawa dan Madura. Kepala BRI namanya Pak Bambang, Kepala Pertamina dari Madura Pak Sholeh (?), Kepala PLN Pak Purwanto. Kepala Pos orang Sunda (?). Di Pare-pare, mungkin hadiah dari Pak Habibie, ada Kantor/stasiun bumi LAPAN. “Bos’-nya juga dipanggil Pak Bambang yang suka naik Jeep yang ‘ngegrond’.

Yang lucu, kepala Bank BTPN orang Gorontalo, tapi arisannya ikut perkumpulan Jawa dan perkumpulan Sunda (Ayo ngGuyu dan Condong Raos). Pak Danrem orang Jawa, lupa namanya. Tapi kalau Pak Kapolwil saya ingat. Pak Yusuf Muharam orang Sukabumi yang baik hati, yang kemudian promosi menjadi Kapolda Timor-Timur.

Kalau Bulan Ramadhan, semua pimpinan instansi, sipil maupun militer, kebagian menjadi Tuan Rumah dalam acara buka puasa bersama yang dilanjutkan dengan Sholat Tarawih. Rumah Jabatan rata-rata besar, sehingga mampu merubah menjadi semacam ‘masjid’. Maklum di luar Jawa harga tanah tidak terlalu mahal, saat itu.

Di internal Telkom, Para Kepala Dinasku, 100 persen ‘anak muda’. Bahkan ada yang masih membujang. Semua sarjana, dan semua gila kerja. Kerja keras bagai kerbau, tapi mereka cerdik dan cerdas lebih dari 1000 ekor kancil. Pak Nyoman (ini pasti bukan orang Batak!) Kadin SDM dan Sisfo. Pak Syarifuddin, Kadin Teknik yang serba tahu dan serba bisa. Pak Bastoni (sama seperti Pak Syarifuddin, putra Palembang) Kadin Perencanaan yang pemberani. Mulai dari adu kepandaian sampai adu jotos si jago makan empek-empek ini bidangnya. DI Dinas Pembangunan saya punya Fitria Aboekasim. Namanya Fitria tapi dia berkelamin jantan. Orangnya memiliki seribu alternatif yang tak pernah kehabisan taktik dalam menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Di Dinas Keuangan ada Pak Djoko yang kemudian, karena sakit, diganti oleh Bonny Harumain. Yang terakhir ini harumnya bukan main! Eh sorry, bukan yang terakhir. Karena masih ada satu lagi orang yang mengawal ‘dagang’, Kepala Dinas Niaga, Pak Ardi utomo yang menempatkan Pare-pare dalam dua periode berturut-turut di peringkat satu bidang marketing, di antara 21 Kandatel yang ada. Berkat beliau aku sempat piknik bersama istri ke Singapura selama seminggu sebagai salah satu hadiahnya.

Kancatel yang ada di daerah Kandatel Pare-pare saat itu adalah, Kancatel Barru, Kancatel Polewali, Majene, Mamuju, Pinrang, Sedendeng Rappang (Sidrap), Enrekang, Rantepao (Tana Toraja), Palopo, Watan Soppeng, dan Sengkang.

Yang sekarang sering bertemu di Surabaya adalah Anak Agung Gde Agung, mantan Kakancatel Pinrang.

Makanan kegemaranku adalah Ciwiwi goreng. Daging unggas belibis yang digoreng. Rasanya gurih, nikmat. Makannya pasti lahap karena untuk mendapatkannya, biasanya seusai latihan Tenis di hari Sabtu, berjarak cukup jauh yaitu di daerah Tanru Tedong. Jaraknya sekitar 75 kilometer dari Pare-pare.

ey dedededeeh …. Nikmatna, di?”

------


Friday, August 13, 2010

Bu Rus versus Giovanni van Bronckhorst


Kalau anda penggila bola pasti kenal dengan nama yang satu ini. Bagi kita bangsa Indonesia yang rindu akan prestasi internasional, dia lumayan, menjadi substitusi kebanggaan. Setidak-tidaknya kita yang jumlahnya 240 juta jiwa penduduk, terwakili oleh dia. Meski enggak akrab dengan kita tapi ia itu kan keturunan Maluku.

Nama lengkapnya Ridder Giovanni Christiaan van Bronckhorst. Lahir di Rotterdam tanggal 5 Februari 1975 dari seorang ayah dan seorang ibu yang asli orang Maluku. Pengalaman bermain bola, antara lain, di Arsenal, kemudian di Barcelona dan sejak 2007 hingga kini di Feyenoord.

Nyong Ambon yang biasa dipanggil Gio ini memang 'enak' kalau bermain bola. Dia sulit dilewati lawan di posisi bek kiri. Tapi, pikirku, enak mana van Bronckhorst dengan brongkos langgananku dulu di Yogya?

Kalau melihat “Surat Keterangan” yang diterbitkan Pusat Pendidikan Perhubungan (Pusdikhub) TNI-AD aku lulus pada tanggal 15 Mei 1975. Dengan pangkat Calon Jenderal, eh, calon pegawai. Aku masuk kawah candradimuka ketentaraan tanggal 14 April 1975. Nama “University”ku adalah Kursus Bintal Pmtnt Angkatan Pertama. NRP-ku adalah TL-136. Nilai kecakapan yang kuraih sebesar 71,88. Menduduki ranking ke 51 dari 77 siswa. Artinya 67 persen siswa lebih pandai dari aku. “He..hee… di bawah rata-rata, ya.”

Menurut “Surat Keterangan” yang diterbitkan Diklat Biro Daerah Telekomunikasi II Semarang, setelah mengikuti Pendidikan Pmtnt selama 20 bulan, aku lulus tanggal 30 April 1975. Pendidikan dimulai 1 September 1973. Nilai yang kuraih cuma 67 saja dari skala 100. Peringkat enam dari 24 siswa.

Dengan ‘kebodohan’ tersebut maka itu ternyata menentukan lokasi kota kerja pertamaku. Nomor dua dan empat, kalau tidak salah, Taufik Maksum dan Bambang ‘Gamber’ Haryanto di DTel I Jakarta. Peringkat enam, delapan, sepuluh, duabelas, dan empatbelas di Jateng dan DIY. Kemudian di Daerah dibagi-bagi lagi. Aku dapat di Yogyakarta. Bambang Tirta dan Mudjiari di Semarang, Minto Sudarsono di Solo dan Sudaryono di Purwokerto. Yang lainnya di Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan dan terakhir di Ambon, Hesdi Suparjo (Alm). Yang lulus dengan nomor ganjil mendapat “kehormatan” untuk melanjutkan study ke Swedia, mempelajari Sentral Telepon Ericsson. Yang saya ingat mereka itu Sumarlan, Singgih Mardiyanto, Wiji Utomo, Saswandi, Agus Nursamsyah dan … siapa lagi ya?

Aku sudah lupa tanggal keberangkatanku ke Yogya. Yang ingat via Semarang. Baru setelah tahu bahwa aku termasuk yang ‘ditransfer’ lalu aku cabut dan melangkah ke Yogya. Sekitar bulan Juni 1975.

Yang kutuju di Kota Gudeg adalah sebuah Point in Charge berada di posisi 7o47’11” Lintang Selatan dan 110o22’29” Bujur Timur, tepatnya di Jl. Suroto No.2 (yang kelak berubah menjadi Jl. Laksda Yos Sudarso No. 9). Itulah Kantor Telepon Yogyakarta.

Aku menghadap Kepala Kantor berlogat Jawa-Betawi di Ruang kerjanya di lantai II. Beliau adalah R. Bais Gondosoewarno. Orangnya tinggi, berwibawa tapi cukup ramah. Sesuai dengan bunyi NDDP (Nota Dinas Dengan Pos) yang kubawa aku disuruh menghadap Kepala Dinas Luar (KDL). Kantor pasukan jaringan kabel ada di bagian lain sisi selatan komplek itu, menghadap ke arah Stadion Kridosono. Komandannya adalah J. Sutrisno. Orangnya hitam manis, tubuh tegap, mudah seyum, pemurah dan penyayang kepada anak buah. Di situlah aku akan menghabiskan hari-hariku sampai aku diperintahkan mutasi lagi yang entah kapan itu terjadi.

Posisiku, masih on the job training, sebagai petugas jaringan luar mengelola jaringan yang ada di Yogya Sektor Utara. Aku menggantikan Mas Budi Rahardjo, kakak kelasku angkatan 1972-1974, yang dipanggil mengikuti kursus Sentral Telepon PRx buatan Belanda di Bandung.

Yogya Utara? Ya. Daerah kerja petugas jaringan luar itu dibagi dua sektor. Satunya, sudah pasti, Yogya Selatan. Batasnya adalah Rel Kerata Api utama yang membentang mulai dari Maguwo sampai daerah Tegalrejo. Lumayan luas juga.

Kepala Seksi Yogya Selatan adalah Pak Tokit. Orangnya agamis, kalem, ramah dan pemurah. Kalau ada uang logam kembalian, bila sudah segenggam banyaknya, baru dikasihkan salah satu anak buahnya.”Nih dek lumayan buat beli pareman,” ujarnya. (Penulis: Parem=obat gosok ramuan tradisional untuk menghilangkan pegel linu).

Pak Tokit itu orangnya cerdas. Otaknya moncer. Dia masuk ke Telkom dengan ijazah SMP. Ikut Pendidikan Perakit sekaligus pembimbing selama empat tahun. Lulus menjadi sama dengan tamatan sekolah Pmtnt, sebagai Pengatur Muda. Di tahun 1977 beliau melanjutkan pendidikan setara D3. Kemudian tahun 1985 melanjutkan S1 program kerjasama antara Telkom dengan Universitas Indonesia.

Dalam usia 23 tahun, waktu itu, tentu saja aku kerja keras dan giat (walau belum smart!). Masuk kerja mulai pukul 07.00 WIB. Pagi mendistribusikan pekerjaan. Prioritas satu memperbaiki telepon pelanggan yang rusak. Nama nota tugas perbaikan itu MU.4 yang diterbitkan oleh petugas Meja Ukur (MU). Bukan Majelis Ulama, lho! Lainnya adalah pemeliharaan jaringan telepon baik yang ada di atas tanah maupun di bawah tanah. Kalau sudah pukul sembilan aku mulai keliling ke lokasi-lokasi teman-teman bertugas. Kontrol, ceritanya. Atau sesekali mewakili bos rapat di Dinas PU atau instansi Perhubungan lain (waktu itu Telkom di bawah naungan Departemen Perhubungan).

Sebelum berangkat ke luar tentu saja harus mengisi perut dulu. Namanya juga tugas sebagai Mandor Kawat. Kerjanya kendor, makannya harus kuat! He …hee…

Restoran mana yang harus aku tuju, atau CafĂ© mana yang aku harus singgahi? Ha .. haa, gajiku saat itu 18 ribu perak! Bayar Kos 9 ribu, beli sabun, sampho, odol, deodorant, minyak rambut dll, tentu saja tak mungkinlah ke resto. Larinya ke belakang garasi tempat pool kendaraan. Di pojok timur situ, tersembunyi, ada ‘gubuk’ kantin yang, menurut lidahku, berbintang lima cita rasanya. Tidak kalah dengan masakan dari Hotel Ambarrukmo.

Tahun segitu aku, di kantin ini, telah belajar menggunakan ‘Kartu Kredit’. Seusai makan kartu dikeluarkan. Di situ ditulis, tanggal sekian, sekian rupiah. Bayarnya nati kalau uang makan keluar baru dilunasi. Uang makan, lazim disebut Tt.63 (sebuah model pertanggungan keuangan), keluar tanggal 20 setiap bulan. Hanya petugas yang kerja ke luar kantor saja yang memperoleh ‘previledge’ demikian itu.

Siapa Chef yang membuat masakan yang enak itu? Beliau adalah yang biasa dipanggil dengan sebutan Bu Rus! Bagi karyawan, sepertinya lebih terkenal beliau daripada nama seorang kepala Seksi yang ada di Dinas Tata Usaha, misalnya.

Bu Rus, perempuan yang sudah mulai senior, yang salah satu putranya bernama Pak Sugino (driver) menjadi karyawan Telkom di situ juga, adalah sosok ’manager’ yang serba bisa dan merangkap-rangkap. Belanja bisa, memasak juga, meladeni pembeli, kasir, sampai mencuci piring kotor pun beliau mampu lakukan.

Beliau adalah pemberi tenaga, sumber nutrisi dan asupan gizi pasukan Dinas Luar utamanya, sebelum pergi perang ke medan juang. Kalau kami batere, beliau adalah charger pemberi energi dan jiwa. Beliau layak sebetulnya mendapat satya lencana kesetiaan mengasuh putra-putra terbaik karyawan telkom Yogya dengan anugrah semacam medali Selendang Sutra.

Beliau sudah tahu kegemaranku kalau sarapan pagi setengah siang. Sepiring nasi diseduh dengan sayur yang sangat mashur di seluruh lembur, kondang di setiap desa, populer dari kidul hingga kaler, terkenal dari orang gemuk maupun yang sintal. Itulah dia, sayur van Bronckhorst yang sohor!

Di lidah Jawa disebut sayur brongkos. Warna sayurnya berwarna coklat kehitam-hitaman, seperti kuah rawon, karena diberi rempah-rempah bernama kluwek. Sayurannya adalah kulit mlinjo alias kulit emping alias tangkil yang sudah digodok sampai lunak. Lho, mlinjo-nya kemana? Ya, dijadikan emping crispy. Itu kan sisanya yang dimanfaatkan dan dibudidayakan menjadi sesuatu yang memiliki arti, bahan energi sumber daya nabati.

Pasangan lauknya adalah koyor, berupa otot atau gajih yang warnanya bening seperti kikil (bukan gajih yang putih!) tercampur di dalam brongkos. Tambahannya, kerupuk plus teh nasgitel, panas legi kentel.

Saat itu aturan kerja berbeda dengan sekarang. Seminggu enam hari kerja. Masuk pukul 07.00 pulang 14.00. Sore istirahat. Dengan pengaturan waktu seperti itu aku bisa melakukan kegiatan ekstrakulikuler. Kesenian dan olahraga.

Kalau kesenian aku ikut main kolintang, bersama ibu-ibu Dharma Wanita dan Karyawati. Di Olah raga aku ikut aerobik, tenis dan sepak bola. Pelatih sepakbolaku keren abis! Beliau adalah pensiunan pegawai Kantor Telegrap Yogya (yang mendapat dispensasi dari Menteri Olah Raga, jarang masuk kerja!) yang juga sebagai pelatih PSSI. Antara lain pernah menjadi Asisten Pelatih Tim Garuda untuk Pra Piala Dunia bersama sang pelatih yang kondang Will Coerver. Nama beliau adalah Djawad, mantan pemain PSSI era 50-60an.

Dengan kekuatan dari sayur brongkos buatan Bu Rus itulah aku mendapat kepercayaan dari Pak Djawad mengisi posisi bek kiri, tempat yang sama seperti juga van Bronckhorst tempati di kesebelasan nasional Belanda yang masyhur itu.

Oh sayur brongkos kegemaranku sayang, ….. oh van Bronckhorst pemain bola idolaku sayang …….

Courtesy of Wikipedia

---

Wednesday, August 11, 2010

PHASEOLUS VULGARIS PSYCHOLOGICAL TRAUMATA SYNDROMA

Pegawai /Pensiunan TELKOM yang pernah mengikuti Kursus Pembinaan Mental (Bintal), menurut sumber kira-kira, reka-reka, dan tak patut dipercaya, menderita penyakit PHASEOLUS VULGARIS PSYCHOLOGICAL TRAUMATA. Penyakit apa pula itu?

Sindrom ini terjadi akibat pengalaman yang melekat di dalam pikiran secara menahun dan akut. Mungkin pengalaman (sedikit pahit dan menjengkelkan) pernah dialami dalam kurun waktu cukup lama dan berulang-ulang.

Jika melihat track record lulusan PMTNT 1973-1975 rata- rata mereka pernah mengikuti Susbintal. Kebanyakan di Pusat Pendidikan Perhubungan (Pusdikhub) TNI-AD di Kota Cimahi, Jawa Barat.

Pengalaman mereka, ada yang satu kali, ada yang dua kali, bahkan tiga kali ‘masuk’ Bintal di lembaga ketentaraan ini. Lama Susbintal per-Angkatan sekitar satu bulan. Namun satu bulan di Pusdikhub itu sama dengan satu bulannya di planet Jupiter! Panjaang…. dan luamaaa……. Sekalee!

Bangun jam 04.00 dalam udara dingin dan masih gelap harus terus beraktifitas olahraga. Senam dan lari menjadi santapan ‘jatah’ setiap siswa. Mandi, walaupun dilakukan massal, tetap harus antri. Sarapan pagi harus dilakukan bersama, setelah semua berpakaian ‘dinas PDL’ yang rapi. Kuantitas porsi terbatas, begitu juga kualitasnya. Maklum masakan masal. Hanya lapar dan ‘have no choice’ saja yang membuat semua lahap menyantap hidangan.

Yang paling setia menemani para siswa adalah seorang Perwira Dapur keturunan Indo-Belanda. Dia adalah Kapitein Boontjes. Terutama pada saat makan siang.”Rasa-rasanya tidak pernah dia tidak hadir,”ujar seorang siswa.

Kapitein Boontjes selalu mengenakan seragam hijau. Dia cukup tinggi, cukup padat dan kekar dibandingkan dengan sebangsanya. Cuma sayang aroma farfumnya tidak begitu disukai banyak para siswa. Padahal, ujar ahlinya, dia itu banyak manfaatnya. “Itu sebabnya dia banyak hadir mendampingi kalian para siswa di hampir setiap kesempatan makan,” katanya meyakinkan. Disamping itu, murah pula honornya, serta tidak sulit mencarinya.

Kembali kepada masalah penyakit tadi ternyata survey membuktikan bahwa keterkaitan keberadaan Sang Kapitein dengan penyakit PHASEOLUS VULGARIS PSYCHOLOGICAL TRAUMATA sangatlah signifikan. Angka korelasi (r) mendekati satu!

Oh ya lupa, tadi saya janji akan menjelaskan apa itu penyakit PHASEOLUS VULGARIS PSYCHOLOGICAL TRAUMATA. Dalam bahasa Poliklinik Telkom biasa disebut sindrom sayur buncis. Seseorang menjadi tidak suka, bahkan benci, terhadap sayur buncis. Itu akibat trauma pengalaman menyaksikan topi lapangan temannya yang berwarna dril keputih-putihan (terkontaminasi ekstrak keringat baris berbaris), jatuh ke dalam panci raksasa (sebesar setengah drum) tempat sayur buncis disiapkan. Sayur itu, padahal, untuk makan siang bersama.

Tapi, bagaimanapun, kata WilkiPedia : “Buncis (dari bahasa Belanda, boontjes, Phaseolus vulgaris L.) merupakan sejenis polong-polongan yang dapat dimakan. Buah, biji, dan daunnya dimanfaatkan orang sebagai sayuran. Sayuran ini kaya dengan kandungan protein. Ia dipercaya berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Buncis adalah sayur yang kaya dengan protein dan vitamin ini membantu menurunkan tekanan darah serta mengawal metabolisme gula dalam darah dan amat sesuai dimakan oleh mereka yang mengidap penyakit diabetes atau hipertensi. Kandungan serat dan enzim yang tinggi dapat membantu penurunan berat badan.”

Oleh sebab itu, marilah, wahai para mantan Susbintal, belajarlah menghilangkan penyakit PHASEOLUS VULGARIS PSYCHOLOGICAL TRAUMATA SYNDROMA dengan cara mencintai Kapitein Boontjes. Masaklah sayur buncis atau boontjes dengan cara yang benar. Artinya tidak usah dicampur topi yang berkeringat. Cukup dengan garam dapur saja. Dan, tentu saja, jangan ditambah dengan jamur (panu)!

---


IKAN LELE TERNIKMAT DI DUNIA

Banyak ahli kuliner memperbincangkan makanan ternikmat atau terenak. Mulai dari makanan primitif, semi primitif, tradisional, moderat, sampai yang super modern. Skala yang didebatkan bisa lokal, regional, nasional sampai kaliber internasional.

Ada yang bilang ayam goreng dari Filipina itu jauh lebih enak dari ayam goreng Kalasan, DIY, Indonesia.

Bakso si A lebih yahud dari pada buatan si B, pepes ikan tombro Bu Ani lebih oke katimbang sajian Bu Anu dan seterusnya.

Itu sah-sah saja karena selera setiap individu bisa berbeda. Lain lidah lain pula rasa.

Tapi, menurut pendapatku, lele goreng yang paling enak dan nikmat yang pernah kurasakan hanya satu kali saja. Setidak-tidaknya sampai saat tulisan ini dibuat.

Itu, tak lain, lele goreng Simpang Lima Semarang. Kenapa bisa? Oh, tentu ada rahasianya.

Suatu ketika, di sore hari, hujan turun lebat membasahi Kota Semarang. Kami semua sedang berada di kelas mengikuti pelajaran yang, setiap hari kerja, diselenggarakan dari pukul 14.00 sampai pukul 19.00.

Di tahun 1973 Semarang memang akrab dengan banjir. Air pasang hingga teras kelas. Lima sentimeter lagi air akan masuk ruangan. Saat istirahat tiba air belum surut. Banjir datang dari sebelah gedung sekolah kami, STM Pembangunan. Berasal dari sebuah rawa yang sekaligus merupakan tanah kosong. Di rawa tersebut, di samping uthek-uthek anak nyamuk juga banyak ikan Lele, Gabus maupun Sepat.

Pada saat air melimpah penghuni rawa refreshing pada jalan kemana-mana. Termasuk ke halaman sekolahku. Setelah melihat ada seekor lele dengan ukuran lumayan berada di parit kecil seputar bangunan sekolah, muncul ide untuk segera menyumbat ‘pintu masuk air’. Aku gunakan keset yang terbuat dari sabut kelapa sebagai penyumbat. Harapannya, bila air surut ikan tidak akan dapat kembali ke rawa. Dia akan tertinggal di parit kecil sekolah yang diplester semen dengan rapih.

Harapan menjadi kenyataan. Skenario berjalan mulus. Keset bertuliskan “Welcome” itu berfungsi dengan sempurna. Saat hujan reda, banjirpun surut. Tanpa terasa pelajaranpun usai.

Sebelum pulang aku dan temanku terlebih dahulu memanen ikan lele yang tergelepar terjebak di parit sekolahan. Sepatu dijinjing, tas diamankan dengan dibungkus plastik. Lele ditenteng sebanyak empat ekor. Lumayan. Ukurannya rata-rata sebesar tanganku yang saat itu masih kurus.

Jarak yang kutempuh dari Simpang lima, lewat lapangan Mugas, ke Bulu Stalan di Jalan Suyudono Semarang sekitar empat kilometeran. Waktu agak seret, maklum kaki telanjang dan harus mengarungi segmen sisa-sisa banjir setinggi betis. Sampai di rumah kos, lele aku serah-terimakan kepada ibu kos untuk digoreng dan menjadi tambahan asupan gizi makan malam.

Capek, kedinginan dan ‘bokek’ adalah nuansa pendukung. Lapar sebagai penggerak utama, disempurnakan dengan keterbatasan resources melahirkan cita-rasa ikan lele goreng yang kusantap malam itu menjadi begitu menggoda dan surprise! Begitu hebat, begitu nikmat. Ikan lele empat ekor terpotong tiga bagian dibagi-bagi kepada seluruh penghuni kos! Semua berkomentar sama. ”Asyiiikkk….,” ujar mereka serempak.

Sudah puluhan lele, bahkan mungkin ratusan ekor, selama tigapuluh tahun terakhir sejak ‘tragedi’ lele goreng Simpang Lima yang nostalgia itu, aku santap. Tiada satupun yang mengalahkan nikmatnya. Tiada secuilpun yang mampu menyainginya. Maha Besar Allah. Alhamdulillah !

---


Pengatur Muda Teknik Telekomuniasi (PMTNT) Telkom, Indonesia

Alkisah adalah sepenggal iklan lowongan kerja di harian KOMPAS sekitar bulan Februari 1973. Dibutuhkan calon operator teknik telekomunikasi. Lamaran dikirim ke Kantor Pusat Perumtel, Jl. Cisanggarung No.2 Bandung, via Pos.

Berbekal ijazah SMA jurusan IPA akupun ikut terlibat dalam kancah seleksi ini. Bulan berikutnya datang panggilan via Pos, untuk mengikuti testing akademik yang diselenggarakan di Lemdik Postel Jl. Ambon, Bandung. Nomor tesku adalah 0044.

Sebulan kemudian, hasil seleksi, lagi-lagi dikirim via Pos, datang. Dengan hati berdebar-debar, surat dibuka. Hasilnya lulus dan …. berhak mengikuti testing berikutnya, yaitu tes psikologi. Tempatnya di sebuah SMP Negeri di Jl. Jawa, Bandung. Nomor tesku menjadi tiga digit, 017.

Sebulan telah berlalu. Hati mulai was-was. Suatu ketika bel sepeda Pak Pos berbunyi. Pengumuman hasil ujian telah datang. Hasilnya ? Alhamdulillah, lulus. Dan, lagi-lagi, kalau berminat dipersilahkan mengikuti tes kesehatan. Tempatnya di RS. Hasan Sadikin, Balai Kesehatan Jl. Bungsu, dan Poliklinik Telkom Kertabumi.

Satu hal yang menggelikan di Poli Kertabumi ini. Manakala dilakukan tes pendengaran, peserta tes satu persatu disuruh berdiri di samping sebuah kulkas tipe lama. Kulkas itu suara trafonya berdengung.

Tugas peserta adalah mengulangi kata-kata yang diucapkan seorang perawat penguji. Giliranku, pertama kali dia mengucapkan kata Ambarawa. Aku sahut dengan kata yang sama. “Ambarawa,” ujarku.

Tiga empat nama kota lainnya juga mampu aku ulangi dengan tepat. Kata ke lima penguji sepertinya bergumam, berinterferensi dengan dengungan trafo kulkas. Kata itu tidak terlalu jelas untuk didengar. Lalu dengan spontan dan yakin aku timpali. “Nanginu…”, ujarku lirih.

Penguji tidak mempersoalkan hal itu. Ia melanjutkan dengan nama lain. “Bagan Siapi-api,”ujarnya. Aku jawab yang sama. Dengan menarik nafas lega aku keluar dari ruang tersebut. Pokoknya kedengarannya “Nanginu” ya, kujawab “Nanginu” pula. Meskipun dengan mulut sedikit ditahan agar suara yang keluar sama-sama tidak jelasnya.

Kembali ke masalah hasil seleksi, cukup lama tidak terdengar bunyi bel sepeda Pak Pos di muka rumah. “Barangkali nggak lulus,”pikirku.

Di penghujung bulan Agustus bel sepeda yang ditunggu muncul jua. Hasil tes segera dibuka. Isinya?

“Saudara diterima sebagai Calon Siswa Pengatur Muda Teknik Telekomunikasi Perumtel.”

Selanjutnya, dengan kata-kata klise, “apabila Saudara berminat dipersilahkan datang ke Biro Daerah Telekomunikasi II Jateng dan DIY, Jl.Alun-alun Timur No.2 Semarang.”

Gembira campur bingung. Gembiranya, ya karena lulus. Bingung, karena sekolahnya kok jauh, di Semarang.

Selain kepikiran yang lain-lain tentang kehidupan, juga aku mereka-reka siapa saja yang senasib denganku. Terutama para calon yang berasal dari Bandung.

Awal September 1973 teka-teki itu terjawab. Mereka yang berasal dari Jawa Barat adalah :

Agus Nursamsyah, Ahi Andris Surayuda (si orang Garut), Agrar Sudrajat (Tatat), Bambang Tirta Saputra (si jago gitar/keyboard), Karna "Engkos" Koswara (‘jagger’ Gatsu, Cibangkong tea!), Sunoto Durachman, Ichlas Bachtiar (Iis), Untung Waluyo, Suryanto, Supriadi (koboy Cimindi), Sumarlan (Si Mey Lan), Wahyu Priono, aku, dan Suharsa.

Sedang yang dari Jawa Timur adalah :

Bambang Haryanto (alias Gamber), Bambang Sutejo (Timin), Hesdi Suparjo (Almarhum), Taufiq Maksum, Imam Santoso, Wiji Utomo, Djoko Setyono, Sudaryono, Singgih, Saswandi, Minto Sudarsono, serta Mudjiari (alias Bogang).

Mereka disebut PMTNT Kelas “A” Angkatan 1973-1975. Tidak banyak jumlahnya, tapi cukup banyak karya mereka mewarnai Telkom di masa-masa sulit.

---


Tuesday, August 10, 2010

Agrar Sudrajat, lulusan PMTNT TELKOM yang tinggal di Belanda


Grup Band pelantun Hari Kiamat dari Tanah Papua, Black Brothers, pada akhirnya ‘lari’ meminta suaka untuk tinggal di Negeri Belanda. Apakah ada kaitannya dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau dengan Republik Maluku Selatan (RMS) itu saya tidak ‘ngurusi’. Yang nyata mereka hidup (mudah-mudahan) bahagia di Negeri Tulip.

Lain halnya dengan sahabat saya. Lulusan PMTNT Semarang tahun 1975 ini sama- sama berasal dari Bandung. Namanya Agrar Sudrajat. Orangnya, saat tahun 1973-1975, ganteng. Kulitnya kuning bersih, berkacamata minus bening dan rambut hitam berombak. Menampilkan sosok intelektual. Dengan logat Sunda yang kental berhiaskan senyuman dengan gigi pepsodent-nya yang putih memukau pendengar di lingkungan manapun selagi dia berbicara. Agak serius dikit dan tak terlalu banyak berkelakar.

Kalau di kelas, waktu itu Telkom ikut di STM Pembangunan Simpang Lima, Agrar berakrab dengan Sunoto Durachman, Karna Koswara, Wahyu Priono, atau Agus Nursamsyah. Ia ‘ngegeng’ dengan mereka-meraka yang kost di Jalan Thamrin.

Tamat Pmtnt tahun 1975, seusai pelatihan Pembinaan Mental (Bintal) selama sebulan penuh di Pusdikhub Cimahi, kami semua ditempatkan di seluruh peloksok tanah air. Meski duapuluhan orang wisudawan saja. Hampir terbagi menyebar dari Sabang hingga Merauke, eh nggak deng, hingga Ambon saja!

Aku definitif bertugas di Kota Budaya alias Kota Sepeda, Yogyakarta. Agrar Sudrajat sendiri aku lupa entah di mana. Yang kutahu suatu ketika, Sunoto Durachman berkisah, bahwa Agrar ‘cabut’ dari Telkom. Ia, katanya, memilih pindah ke Negeri Belanda menjadi karyawan lembaga penerbangan KLM (?).

Tigapuluh tahun lebih berlalu hingga akhirnya aku pensiun. Rindu kepada teman-teman yang bareng masuk Telkom, sewaktu namanya masih Perumtel, aku mencoba utak-atik internet. Ketemulah nama Agrar Sudrajat temanku itu.


Kata sebuah situs: “Orang Sunda satu ini ternyata sudah tinggal di Belanda sejak Oktober 1979. Ketika itu ia belajar di Vrije Universiteit Amsterdam, jurusan Western Sociology. Sejak musim panas 2005 Agrar Sudrajat bekerja di Ranesi.”

Dikisahkan lebih lanjut :”Walaupun mengaku tidak senang berpetualang, hidupnya penuh dengan pengembaraan. Pernah bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di Bandung Selatan. Lalu jadi teknikus telepon di Balikpapan. Kemudian belajar ilmu sosial di Belanda. Selepas dari Vrije Universiteit Desember 1987, ia sempat pulang ke Indonesia untuk bekerja selama beberapa tahun. September 1993, ia balik lagi ke Amsterdam untuk studi S3. Ia meneliti sejarah gerakan buruh kiri di Priangan.

Ia bekerja di sebuah Radio di Hilversum, Belanda. Agrar bekerja di bagian aktualita. Tugasnya antara lain menerjemahkan berita ke Bahasa Indonesia, membuat Ulasan Pers, menyusun Gema Warta, dan kemudian menyiarkannya dari salahsatu studio kecil di Hilversum. Bagaimana rasanya kerja di Ranesi, Pak? "Kerjanya enak, tetapi dikejar deadline terus nih", katanya sambil terus menatap layar komputer sambil menerjemahkan beberapa naskah. Hobi pria ini adalah membaca, berkebun, main catur, main tenis dan ngumpul bersama keluarga, yaitu istrinya Atik, perempuan asal Garut, tiga putranya: Yusuf, Yunus dan Yuris, menantu Jeanette Meijer dan cucu perempuan Gabrielle.”

Kalau mau lihat rekamannya Bung Agrar dapat pula dilihat di Youtube. http://www.youtube.com/watch?v=b8_mylWHB3s&NR=1

Agrar Sudrajat, hebat nian dikau. Aneh tapi nyata. Langka tapi ada. Kalau dikau mebaca postingan blog saya ini. Salam rindu buat anda. Salam sejahtera buat keluarga termasuk cucu kesayangan anda. Maafkan kalau datanya tak lengkap.

---

sumber: http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/seksiindonesia/ProfilPengasuh/profil_agrar_sudrajat051118-redirected

---



KALILANGSE, SEMARANG, 1973

Saya alumnus pendidikan setara D2 di Telkom Indonesia. Namanya Pendidikan Pengatur Muda Teknik Telekomunikasi (PMTNT). Masuk bulan September 1973 di Kota Semarang. Padahal, waktu melamar, domisili maupun test seleksi di Kota Bandung.

Peristiwa ‘besar’ ini menjadi langkah pertamaku dalam mengarungi hidup mandiri. Sekaligus sebagai pengalaman pertama merasakan bagaimana suka-dukanya ‘merantau’. Bagi saya, saat itu, letak Kota Semarang itu sangat jauh dari kampungku Cimahi, Jawabarat.

Apa bekal yang kubawa?

Selain pakaian aku membawa segenggam uang. Itu uang bertuah. Sebagaian besar adalah uang pemberian dari orang-orang ‘susah’ yang tokh masih sempat membaginya buat bekal hidupku.

Mang Emus, contohnya. Ia hanya seorang tukang kayu yang biasa disuruh oleh bapakku. Ketika tahu aku akan berangkat ke Jawatengah, secara spontan dan dengan penuh keikhlasan, ia merogoh koceknya dan memberikan hampir seluruh isi dompet-lusuhnya. Jumlahnya 350 rupiah. (Penulis: Sebagai bandingannya ongkos angkot saat itu 15 rupiah!). Jumlah itu menjadi genap 600 rupiah berkat tambahan sumbangan dari Mang Amer pekerja bengkel di bengkel bapakku.

Ada juga Pak Kamnu. Ia memberi 500 rupiah. Tapi status sosial Kamnu memang lebih baik katimbang Mang Emus maupun Mang Amer.

Bekal lainnya yang kubawa adalah sebuah foto hitam putih ukuran postcard. Di situ terpampang aksi seorang karyawan Bank Dagang Negara (BDN) berikut sedan kerennya. Ia pejabat tinggi? Bukan. Ia hanya seorang driver di BDN Cabang Semarang. Biasa dipanggil Mas Di. Foto ini pemberian saudaraku yang juga driver BDN di Cabang Bandung. Pesannya, “dari pada bingung, enggak ada yang dituju, coba-coba tanya sama Mas Di untuk cari tempat kost.”

Benar juga. Berkat Mas Di inilah aku langsung masuk ‘penampungan’ sehingga tidak perlu menginap di Hotel yang dapat memboroskan cadangan devisa.

Tempat kostku adalah rumah mertuanya Mas Di sendiri. Lokasinya dekat komplek elite Candi Baru Semarang. Kalau naik bemo dari Terminal Johar, tinggal bilang turun di Candi Baru. Wuah bergengsi buanget. Padahal setelah itu turun menyeberang kali yang berjembatan bambu. Mobil nggak bisa masuk! Kalau hari hujan tanahnya merah lengket ke sepatu. Nama kampung itu tepatnya adalah Kalilangse.

Rumahnya berdinding ‘gedheg’ alias anyaman bambu. Orang Sunda bilang, bilik namanya. Lantainya adalah tanah asli yang dipadatkan. Tidak ada listrik. Kamar mandi di luar. Tidak ada bak mandi untuk menampung air. Sebagai substitusi yang ada hanyalah sebatang bambu besar yang ruas-ruasnya sudah dibolongi. Terpasang menurun dari arah sumur ke arah ‘kotak gedheg’ bernama kamar mandi tanpa atap. Panjangnya kira-kira 25 meter, dengan pucuk berada di dekat sumur.

Ujung yang satu, pangkalnya, berada di dalam bilik mandi. Dibolongi sebesar telunjuk ditutup dengan penyumbat dari ranting kayu jambu. Kalau dicabut sumbatnya maka ‘mancur’lah airnya. Itulah pancuran sebagai ‘shower’nya orang desa.

Sumurnya juga unik timbanya menggunakan galah yang turun naik. Tidak menggunakan kerekan atau katrol. Air satu ember terangkat agak ringan karena di ujung galah yang satu dioberi beban berupa batu yang diikat. Airnya bening dan dingin nyessss…..

Kalau mandi harus irit. Jangan sampai isi bambu itu habis sebelum selesai. Karena akan sulit menimba air lagi kalau badan sudah terlanjur berlumuran busa sabun mandi. Soalnya itu semua akan transparan di lihat publik. Namanya juga kamar mandi umum!

---