Sunday, September 24, 2017

KIPER NASIONAL PILIHAN-KOE
Maulwi Saelan merupakan anak Amin Saelan, tokoh nasional di Makassar dan pendiri Taman Siswa di kota itu. Dia bergabung dengan tim nasional sepak bola Indonesia era 1954-1958 dan berkontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perungggu di Asian Games 1958.
Yus Etek adalah seorang pemain sepak bola Indonesia yang pernah bermain untuk klub sepak bola PSP Padang dan Persib Bandung sebagai penjaga gawang pada akhir era 50-an dan era 60-an. Ia juga dipercaya sebagai penjaga gawang pada tim nasional Indonesia (PSSI).
Ronny Pasla (lahir di Medan15 April 1947; umur 70 tahun) adalah mantan kiper Indonesia yang berkiprah sekitar tahun 1960’an – awal 1970. Ejaan namanya sering juga ditulis sebagai Ronny Paslah.
Yudo Hadianto (lahir di SoloJawa Tengah19 September 1941; umur 76 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia  era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.
Hermansyah. Sosoknya dikenal sebagai salah satu kiper terbaik yang pernah dimiliki Indonesia sepanjang masa. Ia pun berjasa menghadirkan kebanggaan bagi timnas di tahun 83-90.
Eddy Harto (lahir di MedanSumatera Utara16 Juni 1962; umur 55 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia yang berposisi sebagai penjaga gawang. Ia pernah dimainkan sebagai penjaga gawang di tim nasional Indonesia pada SEA Games 1991 Manila ketika tim nasional ditangani oleh Anatoly Polosin yang pada saat itu meraih juara[1]. Ia juga pernah bermain pada Piala Presiden Korea Selatan dan Merdeka Games di Kuala Lumpur. Di semi final dan final, Eddy Harto tampil sebagai pahlawan lantaran kedua laga ini berlangsung hingga babak adu penalti. Tim nasional Indonesia akhirnya mengkandaskan Singapura 4-2 berkat Eddy Harto yang menggagalkan dua penendang penalti Singapura. Di final yang dihelat di stadion Rizal Memorial, Indonesia mengalahkan Thailand 4-3 melalui adu penalti dan Eddy Harto menggagalkan dua penalti lawan.
Ponirin Meka merupakan kiper utama timnas Indonesia dalam gelaran SEA Games 1987 tersebut. Kiper yang besar bersama PSMS Medan ini bukan kiper sembarangan. Sebelum menjadi andalan timnas, kehebatan Ponirin dalam menjaga gawang PSMS Medan pernah membuatnya dibenci oleh publik Jawa Barat, terutama penggemar Persib. Bagaimana tidak, kemampuannya dalam menghadapi "regu tembak" dalam drama adu penalti membuat PSMS Medan dua kali mengalahkan Persib pada final Perserikatan, tahun 1983 dan 1985. Bahkan pada final tahun 1985, Ponirin berhasil menggagalkan tendangan tiga algojo Persib: Giantoro, Walter Sulu, dan Adjat Sudrajad.
Kurnia Sandy  bermain bersama timnas di ajang Piala Asia 1996. Juga bermain bersama timnas di ajang Piala Tiger 1996 dan 1998, dan Sea Games 1997. Sayang, pada Piala Tiger 1996 dan 1998 Indonesia gagal di babak semifinal, dan pada Sea Games 1997 Indonesia harus puas mendapatkan medali perak setelah dalam partai final kalah adu penalti dari Thailand. Secara keseluruhan Kurnia Sandy bermain sebanyak 24 kali bersama timnas.
Hendro Kartiko. Salah satu penampilan terbaik Hendro bersama timnas terjadi dalam gelaran Piala Asia 2000. Saat itu Indonesia memang gagal melewati babak penyisihan grup. Namun penampilan apik Hendro Kartiko sepanjang turnamen membuatnya menjadi salah satu kiper terbaik Piala Asia 2000. Bersama kiper Tiongkok, Hendro masuk tim All-Star Piala AFC 2000. Selain itu, penampilan apik Hendro juga membuatnya mendapatkan julukan ‘Fabian Brathez dari Indonesia’.
Markus Horison pertama kali mencuat ketika membela PSMS Medan. Bersama tim ini, prestasi terhebatnya adalah ketika berhasil melaju ke partai final Liga Indonesia 2007-2008 meskipun harus kalah dari Sriwijaya FC.
Ferry Rotinsulu sebagai penjaga gawang sejatinya tak perlu diragukan. Ia memiliki ketenangan dan keberanian dalam mengawal gawang. Selain itu, Ferry dikenal sebagai spesialis penjegal penalti sehingga ia dijuluki ‘si laba-laba’. Julukan itu pertama kali muncul ketika ia berhasil menahan beberapa tendangan penalti pemain Persipura pada final Copa Indonesia 2007 yang berhasil dimenangi Sriwijaya FC.
Kurnia Meiga merupakan kiper utama timnas pada beberapa turnamen terakhir. Hal itu tak mengejutkan, sebab ia memiliki berbagai atribut yang membuatnya layak menempati posisi tersebut, seperti postur ideal, keberanian berduel dengan lawan, hingga kemampuannya dalam memberi komando kepada rekan-rekannya. Meiga berhasil dua kali membawa timnas U-23 ke babak final SEA Games, 2011 dan 2013 (Meiga menjadi kapten pada SEA Games 2013). Sayang, dalam dua kali kesempatan tersebut Indonesia harus kalah. Terakhir, ia juga membawa Indonesia secara mengejutkan lolos hingga final Piala AFF 2016. (courtesy of; fourfourtwo.com ; Wikipedia ; dll).

Tuesday, November 3, 2015

MEMPERTAHANKAN SPESIESNYA

Semua makhluk hidup secara naluriah akan mempertahankan dan menyelamatkan spesiesnya. Itu kata Profesor Shuji Nakamura, penerima Nobel 2014, atas temuannya berupa LED Biru  ("for the invention of efficient blue light-emitting diodes, which has enabled bright and energy-saving white light sources").
Dengan melahirkan lampu terang yang hemat energi, harapannya manusia tetap eksis tidak punah seperti yang dialami oleh dinosaurus yang kini tinggal fosil dan ceritanya.(foto: courtesy of google images)

Thursday, October 29, 2015

BAHAN STAND UP COMEDY #02 : REPORTER

Banyak reporter TV yang menjadi mashur karena kepandaiannya memilih dan menyusun kata-kata yang tepat sesuai fakta, situasi dan kondisi obyek yang dilaporkannya. Tapi ada pula yang melakukan kebohongan public ataupun menambah sesuatu menjadi semakin buruk.
Reporter sepak bola selalu menutup reportase dengan kalimat “akhirnya wasit meniup peluit panjang”. Padahal kita tahu bahwa peluit yang dipakai wasit memimpin pertandingan, ukurannya sangat tidak layak disebut panjang.
Akan halnya reporter yang melaporkan kecelakaan lalu lintas berkata “korban menderita patah tulang kaki, dan sekarang dilarikan ke rumah sakit terdekat”. Tentu saja perbuatan menyuruh korban patah kaki untuk lari ke rumah sakit terdekat hanya akan membuat penderita semakin parah.

Wednesday, October 28, 2015

Bahan #01 STAND UP COMEDY


Ibunya Si Emen punya anak lima. Nama anak-anak itu lucu-lucu karena Sang Ayah selalu memberi nama anak-anaknya sesuai dengan keadaan Si Anak ketika dilahirkan.
Misalnya, anak pertama, waktu lahir si anak tertawa “ha ha haa….”.  Maka anaknya diberi nama Gablak.
Tapi, anak kedua, karena si anak tertawa : “hi hi hii …..” Maka diberi nama Giblik.
Setahun kemudian anak ketiga dilahirkan dengan suara tawa “hu hu huu …..”, Lalu dinamai Gubluk.
Anak ke empat tertawa “he he hee ….” Maka namanya Geblek
Anak ke lima, ketika lahir, tertawa merdu sekali : ”ho ho hoo …….”.
Nah, siapakah nama anak yang terakhir tersebut?
Silahkan tulis kesimpulan anda pada komentar yang tersedia.

Monday, May 16, 2011

PUTU SETIA MENGGUGAT TELKOM


Tulisan saya di majalah online KOIN kemudian diposting oleh Ketut Adi on 2004-03-04 pada laman http://www.iloveblue.com
Adakah wartawan yang "puasa" menulis? Ada. Itu adalah Putu Setia. Sejak SIUPP Majalah Tempo, tempat dia mangkal, dicabut maka hilanglah minat menulisnya. Jadilah tanggal 21 Juni 1994 itu sebagai hari pertama "puasa" menulis buat sang Redaktur Senior ini. Sesungguhnya, sebelum SIUPP Tempo dicabut, tutur mantan Wartawan Bali Post ini, sering ia bercita-cita bebas dari pekerjaan. Perasaan begitu muncul terutama sehabis bagadang semalaman mengerjakan majalah yang melelahkan. "Tidak melakukan kerja apapun dan mondar-mandir tapi bisa enak makan sungguh terbayang nikmatnya," pikir ayah dua orang putra-putri Komang serta Kadek ini. Tapi ketika beneran tidak punya kerjaan dan mondar-mandir itu datang di kehidupannya kesal juga. "Saban hari kerjaan saya cuma menggerutu, ngedumel, merenung serta menyesali sesuatu yang tak berujung pangkal." keluhnya mengenang. Tiba-tiba saja, hari Minggu 22 Februari 2004, wartawan yang punya sebutan Duta Dharma ini muncul di ruang Lebah Biru, Telkom Divre V Jawa Timur, di jalan Ketintang, Surabaya. Apa hubungannya seorang redaktur senior majalah Tempo dengan Telkom Divre V? Benarkah dia mau "menggugat" Telkom? Hari itu, putra ke lima dari sembilan bersaudara, dari pagi hingga siang memberikan arahan kepada umat Hindu yang ada di lingkungan IBO Binroh Hindu Telkom Divre V Jatim. Lengkapnya acara, Dharma Tula menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1926, dengan tema "Mencari benang merah antara Pustaka Lontar, yang sering menjadi acuan upacara Yadnya di Bali, dengan Pustaka Suci Weda, untuk meningkatkan Sraddha Agama." Acara ritual berlangsung khidmat, dan ceramah berlangsung semarak. Pesertanya 83 orang dengan melibatkan warga Hindu Telkom 58 orang dan sisanya, 25 orang dari luar Telkom. Putu Setia bertutur, antara lain, tentang turunnya wahyu Suci Weda sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, bertempat di lereng Gunung Himalaya. Wahyu tersebut didengar (swaranam) dan diterima oleh tujuh orang suci yang sedang melakukan pertapaan kala itu. Ketujuh orang suci itu adalah para Maharsi antara lain : Grtsamada, Wismamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Kemudian wahyu yang didengar tersebut dikompulir oleh seorang Maharsi bernama Bhagawan Wiyasa akhirnya terwujudlah Kitab Suci Weda yang kita kenal saat ini. Dalam perkembangannya ke 7 orang Maharsi penerima wahyu tersebut menyebarkan ajarannya secara sendiri-sendiri sesuai dengan pengalamannya sendiri, yang mana tentu antara yang satu dengan yang lain mempunyai pandangan sedikit berbeda-beda, lama-kelamaan akhirnya di India terbentuklah beberapa Sekte (aliran) yang memiliki penekanan yang berbeda-beda pada ajaran Hindu tersebut. Sekte terbanyak penganutnya di India antara lain : Siwa-Sidanta, Pasupata, Waisnawa, Indra, Saura dan Linggayat Bhagawanta. Sebelumnya, Sabtu malam, Putu Setia bersama tokoh-tokoh agama lainnya selain Hindu, syuting bersama RCTI di halaman Mesjid Ceng Ho Surabaya yang disponsori Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, dalam rangka penerangan Pemilu 2004. 
 Banyak Kasta 
 Putu Setia, di mata saya, tetap seperti dua puluh tahunan lalu. Orangnya sederhana, murah senyum, dan mudah akrab dengan siapapun. Ia tidak memandang "kasta" dari orang yang diajak bicara ataupun bergaul. Bahkan, seperti yang dituturkannya dalam "Putu Setia Mendebat Bali", ia sering membuat orang bingung. Kalau ia ditanya, apa kasta Anda, ia menjawab: "Saya biasa berganti kasta setiap satu jam. Pagi-pagi biasanya saya berkasta Sudra, karena saya harus mencuci mobil sebab tak punya supir. Siang hari saya berkasta Wesya, karena saya melakukan aktifitas bisnis. Tapi malam hari saya pastilah seorang Brahmana, karena seluruh kegiatan saya tertuju pada masalah rohani, mulai dari melantunkan mantram-mantram, membaca sloka Weda dan sebagainya." Putu Setia, sebagaimana anak-anak dan keponakannya memanggil, adalah seorang Guru. Tapi ia berbeda dengan Guru-guru yang lain. Ia seorang guru yang tidak pernah merasa menggurui. Periode 1978 - 1983 saya "menguntit" beliau sejak markas Tempo Biro Jateng dan DIY di jalan Magelang hingga di Jalan Abu Bakar Ali, Yogyakarta. Di setiap kesempatan selalu memberi contoh bagaimana menulis yang baik dan benar tanpa kesan mengkuliahi. Belajar jurnalistik dari nol padanya sungguh nikmat dan menimbulkan ketagihan. Orang Jawa bilang "ngangeni". Dia memberi berbagai taktik lapangan. Bagaimana bisa menembus penjagaan serdadu ketika mewawancarai Pilot pesawat tempur yang jatuh di Surakarta. Pilot yang terbaring di Rumah Sakit Solo, dikawal berlapis-lapis, bisa ditemui dengan cara-cara yang dibekali Putu Setia. Ketika wabah penyakit ikan lele melanda DIY dan beberapa tempat lain di tanah air, Putu Setia memberi jampi-jampi mujarab bisa menembus berbagai sumber yang saat itu diwajibkan tutup mulut, ditugaskan "no comment", oleh para petinggi negeri. Dalam lingkup jurnalistik ia bahkan tidak segan-segan memberi "wejangan" bagaimana menulis lead sebuah features yang baik dan tepat, kepada reporter usia hijau seperti saya saat itu. "Tulisan 5W itu jurnalistik kuno, coba anda pilih lead yang tepat. Bisa deskriptif, bisa lead yang menggoda atau lead yang menantang sekalian," pesannya suatu ketika. Sosok budayawan Pulau Dewata, mantan anggota Drama Gong, adalah juga penulis produktif. Di kesenggangannya di antara kesibukannya selaku wartawan Tempo yang berdenyut tiap detik ia masih sempat berhibur diri dengan membuat berbagai cerpen. Tipe cerpennya bisa lucu dan konyol, tapi bisa juga sedih dan melankolis. "Intel dari Comberan" misalnya yang menceritakan pengemis dikira Intel, yang dibuat tahun 1980 dimuat di Sinar Harapan Minggu, membuat orang terpingkal-pingkal membayangkan kekakuan di zaman Orde Baru. Saat membaca "Ketika Gerimis Turun" yang "happy ending"-nya sedih buanget, tidak terasa membuat mata kita bisa berkaca-kaca. Cerpen itu memang cerpen juara. Ia memenangkan lomba cerpen di majalah Kartini. Putu setia menerima wesel Rp 400.000 yang saat itu ia belikan kursi mebel ukiran buatan Jepara lengkap dengan lemari. Sisanya buat makan-makan bersama se markas Tempo. Uang segitu cukup besar, gaji saya di Telkom, eh Perumtel, baru Rp 48.000 per bulan. Putu Setia, yang hari kelahirannya Budha Paing Krulut, adalah teman, kakak sekaligus guru. Ia seorang sosok yang ulet, memegang prinsip, terbukti dengan tidak bergeming sedikitpun untuk beralih ke media lain selama Tempo dibreidel. Namun tokh ia tetap bersahaja. Seorang ayah yang tengah menyiapkan perjalanan episode akhir. Ia banyak bergelut dalam dunia kerohanian Hindu. Ia Duta Dharma sekaligus pembaharu yang banyak disukai anak-anak muda Bali. Putu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Lahir tanggal 4 April 1951 dari seorang ibu dan ayah yang tokoh spiritual sekaligus budayawan. Sang ayah meninggalkan Putu Setia ketika ia masih duduk di kelas I SLTP. Putra pulau Dewata ini meniti karir sambil kuliah jurnalistik di universitas swasta dan kursus di LP3ES Jakarta. Ia bergabung sebagai wartawan Bali Post yang kemudian merangkap sebagai koresponden Tempo di Bali. Tahun 1978 ia menjadi kepala Tempo Biro Jateng dan DIY hingga 1983. Sejak itu ia di Jakarta sebagai redaktur dan kemudian redaktur senior hingga kini. Novelnya yang cukup beken, "Sumpah" (1974), "Di Ujung Dendam" (1976), "Seindah Sorga" (1978). Buku Budaya "Menggugat Bali" (1986) buku yang mendapat sambutan luar biasa, bahkan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, yang kemudian disambung dengan "Mendebat Bali" (2002). sumber: http://koin.telkom.co.id/isi.html?menu=rumor&id=20040303135013&edisi=200403

Friday, August 27, 2010

SENDA GURAU DENGAN SEORANG KRISTIONO


Hampir semua orang tahu siapa itu Kristiono. Terlebih orang Telkom. Pegawai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa sekaligus network ‘perkawatan’ milik Ibu Pertiwi ini merentas karir dari bawah hingga puncak sebagai seorang President Director.

Berbekal selembar ijazah insinyur elektro dari Institut Teknologi 10 November, Surabaya, ia ‘magang’ di Telkom di ruangan mesin sentral telepon otomat (STO) yang 18 derajat Celcius dinginnya.

“Pak Kris itu pernah masuk angin gara-gara tidur kelelahan di Ruang STO,” ujar Pan Sopandi mantan atasannya kepada Penulis.

Pemuda kelahiran Februari 1954 ini memang kalau sudah bekerja lupa ‘menginjak rem’. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Alex Sinaga, mantan GM Kandatel Surabaya Barat yang pernah dipimpinnya ketika Pak Kris sebagai orang Telkom nomor satu di Jawa Timur.

“Pak Kris itu pekerja keras tapi cerdas,” ujar Endro Lukito mantan Senior Manager Human Resources DIVRE V Jatim. Tapi, sambung Endro, “sesungguhnya Pak Kris itu senang berkelakar.”

Hal itu dibenarkan oleh Pak Kordinal, mantan Senior Manager General Support. “Orangnya kalem, tenang, dan sulit diterka mode-nya. Jadi mencari waktu yang tepat untuk bersenda-gurau dengan beliau memerlukan kepekaan tersendiri,” sambungnya.

Alkisah, suatu ketika, Para Pimpinan Telkom Jatim, mulai level I sampai level III, diwajibkan mengikuti GURILA di hutan jati dan pantai Situbondo. GURILA, kepanjangan dari Gunung, Rimba dan Laut, adalah acara outbond yang diperlukan untuk menempa fisik dan mental, sekaligus membina kerja sama dan kebersamaan. Instrukturnya dari rekan-rekan Marinir Surabaya.

Level I itu tentu saja Pak Kris ikut dalam barisan. Level II adalah para Kepala Stafnya beliau, para Senior Manager, ditambah dengan para eksekutif Kantor Daerah, para General Manager. Yaitu Kandatels MAMA BERSUSU. Madiun, Malang, Jember, Surabaya Barat dan Surabaya Timur.

Di Level III berjejer 16 Manager, eksekutif kelas Kantor Cabang. Yang masih ingat, antara lain: Pak Iskandar, Kakancatel Sidoarjo - Gunawan Rismayadi, Kakancatel Situbondo - Darwis Siregar, Kakancatel Lumajang - Agus Subekti, Kakancatel Gresik – Joni Wibisono, Kakancatel Kediri – Pak Wawan (Alm), Kakancatel Banyuwangi) – dan … siapa lagi ya?

Suatu ketika di kaki bukit kapur yang ‘dihuni’ hutan jati berikut ular kobranya, semua peserta diwajibkan mengikuti apel pagi. Selaku perwira upacara adalah seorang Mayor Marinir. Pak Kristiono didaulat menjadi Inspektur upacara. Apel akan dilaksanakan pukul 07.30 WIB dalam disiplin TNI yang ketat dan tepat waktu.

Semua peserta bangun pagi. Mulai jam lima sudah sibuk antri mandi darurat di kamar-kamar mandi kelas ‘hutan’ buatan penyelenggara. Yang ingin pergi ke ‘belakang’ harus antri karena kapasitasnya terbatas.

Jam enam pagi, yang sudah siap apel, sudah bisa meminum kopi dan serta mencicipi pisang goreng yang masih hangat.

Pak Kris, kelihatannya baru bangun tidur, ikut bergerombol dengan kami. Dia duduk di sebuah batang jati yang sudah roboh. Sebagaimana biasa, kalau ada kesempatan, saya mulai ‘jualan obat’. Bercerita berbagai kisah lucu. Dan itu, semua orang Telkom mengakui, adalah spesialisku. Ciri khas cerita lucuku selalu ada surprise di penghujung dagelan.

Karena ada Pak Kris aku melai bercerita yang tokohnya adalah Pak Kris itu sendiri. Tapi, gaya saya berkisah, serius memandang teman-temanku saja. Cuek, seolah-olah di situ tidak ada Pak Kris.

Ceritanya begini, ujarku memulai kisah. Suatu ketika Pak Kordinal menerima sebuah surat penting yang sudah didisposisi oleh Pak Kris. Sebagaimana rata-rata Pimpinan Top, disposisinya pasti singkat dengan gaya tulisan yang cepat, pertanda super sibuk, mirip steno atau mirip dengan tulisan resep yang dibuat oleh dokter.

Rupanya Pak Kordinal tidak terlalu sering membaca tulisan disposisi Pak Kris. Beliau hanya mengernyitkan alis, tidak tahu apa yang tertera di situ. Mau tanya kepada bawahannya, gengsi! Mau telepon ke Pak Kris, sipembuat disposisi, dipandang tabu dam malu. Akhirnya, paling aman, pikir Pak Kordinal, “Lebih baik tanya Pak Endro saja.”

Di antara para Senior Manager (SM) Pak Endro adalah orang yang paling ‘mengerti’ tentang Pak Kris. Di samping sudah lama bersama Pak Kris, Pak Endro adalah SM yang paling dekat ruangannya, paling sering dipanggil Pak Kris mendiskusikan segala sesuatu. Hampir semua SM maupun GM, kalau mau menghadap Pak Kris, biasa singgah dan berkonsultasi dengan Pak Endro terlebih dahulu. Jadi Pak Endro adalah ‘nyaris’ duplikatnya Pak Kris.

Pak Kordinal menyodorkan surat berdisposisi tadi ke Pak Endro.”Tolong dong aku dibantu,” ujarnya. “Maksudnya Pak Kris, dalam disposisinya itu apa, ya?” sambung Pak Kordinal sambil mengambil kursi di muka meja kerja Pak Endro.

Pak Endro ‘sang dewa penolong’ yang terkenal ramah itu langsung menyamber surat yang disodorkan sahabatnya. Harapan kita, semoga Pak Endro mampu memberi pencerahan, seperti biasanya kepada semua yang mendapat kesulitan. Pak Endro paling hafal tulisan Pak Kris yang mirip resep dokter itu!

Tapi, hadirin, apa yang terjadi? Pak Endro kali ini sama seperti Pak Kordinal. Mengernyitkan alis. Bahkan kadar kernyitnya lebih tinggi karena alis Pak Endro lebih tebal dari alisnya Pak Kordinal. Lagi pula Pak Endro lebih dramatis, menambahnya dengan gerakan kepalanya yang menggeleng kekiri dan kekanan berkali-kali. Seharusnya, menurut penulis, musti ditambah dengan suara “ Ckk…ckkk…ckkkk!”.

Pak Endro angkat tangan sembari bergumam, “Iya ya. Aku koq nggak ngerti juga….”.

Melihat subjek surat yang nampak penting dan urgen maka, meskipun gengsi, harus ada yang berani menanyakan bunyi disposisi itu kepada penulisnya langsung. Disepakati bahwa yang terbaik adalah berdua, Pak Endro dan Pak Kordinal, menghadap langsung ke Pak Kris.

Setelah mendapat lampu hijau dari Bu Yermin, sekretaris Kadivre, mereka masuk ke ruangan Pak Kris. Di belakang meja kerjanya Pak Kris masih berbicara dengan seseorang melalui telepon.

“Ada apa ini,” ujar Pak Kris sambil meletakkan gagang telepon setelah menutup pembicaraan.

Pak Endro mengemukakan keperluannya. “Ini lho Pak. Maaf, maksud Bapak dalam disposisi ini, kami belum tahu …, ” ujarnya sambil menyerahkan surat yang dimaksud.

Pak Kris mengambil surat itu. Dua detik berlalu. Pak Kris bertanya, “Lho koq suratnya sudah sampai di Pak Kordinal?”

“Iya pak. Saya terima dari anak buah saya. Ini dari staf Sekretariat,” ujar Pak Kordinal berusaha menjelaskan mengapa dia menerima surat itu.

“Gini lho. Ini kan belum saya disposisi. Ini bukan disposisi. Ini saya baru nyoba ballpoint baru,” ujar Pak Kris menjelaskan sambil senyum kecut.

“Pantes Pak Kordinal dan saya nggak bisa baca,”pikir Pak Endro

“Ha …haaa…… Sialan lu Den …!” ujar Pak Kris yang dari tadi mendengarkan ceritaku, memecahkan perhatian. Audien saya serempak langsung menoleh ke sumber suara.

“Eeee… sudah hampir jam tujuh. Aku belum mandi,” sambung Pak Kris sambil melirik Mayor Marinir yang dari tadi sudah berdiri tidak jauh dari Pak Kris. Padahal maksud Mayor berdiri di situ itu memberi isyarat, bahwa Bapak akan menjadi inspektur upacara koq sudah siang gini belum mandi!

“Denny memang sialan,” pikir Pak Mayor yang kelihatan kesal sehingga harus menyesuaikan keadaan kalau-kalau upaca diundur sedikit.

Photo: Courtesy of http://www.businessweek.com

----




231 Chamberlin Drive, West Seneca, NY 14210-2613


PARE-PARE KOTA KENANGAN


Salah satu kota yang aku singgahi dalam perjalanan hidup ini adalah Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan.

Berbekalkan sebuah eSKa bernomor 348, bertanggal 12 September 1995, aku melangkahkan kaki ke kota pelabuhan terbesar kedua di Sulawesi Selatan, yakni Pare-pare. Pak Koesprawoto, Kepala Telkom Divisi Regional VII Kawasan Timur Indonesia, memberi kepercayaan kepadaku untuk memangku jabatan Kepala Kantor Daerah Telekomunikasi (Kandatel) Pare-pare.

Sebelumnya aku banyak berkecimpung menjadi ‘pembantu’ orang nomor satu yang memimpin PT. Telkom di pulau Sulawesi, bahkan Kawasan Timur Indonesia.

Pertama kali menjadi Sekretaris Kepala Wilayah Telekomunikasi (Kawitel) X Sulawesi, era kepemimpinan Pak Effendi Soetanto. Beliau pindah ke Jawa Barat, lalu aku di’waris’kan kepada Drs. Soerato yang pakar Gugus Kendali Mutu (GKM) di Telkom.

Dari Pak Soerato kemudian aku ‘diserah-terimakan’ kepada Pak Adeng Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kawitel X Sulawesi.

Setelah Pak Adeng, terus aku diturunkan kepada penggantinya, yaitu Bapak M.J. Worung. Dari Pak Worung terus diestafetkan kepada Bapak Pramudjo. Di jaman Bapak Pramudjo inilah Telkom melakukan Restrukturisasi. Empat Wilayah Usaha, meliputi Sulawesi, Bali dan Nusra (saat itu termasuk Timor-Timur), Maluku, serta Papua digabung menjadi satu, berganti nama menjadi Divre VII.

Aku mengalami masa kepemimpinan ‘Twinning’ di Ujungpandang (sekarang kembali menjadi Makassar). Ada Kawitel, yaitu Pak Pramudjo, tapi ada pula Kadivre, yaitu Pak Koes.

Kepindahanku ke Pare-pare merupakan langkah transformasi dari memegang peran sebagai ‘ekor kerbau’, menjadi seorang ‘kepala tikus’. Daerah operasi Kandatel Pare-pare lumayan luas. Sekitar 45.000 km2. Membawahi 11 Kantor Cabang Mulai dari Kancatel Mamuju, di sisi Sulawesi sebelah barat, sampai Masamba, Palopo di Timur Utara, mendekati Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Aku harus mampu berkordinasi dengan 13 Kepala Daerah Tingkat II, dua orang Pembantu Gubernur, dua orang Komandan Korem, dan dua orang Kapolwil.

Pada saat pelantikan (di jaman Orde Baru dikenal ada istilah Penguasa Tunggal) maka bingung Pejabat Pemda yang mana yang akan melantik. Pembantu Gubernur ataukah Walikota Pare-pare? Ternyata menurut protokol dari Provinsi Sulawesi Selatan, yang akan melantik adalah Pembantu Gubernur.

Saat itu, aku lupa pak siapa Pembantu Gubernurnya, tapi kalau Walikotanya masih ingat. Bapak Syamsul Alam Bullu (Alm).

Di luar Jawa, terlebih di Kota kecil seperti Pare-pare yang waktu itu penduduknya sekitar 100 ribu orang, semua pejabat menjadi sangat rukun. Hampir semua pejabat instansi non Pemda itu orang dari Jawa dan Madura. Kepala BRI namanya Pak Bambang, Kepala Pertamina dari Madura Pak Sholeh (?), Kepala PLN Pak Purwanto. Kepala Pos orang Sunda (?). Di Pare-pare, mungkin hadiah dari Pak Habibie, ada Kantor/stasiun bumi LAPAN. “Bos’-nya juga dipanggil Pak Bambang yang suka naik Jeep yang ‘ngegrond’.

Yang lucu, kepala Bank BTPN orang Gorontalo, tapi arisannya ikut perkumpulan Jawa dan perkumpulan Sunda (Ayo ngGuyu dan Condong Raos). Pak Danrem orang Jawa, lupa namanya. Tapi kalau Pak Kapolwil saya ingat. Pak Yusuf Muharam orang Sukabumi yang baik hati, yang kemudian promosi menjadi Kapolda Timor-Timur.

Kalau Bulan Ramadhan, semua pimpinan instansi, sipil maupun militer, kebagian menjadi Tuan Rumah dalam acara buka puasa bersama yang dilanjutkan dengan Sholat Tarawih. Rumah Jabatan rata-rata besar, sehingga mampu merubah menjadi semacam ‘masjid’. Maklum di luar Jawa harga tanah tidak terlalu mahal, saat itu.

Di internal Telkom, Para Kepala Dinasku, 100 persen ‘anak muda’. Bahkan ada yang masih membujang. Semua sarjana, dan semua gila kerja. Kerja keras bagai kerbau, tapi mereka cerdik dan cerdas lebih dari 1000 ekor kancil. Pak Nyoman (ini pasti bukan orang Batak!) Kadin SDM dan Sisfo. Pak Syarifuddin, Kadin Teknik yang serba tahu dan serba bisa. Pak Bastoni (sama seperti Pak Syarifuddin, putra Palembang) Kadin Perencanaan yang pemberani. Mulai dari adu kepandaian sampai adu jotos si jago makan empek-empek ini bidangnya. DI Dinas Pembangunan saya punya Fitria Aboekasim. Namanya Fitria tapi dia berkelamin jantan. Orangnya memiliki seribu alternatif yang tak pernah kehabisan taktik dalam menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Di Dinas Keuangan ada Pak Djoko yang kemudian, karena sakit, diganti oleh Bonny Harumain. Yang terakhir ini harumnya bukan main! Eh sorry, bukan yang terakhir. Karena masih ada satu lagi orang yang mengawal ‘dagang’, Kepala Dinas Niaga, Pak Ardi utomo yang menempatkan Pare-pare dalam dua periode berturut-turut di peringkat satu bidang marketing, di antara 21 Kandatel yang ada. Berkat beliau aku sempat piknik bersama istri ke Singapura selama seminggu sebagai salah satu hadiahnya.

Kancatel yang ada di daerah Kandatel Pare-pare saat itu adalah, Kancatel Barru, Kancatel Polewali, Majene, Mamuju, Pinrang, Sedendeng Rappang (Sidrap), Enrekang, Rantepao (Tana Toraja), Palopo, Watan Soppeng, dan Sengkang.

Yang sekarang sering bertemu di Surabaya adalah Anak Agung Gde Agung, mantan Kakancatel Pinrang.

Makanan kegemaranku adalah Ciwiwi goreng. Daging unggas belibis yang digoreng. Rasanya gurih, nikmat. Makannya pasti lahap karena untuk mendapatkannya, biasanya seusai latihan Tenis di hari Sabtu, berjarak cukup jauh yaitu di daerah Tanru Tedong. Jaraknya sekitar 75 kilometer dari Pare-pare.

ey dedededeeh …. Nikmatna, di?”

------