Monday, May 16, 2011

PUTU SETIA MENGGUGAT TELKOM


Tulisan saya di majalah online KOIN kemudian diposting oleh Ketut Adi on 2004-03-04 pada laman http://www.iloveblue.com
Adakah wartawan yang "puasa" menulis? Ada. Itu adalah Putu Setia. Sejak SIUPP Majalah Tempo, tempat dia mangkal, dicabut maka hilanglah minat menulisnya. Jadilah tanggal 21 Juni 1994 itu sebagai hari pertama "puasa" menulis buat sang Redaktur Senior ini. Sesungguhnya, sebelum SIUPP Tempo dicabut, tutur mantan Wartawan Bali Post ini, sering ia bercita-cita bebas dari pekerjaan. Perasaan begitu muncul terutama sehabis bagadang semalaman mengerjakan majalah yang melelahkan. "Tidak melakukan kerja apapun dan mondar-mandir tapi bisa enak makan sungguh terbayang nikmatnya," pikir ayah dua orang putra-putri Komang serta Kadek ini. Tapi ketika beneran tidak punya kerjaan dan mondar-mandir itu datang di kehidupannya kesal juga. "Saban hari kerjaan saya cuma menggerutu, ngedumel, merenung serta menyesali sesuatu yang tak berujung pangkal." keluhnya mengenang. Tiba-tiba saja, hari Minggu 22 Februari 2004, wartawan yang punya sebutan Duta Dharma ini muncul di ruang Lebah Biru, Telkom Divre V Jawa Timur, di jalan Ketintang, Surabaya. Apa hubungannya seorang redaktur senior majalah Tempo dengan Telkom Divre V? Benarkah dia mau "menggugat" Telkom? Hari itu, putra ke lima dari sembilan bersaudara, dari pagi hingga siang memberikan arahan kepada umat Hindu yang ada di lingkungan IBO Binroh Hindu Telkom Divre V Jatim. Lengkapnya acara, Dharma Tula menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1926, dengan tema "Mencari benang merah antara Pustaka Lontar, yang sering menjadi acuan upacara Yadnya di Bali, dengan Pustaka Suci Weda, untuk meningkatkan Sraddha Agama." Acara ritual berlangsung khidmat, dan ceramah berlangsung semarak. Pesertanya 83 orang dengan melibatkan warga Hindu Telkom 58 orang dan sisanya, 25 orang dari luar Telkom. Putu Setia bertutur, antara lain, tentang turunnya wahyu Suci Weda sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, bertempat di lereng Gunung Himalaya. Wahyu tersebut didengar (swaranam) dan diterima oleh tujuh orang suci yang sedang melakukan pertapaan kala itu. Ketujuh orang suci itu adalah para Maharsi antara lain : Grtsamada, Wismamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Kemudian wahyu yang didengar tersebut dikompulir oleh seorang Maharsi bernama Bhagawan Wiyasa akhirnya terwujudlah Kitab Suci Weda yang kita kenal saat ini. Dalam perkembangannya ke 7 orang Maharsi penerima wahyu tersebut menyebarkan ajarannya secara sendiri-sendiri sesuai dengan pengalamannya sendiri, yang mana tentu antara yang satu dengan yang lain mempunyai pandangan sedikit berbeda-beda, lama-kelamaan akhirnya di India terbentuklah beberapa Sekte (aliran) yang memiliki penekanan yang berbeda-beda pada ajaran Hindu tersebut. Sekte terbanyak penganutnya di India antara lain : Siwa-Sidanta, Pasupata, Waisnawa, Indra, Saura dan Linggayat Bhagawanta. Sebelumnya, Sabtu malam, Putu Setia bersama tokoh-tokoh agama lainnya selain Hindu, syuting bersama RCTI di halaman Mesjid Ceng Ho Surabaya yang disponsori Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, dalam rangka penerangan Pemilu 2004. 
 Banyak Kasta 
 Putu Setia, di mata saya, tetap seperti dua puluh tahunan lalu. Orangnya sederhana, murah senyum, dan mudah akrab dengan siapapun. Ia tidak memandang "kasta" dari orang yang diajak bicara ataupun bergaul. Bahkan, seperti yang dituturkannya dalam "Putu Setia Mendebat Bali", ia sering membuat orang bingung. Kalau ia ditanya, apa kasta Anda, ia menjawab: "Saya biasa berganti kasta setiap satu jam. Pagi-pagi biasanya saya berkasta Sudra, karena saya harus mencuci mobil sebab tak punya supir. Siang hari saya berkasta Wesya, karena saya melakukan aktifitas bisnis. Tapi malam hari saya pastilah seorang Brahmana, karena seluruh kegiatan saya tertuju pada masalah rohani, mulai dari melantunkan mantram-mantram, membaca sloka Weda dan sebagainya." Putu Setia, sebagaimana anak-anak dan keponakannya memanggil, adalah seorang Guru. Tapi ia berbeda dengan Guru-guru yang lain. Ia seorang guru yang tidak pernah merasa menggurui. Periode 1978 - 1983 saya "menguntit" beliau sejak markas Tempo Biro Jateng dan DIY di jalan Magelang hingga di Jalan Abu Bakar Ali, Yogyakarta. Di setiap kesempatan selalu memberi contoh bagaimana menulis yang baik dan benar tanpa kesan mengkuliahi. Belajar jurnalistik dari nol padanya sungguh nikmat dan menimbulkan ketagihan. Orang Jawa bilang "ngangeni". Dia memberi berbagai taktik lapangan. Bagaimana bisa menembus penjagaan serdadu ketika mewawancarai Pilot pesawat tempur yang jatuh di Surakarta. Pilot yang terbaring di Rumah Sakit Solo, dikawal berlapis-lapis, bisa ditemui dengan cara-cara yang dibekali Putu Setia. Ketika wabah penyakit ikan lele melanda DIY dan beberapa tempat lain di tanah air, Putu Setia memberi jampi-jampi mujarab bisa menembus berbagai sumber yang saat itu diwajibkan tutup mulut, ditugaskan "no comment", oleh para petinggi negeri. Dalam lingkup jurnalistik ia bahkan tidak segan-segan memberi "wejangan" bagaimana menulis lead sebuah features yang baik dan tepat, kepada reporter usia hijau seperti saya saat itu. "Tulisan 5W itu jurnalistik kuno, coba anda pilih lead yang tepat. Bisa deskriptif, bisa lead yang menggoda atau lead yang menantang sekalian," pesannya suatu ketika. Sosok budayawan Pulau Dewata, mantan anggota Drama Gong, adalah juga penulis produktif. Di kesenggangannya di antara kesibukannya selaku wartawan Tempo yang berdenyut tiap detik ia masih sempat berhibur diri dengan membuat berbagai cerpen. Tipe cerpennya bisa lucu dan konyol, tapi bisa juga sedih dan melankolis. "Intel dari Comberan" misalnya yang menceritakan pengemis dikira Intel, yang dibuat tahun 1980 dimuat di Sinar Harapan Minggu, membuat orang terpingkal-pingkal membayangkan kekakuan di zaman Orde Baru. Saat membaca "Ketika Gerimis Turun" yang "happy ending"-nya sedih buanget, tidak terasa membuat mata kita bisa berkaca-kaca. Cerpen itu memang cerpen juara. Ia memenangkan lomba cerpen di majalah Kartini. Putu setia menerima wesel Rp 400.000 yang saat itu ia belikan kursi mebel ukiran buatan Jepara lengkap dengan lemari. Sisanya buat makan-makan bersama se markas Tempo. Uang segitu cukup besar, gaji saya di Telkom, eh Perumtel, baru Rp 48.000 per bulan. Putu Setia, yang hari kelahirannya Budha Paing Krulut, adalah teman, kakak sekaligus guru. Ia seorang sosok yang ulet, memegang prinsip, terbukti dengan tidak bergeming sedikitpun untuk beralih ke media lain selama Tempo dibreidel. Namun tokh ia tetap bersahaja. Seorang ayah yang tengah menyiapkan perjalanan episode akhir. Ia banyak bergelut dalam dunia kerohanian Hindu. Ia Duta Dharma sekaligus pembaharu yang banyak disukai anak-anak muda Bali. Putu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Lahir tanggal 4 April 1951 dari seorang ibu dan ayah yang tokoh spiritual sekaligus budayawan. Sang ayah meninggalkan Putu Setia ketika ia masih duduk di kelas I SLTP. Putra pulau Dewata ini meniti karir sambil kuliah jurnalistik di universitas swasta dan kursus di LP3ES Jakarta. Ia bergabung sebagai wartawan Bali Post yang kemudian merangkap sebagai koresponden Tempo di Bali. Tahun 1978 ia menjadi kepala Tempo Biro Jateng dan DIY hingga 1983. Sejak itu ia di Jakarta sebagai redaktur dan kemudian redaktur senior hingga kini. Novelnya yang cukup beken, "Sumpah" (1974), "Di Ujung Dendam" (1976), "Seindah Sorga" (1978). Buku Budaya "Menggugat Bali" (1986) buku yang mendapat sambutan luar biasa, bahkan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, yang kemudian disambung dengan "Mendebat Bali" (2002). sumber: http://koin.telkom.co.id/isi.html?menu=rumor&id=20040303135013&edisi=200403