Maulwi Saelan merupakan anak Amin Saelan, tokoh nasional di Makassar dan pendiri Taman Siswa di kota itu. Dia bergabung dengan tim nasional sepak bola Indonesia era 1954-1958 dan berkontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perungggu di Asian Games 1958.
Sunday, September 24, 2017
Maulwi Saelan merupakan anak Amin Saelan, tokoh nasional di Makassar dan pendiri Taman Siswa di kota itu. Dia bergabung dengan tim nasional sepak bola Indonesia era 1954-1958 dan berkontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perungggu di Asian Games 1958.
Tuesday, November 3, 2015
MEMPERTAHANKAN SPESIESNYA
Dengan melahirkan lampu terang yang hemat energi, harapannya manusia tetap eksis tidak punah seperti yang dialami oleh dinosaurus yang kini tinggal fosil dan ceritanya.(foto: courtesy of google images)
Thursday, October 29, 2015
BAHAN STAND UP COMEDY #02 : REPORTER
Wednesday, October 28, 2015
Bahan #01 STAND UP COMEDY
Monday, May 16, 2011
PUTU SETIA MENGGUGAT TELKOM
Tulisan saya di majalah online KOIN kemudian diposting oleh Ketut Adi on 2004-03-04 pada laman http://www.iloveblue.com
Friday, August 27, 2010
SENDA GURAU DENGAN SEORANG KRISTIONO
Hampir semua orang tahu siapa itu Kristiono. Terlebih orang Telkom. Pegawai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa sekaligus network ‘perkawatan’ milik Ibu Pertiwi ini merentas karir dari bawah hingga puncak sebagai seorang President Director.
Berbekal selembar ijazah insinyur elektro dari Institut Teknologi 10 November, Surabaya, ia ‘magang’ di Telkom di ruangan mesin sentral telepon otomat (STO) yang 18 derajat Celcius dinginnya.
“Pak Kris itu pernah masuk angin gara-gara tidur kelelahan di Ruang STO,” ujar Pan Sopandi mantan atasannya kepada Penulis.
Pemuda kelahiran Februari 1954 ini memang kalau sudah bekerja lupa ‘menginjak rem’. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Alex Sinaga, mantan GM Kandatel Surabaya Barat yang pernah dipimpinnya ketika Pak Kris sebagai orang Telkom nomor satu di Jawa Timur.
“Pak Kris itu pekerja keras tapi cerdas,” ujar Endro Lukito mantan Senior Manager Human Resources DIVRE V Jatim. Tapi, sambung Endro, “sesungguhnya Pak Kris itu senang berkelakar.”
Hal itu dibenarkan oleh Pak Kordinal, mantan Senior Manager General Support. “Orangnya kalem, tenang, dan sulit diterka mode-nya. Jadi mencari waktu yang tepat untuk bersenda-gurau dengan beliau memerlukan kepekaan tersendiri,” sambungnya.
Alkisah, suatu ketika, Para Pimpinan Telkom Jatim, mulai level I sampai level III, diwajibkan mengikuti GURILA di hutan jati dan pantai Situbondo. GURILA, kepanjangan dari Gunung, Rimba dan Laut, adalah acara outbond yang diperlukan untuk menempa fisik dan mental, sekaligus membina kerja sama dan kebersamaan. Instrukturnya dari rekan-rekan Marinir Surabaya.
Level I itu tentu saja Pak Kris ikut dalam barisan. Level II adalah para Kepala Stafnya beliau, para Senior Manager, ditambah dengan para eksekutif Kantor Daerah, para General Manager. Yaitu Kandatels MAMA BERSUSU. Madiun, Malang, Jember, Surabaya Barat dan Surabaya Timur.
Di Level III berjejer 16 Manager, eksekutif kelas Kantor Cabang. Yang masih ingat, antara lain: Pak Iskandar, Kakancatel Sidoarjo - Gunawan Rismayadi, Kakancatel Situbondo - Darwis Siregar, Kakancatel Lumajang - Agus Subekti, Kakancatel Gresik – Joni Wibisono, Kakancatel Kediri – Pak Wawan (Alm), Kakancatel Banyuwangi) – dan … siapa lagi ya?
Suatu ketika di kaki bukit kapur yang ‘dihuni’ hutan jati berikut ular kobranya, semua peserta diwajibkan mengikuti apel pagi. Selaku perwira upacara adalah seorang Mayor Marinir. Pak Kristiono didaulat menjadi Inspektur upacara. Apel akan dilaksanakan pukul 07.30 WIB dalam disiplin TNI yang ketat dan tepat waktu.
Semua peserta bangun pagi. Mulai jam lima sudah sibuk antri mandi darurat di kamar-kamar mandi kelas ‘hutan’ buatan penyelenggara. Yang ingin pergi ke ‘belakang’ harus antri karena kapasitasnya terbatas.
Jam enam pagi, yang sudah siap apel, sudah bisa meminum kopi dan serta mencicipi pisang goreng yang masih hangat.
Pak Kris, kelihatannya baru bangun tidur, ikut bergerombol dengan kami. Dia duduk di sebuah batang jati yang sudah roboh. Sebagaimana biasa, kalau ada kesempatan, saya mulai ‘jualan obat’. Bercerita berbagai kisah lucu. Dan itu, semua orang Telkom mengakui, adalah spesialisku. Ciri khas cerita lucuku selalu ada surprise di penghujung dagelan.
Karena ada Pak Kris aku melai bercerita yang tokohnya adalah Pak Kris itu sendiri. Tapi, gaya saya berkisah, serius memandang teman-temanku saja. Cuek, seolah-olah di situ tidak ada Pak Kris.
Ceritanya begini, ujarku memulai kisah. Suatu ketika Pak Kordinal menerima sebuah surat penting yang sudah didisposisi oleh Pak Kris. Sebagaimana rata-rata Pimpinan Top, disposisinya pasti singkat dengan gaya tulisan yang cepat, pertanda super sibuk, mirip steno atau mirip dengan tulisan resep yang dibuat oleh dokter.
Rupanya Pak Kordinal tidak terlalu sering membaca tulisan disposisi Pak Kris. Beliau hanya mengernyitkan alis, tidak tahu apa yang tertera di situ. Mau tanya kepada bawahannya, gengsi! Mau telepon ke Pak Kris, sipembuat disposisi, dipandang tabu dam malu. Akhirnya, paling aman, pikir Pak Kordinal, “Lebih baik tanya Pak Endro saja.”
Di antara para Senior Manager (SM) Pak Endro adalah orang yang paling ‘mengerti’ tentang Pak Kris. Di samping sudah lama bersama Pak Kris, Pak Endro adalah SM yang paling dekat ruangannya, paling sering dipanggil Pak Kris mendiskusikan segala sesuatu. Hampir semua SM maupun GM, kalau mau menghadap Pak Kris, biasa singgah dan berkonsultasi dengan Pak Endro terlebih dahulu. Jadi Pak Endro adalah ‘nyaris’ duplikatnya Pak Kris.
Pak Kordinal menyodorkan surat berdisposisi tadi ke Pak Endro.”Tolong dong aku dibantu,” ujarnya. “Maksudnya Pak Kris, dalam disposisinya itu apa, ya?” sambung Pak Kordinal sambil mengambil kursi di muka meja kerja Pak Endro.
Pak Endro ‘sang dewa penolong’ yang terkenal ramah itu langsung menyamber surat yang disodorkan sahabatnya. Harapan kita, semoga Pak Endro mampu memberi pencerahan, seperti biasanya kepada semua yang mendapat kesulitan. Pak Endro paling hafal tulisan Pak Kris yang mirip resep dokter itu!
Tapi, hadirin, apa yang terjadi? Pak Endro kali ini sama seperti Pak Kordinal. Mengernyitkan alis. Bahkan kadar kernyitnya lebih tinggi karena alis Pak Endro lebih tebal dari alisnya Pak Kordinal. Lagi pula Pak Endro lebih dramatis, menambahnya dengan gerakan kepalanya yang menggeleng kekiri dan kekanan berkali-kali. Seharusnya, menurut penulis, musti ditambah dengan suara “ Ckk…ckkk…ckkkk!”.
Pak Endro angkat tangan sembari bergumam, “Iya ya. Aku koq nggak ngerti juga….”.
Melihat subjek surat yang nampak penting dan urgen maka, meskipun gengsi, harus ada yang berani menanyakan bunyi disposisi itu kepada penulisnya langsung. Disepakati bahwa yang terbaik adalah berdua, Pak Endro dan Pak Kordinal, menghadap langsung ke Pak Kris.
Setelah mendapat lampu hijau dari Bu Yermin, sekretaris Kadivre, mereka masuk ke ruangan Pak Kris. Di belakang meja kerjanya Pak Kris masih berbicara dengan seseorang melalui telepon.
“Ada apa ini,” ujar Pak Kris sambil meletakkan gagang telepon setelah menutup pembicaraan.
Pak Endro mengemukakan keperluannya. “Ini lho Pak. Maaf, maksud Bapak dalam disposisi ini, kami belum tahu …, ” ujarnya sambil menyerahkan surat yang dimaksud.
Pak Kris mengambil surat itu. Dua detik berlalu. Pak Kris bertanya, “Lho koq suratnya sudah sampai di Pak Kordinal?”
“Iya pak. Saya terima dari anak buah saya. Ini dari staf Sekretariat,” ujar Pak Kordinal berusaha menjelaskan mengapa dia menerima surat itu.
“Gini lho. Ini kan belum saya disposisi. Ini bukan disposisi. Ini saya baru nyoba ballpoint baru,” ujar Pak Kris menjelaskan sambil senyum kecut.
“Pantes Pak Kordinal dan saya nggak bisa baca,”pikir Pak Endro
“Ha …haaa…… Sialan lu Den …!” ujar Pak Kris yang dari tadi mendengarkan ceritaku, memecahkan perhatian. Audien saya serempak langsung menoleh ke sumber suara.
“Eeee… sudah hampir jam tujuh. Aku belum mandi,” sambung Pak Kris sambil melirik Mayor Marinir yang dari tadi sudah berdiri tidak jauh dari Pak Kris. Padahal maksud Mayor berdiri di situ itu memberi isyarat, bahwa Bapak akan menjadi inspektur upacara koq sudah siang gini belum mandi!
“Denny memang sialan,” pikir Pak Mayor yang kelihatan kesal sehingga harus menyesuaikan keadaan kalau-kalau upaca diundur sedikit.
Photo: Courtesy of http://www.businessweek.com
----
PARE-PARE KOTA KENANGAN
Salah satu kota yang aku singgahi dalam perjalanan hidup ini adalah Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan.
Berbekalkan sebuah eSKa bernomor 348, bertanggal 12 September 1995, aku melangkahkan kaki ke kota pelabuhan terbesar kedua di Sulawesi Selatan, yakni Pare-pare. Pak Koesprawoto, Kepala Telkom Divisi Regional VII Kawasan Timur Indonesia, memberi kepercayaan kepadaku untuk memangku jabatan Kepala Kantor Daerah Telekomunikasi (Kandatel) Pare-pare.
Sebelumnya aku banyak berkecimpung menjadi ‘pembantu’ orang nomor satu yang memimpin PT. Telkom di pulau Sulawesi, bahkan Kawasan Timur Indonesia.
Pertama kali menjadi Sekretaris Kepala Wilayah Telekomunikasi (Kawitel) X Sulawesi, era kepemimpinan Pak Effendi Soetanto. Beliau pindah ke Jawa Barat, lalu aku di’waris’kan kepada Drs. Soerato yang pakar Gugus Kendali Mutu (GKM) di Telkom.
Dari Pak Soerato kemudian aku ‘diserah-terimakan’ kepada Pak Adeng Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kawitel X Sulawesi.
Setelah Pak Adeng, terus aku diturunkan kepada penggantinya, yaitu Bapak M.J. Worung. Dari Pak Worung terus diestafetkan kepada Bapak Pramudjo. Di jaman Bapak Pramudjo inilah Telkom melakukan Restrukturisasi. Empat Wilayah Usaha, meliputi Sulawesi, Bali dan Nusra (saat itu termasuk Timor-Timur), Maluku, serta Papua digabung menjadi satu, berganti nama menjadi Divre VII.
Aku mengalami masa kepemimpinan ‘Twinning’ di Ujungpandang (sekarang kembali menjadi Makassar). Ada Kawitel, yaitu Pak Pramudjo, tapi ada pula Kadivre, yaitu Pak Koes.
Kepindahanku ke Pare-pare merupakan langkah transformasi dari memegang peran sebagai ‘ekor kerbau’, menjadi seorang ‘kepala tikus’. Daerah operasi Kandatel Pare-pare lumayan luas. Sekitar 45.000 km2. Membawahi 11 Kantor Cabang Mulai dari Kancatel Mamuju, di sisi Sulawesi sebelah barat, sampai Masamba, Palopo di Timur Utara, mendekati Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Aku harus mampu berkordinasi dengan 13 Kepala Daerah Tingkat II, dua orang Pembantu Gubernur, dua orang Komandan Korem, dan dua orang Kapolwil.
Pada saat pelantikan (di jaman Orde Baru dikenal ada istilah Penguasa Tunggal) maka bingung Pejabat Pemda yang mana yang akan melantik. Pembantu Gubernur ataukah Walikota Pare-pare? Ternyata menurut protokol dari Provinsi Sulawesi Selatan, yang akan melantik adalah Pembantu Gubernur.
Saat itu, aku lupa pak siapa Pembantu Gubernurnya, tapi kalau Walikotanya masih ingat. Bapak Syamsul Alam Bullu (Alm).
Di luar Jawa, terlebih di Kota kecil seperti Pare-pare yang waktu itu penduduknya sekitar 100 ribu orang, semua pejabat menjadi sangat rukun. Hampir semua pejabat instansi non Pemda itu orang dari Jawa dan Madura. Kepala BRI namanya Pak Bambang, Kepala Pertamina dari Madura Pak Sholeh (?), Kepala PLN Pak Purwanto. Kepala Pos orang Sunda (?). Di Pare-pare, mungkin hadiah dari Pak Habibie, ada Kantor/stasiun bumi LAPAN. “Bos’-nya juga dipanggil Pak Bambang yang suka naik Jeep yang ‘ngegrond’.
Yang lucu, kepala Bank BTPN orang Gorontalo, tapi arisannya ikut perkumpulan Jawa dan perkumpulan Sunda (Ayo ngGuyu dan Condong Raos). Pak Danrem orang Jawa, lupa namanya. Tapi kalau Pak Kapolwil saya ingat. Pak Yusuf Muharam orang Sukabumi yang baik hati, yang kemudian promosi menjadi Kapolda Timor-Timur.
Kalau Bulan Ramadhan, semua pimpinan instansi, sipil maupun militer, kebagian menjadi Tuan Rumah dalam acara buka puasa bersama yang dilanjutkan dengan Sholat Tarawih. Rumah Jabatan rata-rata besar, sehingga mampu merubah menjadi semacam ‘masjid’. Maklum di luar Jawa harga tanah tidak terlalu mahal, saat itu.
Di internal Telkom, Para Kepala Dinasku, 100 persen ‘anak muda’. Bahkan ada yang masih membujang. Semua sarjana, dan semua gila kerja. Kerja keras bagai kerbau, tapi mereka cerdik dan cerdas lebih dari 1000 ekor kancil. Pak Nyoman (ini pasti bukan orang Batak!) Kadin SDM dan Sisfo. Pak Syarifuddin, Kadin Teknik yang serba tahu dan serba bisa. Pak Bastoni (sama seperti Pak Syarifuddin, putra Palembang) Kadin Perencanaan yang pemberani. Mulai dari adu kepandaian sampai adu jotos si jago makan empek-empek ini bidangnya. DI Dinas Pembangunan saya punya Fitria Aboekasim. Namanya Fitria tapi dia berkelamin jantan. Orangnya memiliki seribu alternatif yang tak pernah kehabisan taktik dalam menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Di Dinas Keuangan ada Pak Djoko yang kemudian, karena sakit, diganti oleh Bonny Harumain. Yang terakhir ini harumnya bukan main! Eh sorry, bukan yang terakhir. Karena masih ada satu lagi orang yang mengawal ‘dagang’, Kepala Dinas Niaga, Pak Ardi utomo yang menempatkan Pare-pare dalam dua periode berturut-turut di peringkat satu bidang marketing, di antara 21 Kandatel yang ada. Berkat beliau aku sempat piknik bersama istri ke Singapura selama seminggu sebagai salah satu hadiahnya.
Kancatel yang ada di daerah Kandatel Pare-pare saat itu adalah, Kancatel Barru, Kancatel Polewali, Majene, Mamuju, Pinrang, Sedendeng Rappang (Sidrap), Enrekang, Rantepao (Tana Toraja), Palopo, Watan Soppeng, dan Sengkang.
Yang sekarang sering bertemu di Surabaya adalah Anak Agung Gde Agung, mantan Kakancatel Pinrang.
Makanan kegemaranku adalah Ciwiwi goreng. Daging unggas belibis yang digoreng. Rasanya gurih, nikmat. Makannya pasti lahap karena untuk mendapatkannya, biasanya seusai latihan Tenis di hari Sabtu, berjarak cukup jauh yaitu di daerah Tanru Tedong. Jaraknya sekitar 75 kilometer dari Pare-pare.
“ey dedededeeh …. Nikmatna, di?”
------