Thursday, October 2, 2008

Aku, diriku, kisah 20, Pesta Kawin


Untuk ukuran desa, saat itu, ini termasuk nyeleneh bin eksentrik. Acara pesta pernikahan kakakku dimulai dengan prosesi seserahan. Pihak pengantin laki-laki bersama rombongannya akan datang ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah dibalut dengan tatacara perkawinan adat sunda.

Kedatangan pihak pria ini tidaklah tangan kosong. Buah tangan, barang seserahan, harus dicangking dalam penampilan yang indah. Masing-masing benda dibawa oleh anggota rombongan yang mengenakan busana terbaik.

Kakakku selaku staring utama, memakai jas beskap sunda lengkap dengan blangkon dan keris berjalan di muka barisan, dinaungi payung kebesaran bagai satria dari keraton Pajajaran. Barisan dipimpin oleh Ki Lengser selaku wakil sekaligus juru bicara yang disewa secara khusus.

Iring-iringan start dari rumah Haji Maksum di kampung Pasar Lama akan menempuh jarak satu setengah kilometer menuju finish di rumah kedua Haji Hasan di kampung Kauman. Bapak memilih rumah H. Maksum sebagai tempat pemberangkatan, karena rumahnya besar berada di tepi jalan besar sehingga rombongan akan leluasa. Rumahku, di samping lokasinya di gang juga terlalu dekat menuju rumah calon besan.

Anak sulung dinikahkan sangat membahagiakan kedua orang tuaku. Pesta diselenggarakan besar-besaran. Saat itu ekonomi bapak juga masih menunjang. Barang bawaan sangat banyak. Menurut tetanggaku belum pernah ada iring-iringan sepanjang ini. Kepala barisan sudah sampai di muka rumah yang dituju, ekor barisannya masih berada di posisi start.

Pakaian-pakaian wanita yang elok, mulai dari kain jarit, kebaya, selop berwarna keemasan, ditata dalam keranjang-keranjang rotan yang dihias warna warni, dibawa oleh rumbongan pager ayu yang cantik-cantik. Aneka perhiasan emas, berupa anting-anting, gelang, kalung, bros dibawa oleh ibu-ibu keluarga dekat dalam cupu manik di atas nampan berenda-renda.

Kaum pria membawa benda-benda yng ukurannya besar atau bobotnya berat. Binatang misalnya, ada yang menuntun seekor kerbau gemuk, lima ekor domba dan lima ekor kambing, sepasang angsa putih, bahkan kelinci pun ada. Ayam betina dan ayam jantan ikut berbaris. Ayam pelung, di dalam sangkar, keluruk terus seolah mengucapkan selamat berbahagia kepada mempelai. Ia tidak takut oleh banyaknya orang. “Emang mah kebagian membawa marmot, “ ujar Mang Nunu pamanku.

Hasil bumi juga turut serta menyemarakkan suasana bagai pesta perayaan Hari Kemerdekaan. Beras Cianjur yang punel dan harum dalam ‘tolombong’ dipikul sebanyak lima pikulan. Beratnya dua kuintal, kata kakek. Padi yang masih ada gagangnya, dipikul kira-kira sepuluh pikulan. Padi yang berjuntai bagaikan rambut yang bergoyang-goyang tertiup angin ketika pikulan berjalan. Di belakang padi turut pamer singkong dan talas bentul besar-besar. Umbi berikut pohonnya di bawa serta. Pisang raja cere, pisang Cililin kualitas cap jempol, bertandan-tandan dengan warna kuning kecoklatan indah dipandang, bergerak-gerak dengan irama timbul tenggelam seperti orang hanyut, dipikul dalam nada langkah yang rancak.

Anak-anak, termasuk aku, berada di barisan paling belakang, bertindak selaku penggembira. Berjalan bagai pawai penuh nuansa bahagia. Meskipun, saat itu, aku belum punya sepatu.

Acara utama akad nikah berjalan sangat lamban menurutku. Anak-anak sudah tak sabar ingin segera menyantap hidangan gulai daging yang harumnya sudah lebih dulu hinggap di ujung hidung.

Untung ada acara sawer yang bisa melupakan sejenak. Nyanyian kidung penuh nasihat kehidupan bagi mempelai yang dilantunkan pesinden kondang, meski suaranya merdu, tidak terlalu dihiraukan. Tapi siraman beras bercampur kunyit dan uang logam sangat kami perhatikan. Semua anak-anak berebutan memburu oang logam yang berjatuhan gemerincing. Bukan main banyaknya uang logam yang disawerkan. Anak-anak puas hampir semua memperoleh koin.

Pesta sungguh meriah. Mulai pagi hingga siang semua muka nampak ceria. Di bawah terop berhias, dalam hujan kilatan lampu blitz dari juru foto, semuanya nampak bergembira. Terlebih pada saat acara makan siang. Masakan yang dibuat lezat cita rasanya. Opor ayam sangat menantang, gulai kambing dan kerbau seperti menghimbau. Sate kambing dan sate ayam dengan aroma yang khas disediakan berpiring-piring tiada habisnya seolah mengajak berpacu adu kekuatan perut.

Pencuci mulut, buah pisang raja mateng di pohon, sungguh manis dan enak di lidah. Aneka jenis minuman seperti sirup es kelapa berwarna merah jambu. Cendol dari bahan beras berwarna hijau diseduh gula aren dan santan, berlimpah ruah.

Belum lagi kue-kue tradisional di toples dan lodor. Ada rengginang, burayot, kue samboja, kariwel, kue bugis, tape ketan baik yang hitam maupun yang putih kehijauan. Opak ketan, sejenis kerupuk, tersedia di dalam blek-blek kaleng, bersama opak kolontong yang manis. Kue kering seperti kue lebaran juga tersedia.

Saat foto bersama aku di sisi pengantin tapi agak ke belakang dikit. Adikku sengaja kusuruh berdiri di mukaku. Aku malu kalau kakiku ikut terekspose. Maklum kakiku nyeker .. he..hee….

Siang hari pesta akad selesai. Rombongan, kecuali pengantin, pulang ke rumahnya masing-masing. Bapakku masih sibuk berbicara dengan para panitia yang sengaja dibentuk. Pesta belum tuntas. Justru acara hiburan baru akan dimulai nanti malam. Atas ijin yang diberikan Pak Lurah, bapak boleh menyelenggarakannya di alun-alun Cililin. Acara bukan hanya semalam. Bapak akan memberikan hiburan gratis kepada seluruh penduduk selama tujuh malam.

Nanti malam acaranya adalah seni tradisional yang disebut Pantun Beton. Entah apa koq ada istilah betonnya padahal tidak ada bangunannya. Apalagi cor-coran semen!

Pantun ini adalah seni bertutur suatu cerita hikayat-hikayat sunda kuno, seperti dalang tapi tanpa wayang, diiringi dengan gamelan sunda. Sisipannya adalah nyanyian dari para pesinden yang cantik-cantik. Ada lima pesinden yang bergantian mengumandangkan lagu, baik yang sunda pakem mapun sunda pop yang lagi populer seperti Bajing Luncat, Bangbung Ranggaek, Bubuy Bulan, Neng Geulis, Panon Hidung dan Mojang Priangan.

Pertunjukan dimulai pukul setengah delapan, ba'da shalat Isya. Alun-alun dipenuhi pengunjung tidak saja penduduk Cililin tapi juga ada yang datang dari kecamatan tetangga seperti Batujajar, Cihampelas dan Sindangkerta. Pedagang makanan, pakaian dan mainan anak-anak ikut menyemarakkan suasana. Acara berakhir lewat tengah malam.

Malam kedua, ketiga dan keempat, berturut-turut diputar film layar tancap. Pertama film koboy yang digandrungi anak-anak berjudul Duel on The Missisippi. Malam kedua Tarzan. Penutup film produksi Filipina berjudul Darna si pembela kebenaran yang berperang membasmi ratu ular, si ratu kebatilan. Aku senantiasa terkenang dengan film Darna ini. Darna adalah tokoh wanita yang diperankan seorang aktris cantik. Kesaktiannya sangat mengagumkan dalam menaklukan ular-ular besar yang dikerahkan si ratu batil. Aku jadi ingat ular sanca cerita kakekku yang ‘digawingkeun’ di pohon beringin di alun-alun.

Acara terakhir adalah acara puncak. Malam itu dilangsungkan pertunjukan wayang golek. Dalang Kupa adalah dalang bertarif mahal. Didampingi pesinden utama yang lagi kondang yaitu Titim Fatimah. Saat itu di Jawabarat hanya ada dua pesinden kesohor. Upit Sarimanah di deretan terdepan. Titim yang baru naik daun berada di peringkat dua.

Di malam terakhir ini alun-alun Cililin sungguh dibanjiri lautan manusia. Semua ingin melihat dari dekat seperti apa sih wajahnya Titim itu. Suaranya memang ciamik. Dengan sound system yang didatangkan dari kota Bandung, suara merdu itu menggema dan menempel di dedaunan pucuk cemara di bukit-bukit yang mengelilingi desa Cililin.

Pertunjukan wayang berakhir sebelum adzan subuh berkumandang. Ketika bubar semua merasa puas atas suguhan wayang maupun pesindennya. Meski ngantuk semua memuji ki dalang dan Titim yang suaranya jernih dan lantang. “Tidak mustahil beberapa bulan ke depan Titim bisa saja menggeser posisi Upit Sarimanah,” ujar Pak Nana guru kesenian di SMP Cililin.

Alun-alun sudah sepi tapi anak-anak masih berbalut sarung bertumpukan di bawah panggung. Tidur di bawah pentas bukan hal yang baru. Setiap ada acara wayang di alun-alun kami tidak terlalu memperhatikan cerita wayang. Yang penting adalah bermain kejar-kejaran, jajan kacang sangrai yang garing, atau makan kupat tahu kalau dibelikan orang tua. Setelah penat, belum tengah malam, kami semua memilih tertidur pulas di bawah panggung.

Bubarnya acara tidak menghentikan aktivitas di rumahku. Bapakku harus menghitung isi koceknya. Berapa banyak harta yang terkuras. Berapa banyak sisa kewajiban yang harus dilunasi. Total jenderal berapa banyak biaya yang dikeluarkan. Untuk sebuah kebanggaan dan harga diri orang desa memang konsumtif begitu. Istilah kerennya value for money. Eh kebalik, money for value!


aku, diriku, kisah 19, Kang Ateng



Kakakku yang paling sulung, Kang Ateng, orangnya keren. Ganteng abis deh. Orangnya perfectionist. Cute, charming dan handsome. Entah apa yang dimakan ibuku saat mengidam kakakku itu. Aku senantiasa iri dan bangga kalau melihat ketampanan kakak. Bukan cuma aku seorang yang memuji kakakku. Paman, bibi, bahkan kakek yang pecinta wayang golek melukiskannya menggunakan kata-kata puitis Ki Dalang. Katanya bagaikan "lalaki langit lalanang jagat, sakti kawanti-wanti, gagah samanca buwana."

Kalau mau menggambarkan keelokannya dengan rangkaian kata-kata, harus memakai seloka, pantun, madah atau puisi. Paling tidak menggunakan tamsil Gurindam Dua Lusin seperti ini:


Laksamana malang melintang,

Burung Blekok terbang di ladang,

Parasnya tampan tidak kepalang,

Gagah elok enak dipandang.


Ia punya kelebihan pandai merancang busana. Umpama hidup sejaman, dia tidak kalah dengan reputasi Itang Yunasz, Robby Tumewu atau pun Robby Darwis. Eh, yang terakhir itu perancang busana apa pelatih sepakbola? Maaf kalo-kalo salah ye.

Kang Ateng dapat dukungan financial yang memadai. Waktu itu ia sudah duduk di bangku SMP. Jangan heran, SMP doeloe orangnya banyak yang udah punya kumis. Jadi tak perlu heran kalau anak SMP itu udah mirip-mirip anak SMA atau bahkan mahasiswa tahun pertama saja layaknya.

Bapak memberi previlege kepada kakakku untuk mengambil barang-barang keperluannya dengan bayar di belakang atas tanggungan ayahanda. Toko yang ditunjuk adalah tokonya Teh Elis yang berdiri di deretan depan pasar Cililin.

Aku sangat hafal, barang-barang apa saja yang suka diminta dari Teh Elis itu. Itu karena akulah yang disuruh mengambil benda-benda yang dibutuhkan kakak. Minyak rambut pasti Cap Dengkak. Kalengnya berbentuk oval bergambar wanita cantik dengan pose kaki agak mekangkang. Dalam bahasa sunda disebut ngadengkak! Tulisan di kaleng terbaca, Lavender Pomade, Brilliantine. Kalau tidak ada cap dengkak boleh di-subsitute dengan Erasmic yang tempatnya kaca transparan. Warna pomade-nya hijau. Tutupnya dari logam, bisa diputar.

Bedak dingin yang diminta pasti Tjap Saripohatji. Wujudnya berupa butiran sebesar telur cecak terbungkus kertas warna kuning seperti amplop ukuran bujur sangkar. Di tengah-tengah bungkus dipasang potret wanita dengan action mirip Jamu Nyonya Meneer. Kakakku emang pesolek. Kalau mau tidur mukanya dilaburi bedak dingin. Katanya menjaga agar kulit muka senantiasa halus. Selain memakai Saripohaci, menjelang tidur kakakku sibuk membungkus kepalanya dengan kain. Ini menjaga agar rambutnya yang selalu diset menggunakan benda bernama catok tidak menjadi rusak bentuk sisirannya. Semuanya itu dilakukan sendiri. Saat itu, di desaku, belum ada ‘binatang’ yang bernama Salon.

Mencatok rambut dilakukan subuh usai sembahyang. Besi berbentuk gunting tapi bulat dan tumpul dipanaskan di atas kompor. Kalau sudah panas diangkat lalu dicoba dulu ke kertas koran. Jika panasnya sudah cukup baru rambutnya diplintir agar jadi ikal berombak. Rambut jadi rapih tidak ada yang jocong, yang membahayakan pedagang balon gas. Kalau bapakku lagi bercanda, Kang Ateng sering dipanggil dengan sebutan Koboy Catok.

Penampilan kakak bukan ‘mengarang’ sendiri. Semua itu berkiblat kepada penampilan idolanya, sang legendaris Elvis Presley. Baju yang seperti kaus t-shirt berkerah, dengan kancing di dada memakai tali, dihiasi jumbai-jumbai mirip pakaian indian suku Apache, kakakku punya. Warnanya hijau Kermit hasil rancangan sendiri yang dijahit oleh Kang Dodo langganannya. Tampilan itu ia lihat di layar kaca, cinemascope istilahnya, berjudul Love Me Tender dari Twentieth Century Fox, Loving You dari Paramount, dan Kid Galahad dari United Artists.

Seusai mengenakan baju itu yang ternyata sangat pas, kakakku langsung pergi ke tukang foto studio. Posenya berdiri agak menyamping dengan kaki kanan naik ke kursi. Wajah tersenyum melihat ke kamera. Meski belum technic colour foto itu sangat indah. Kegantengan kakakku diekspoitir abis di media seluloid itu. Aku sendiri sangat suka melihat potret itu. Bahkan potret itu, belakangan sudah direpro dan dibesarkan, banyak keluarga menyukainya. Di rumah ibuku ada satu ukuran 10R telah diberi bingkai yang bagus.

Kegantengan kakakku terkenal tidak hanya di desa tapi meluas ke peloksok sekecamatan Cililin. Bahkan tembus ke kecamatan tetangga. Selain cakep, kakakku pandai bermain gitar. Dia bermain orkes dengan teman-temannya. Beberapa kali dalam event penting lingkungan desa kakakku sering manggung. MC-nya selalu menyebutkan satu persatu personil orkes. “Gitar pengiring dipegang oleh…… Ateng Hendradjajaaaa…” pekiknya yang langsung disambut oleh tepukan para penonton terutama gadis-gadis desa yang ada di deretan depan.

Walaupun baru SMP kakak sudah berkali-kali berganti teman dekatnya. Setahuku yang pertama adalah Neng Hilda anaknya Den Edi pemilik Bis. Saya suka sama Neng Hilda. Orangnya cantik, kulitnya bersih, rajin sembahyang. Bapaknya juga kaya. Dan, terutamanya, Neng Hilda sering memberiku kue-kue kalau aku main ke rumah Deden adiknya. Yang kedua, Neng Eti putrinya Haji Dodoh pemilik toko Nugraha di muka alun-alun Cililin tempat aku disuruh membeli rokok commodore itu. Neng Eti kelihatannya agresif. Kalau ngobrol sama kakakku, sering duduk nyerempet-nyerempet.

Pacar yang ketiga namanya Neng Djudju. Kulitnya putih bersih, rambut keriting kecil warna pirang dengan rambut jatuh sampai di pinggang. Neng Djudju bersahabat dengan Aisyah yang rumahnya saling berhadapan. Ibunya Aisyah jualan pisang goreng. Kalau aku disuruh kakakku mengembalikan buku ke Neng Djudju, aku pasti dibelikan pisang goreng buatan ibunya Aisyah itu. Pisang nangkanya manis, tepung beras asli digoreng pakai minyak klentik buatan sendiri. Sungguh lezat tiada tara. Emh …

Beberapa bulan berlalu aku tidak pernah mendapat instruksi yang berkaitan dengan Neng Djudju. Ternyata kakakku sudah putus lagi. Entah yang mana sih yang memenuhi seleranya. Saat itu kakakku kelihatannya sibuk mau menghadapi ujian akhir SMP. “Barangkali ia mau berkonsentrasi penuh pada pelajaran,” pikirku.

Suatu hari kakakku memanggilku. Ia menyuruh menyerahkan surat dengan amplop indah warna merah muda. Pesannya serahkan kepada putrinya Haji Hasan. Aku bilang bahwa di situ itu ada dua gadis, sama besarnya sama pula cantiknya. Yang membedakan cuma warna kulitnya, yang satu putih bagai salju dan yang satunya agak gelap sawo matang. Kakakku bilang terserah aku saja yang mana saja. “Semuanya sama saja,” ujarnya.

Aku pergi ke toko daging Pak Haji Hasan yang di alun-alun itu. Di dalam toko ada Ibu Haji Dioh seorang, tengah duduk sambil menghitung uang dari laci meja dagangannya. Di sebelah toko adalah ruang tamu rumahnya. Pintunya terbuka tapi tidak ada siapapun di situ. Dua gadis yang menjadi tujuan juga belum keluar. Padahal hari menjelang pukul empat sore.

Sembari menunggu munculnya bidadari, aku menebak-nebak, bidadari yang mana yang keluar terlebih dahulu. Yang putih itu namanya Ceu Ai, sedang yang agak hitam adalah Ceu Jamilah. Kalau aku boleh memberi penilaian, sepertinya Ceu Ai lebih unggul satu point dari adiknya.

Ceu Ai dan Ceu Jamilah mesti hampir sama besarnya dan hampir sama cantiknya bukanlah gadis yang dilahirkan kembar. Mereka kakak beradik normal, selisih satu tahun. He.. hee.. Bu Haji Dioh dan Pak Haji Hasan tidak ikut KB karena memang belum ada program itu. Anaknya, setahuku ada Kang Engkos, Ceu Haji Kulsum, Ceu Yoyoh, Ofan, Iim, Wawan, Ceu Ai, Jamilah dan siapa lagi ya, pokoknya buanyaak.

Bersamaan dengan tutupnya warung daging keluarlah satu bidadari. Ceu Ai menengok dari pintu entah mencari siapa. Aku yang sedang berputar-putar bergelayutan di pipa besi tiang loteng segera memanggil karena Ceui Ai kelihatannya akan masuk lagi. Aku berlari dan menyerahkan amplop merah muda yang sejak tadi kusimpan di balik baju. Ketika kuserahkan amplop itu jadi agak lembab terkena keringat badanku.

“Ceu Ai ieu aya titipan ti Kang Ateng,” ujarku dalam bahasa sunda.

Begitu amplop berpindah tangan aku segera berlari membuat Ceu Ai tak sempat mengucapkan sepatah katapun. Aku langsung tancap gas untuk menyampaikan laporan. Biasanya kalau tugas terselesaikan aku diberi tip buat beli combro panganan khas di desaku.

Aku merasa senang menyampaikan surat itu karena pilihanku yaitu Ceu Ai, pas sekali. Umpama yang keluar Ceu Jamilah, surat itu mau tidak mau pasti aku serahkan kepadanya. Surat yang kusampaikan itu rupanya menjadi suatu pembuka jalan kehidupan kakakku.

Usai membaca pengumuman hasil ujian SMP yang dipampang di sekolah, kakakku riang gembira. Ia lulus. Malam harinya bapak dan ibuku berdiskusi perihal kelanjutan studi kakak. Di Cililin tidak ada SLTA. Sudah pasti kakak harus sekolah di kota. Di Cimahi atau di Bandung sekalian.

Beberapa hari kemudian bapak memberi tahu bahwa kakak diterima di SMEA Jalan Wastukencana, Bandung. Kakak akan tinggal di Bandung, di rumah istri keduanya Haji Maksum pengusaha pabrik beras sahabat berat bapakku. Katanya Haji Maksum dan istrinya sudah bersedia menampung. Bahkan kakak itu dianggap sebagai anaknya, karena Bu Haji (aku lupa namanya) tak dikaruniai anak. Cuma lokasi rumahnya itu di Jalan Lodaya, jadi agak jauh ke Wastukencana.

Berita ini segera menyebar di desaku. Jang Ateng, putra sulungnya Pak Momon, akan pindah ke kota Bandung untuk sekolah. Semua orang sepertinya kagum, karena saat itu hanya satu dua saja keluarga yang mau menyekolahkan anaknya sampai harus pindah ke kota.

Ceu Ai menanyakan kepadaku kapan Aa (maksudnya Kang Ateng) pergi ke Bandung. Saya bilang hari Minggu tiga hari lagi. Ceu Ai kelihatan seperti ada sesuatu yang berat di hatinya. Ia menitipkan sepucuk surat kepadaku. “Nih buat Aa, “ katanya dengan pandangan menerawang entah kemana. Aku melihat ada titik bening air mata yang menggelayut di kelopak matanya. Butir itu nampak akan jatuh. Ia pun lantas berlari kembali ke rumahnya. Aku hanya ikut merasakan, seperti ada sesuatu yang hilang.

Setahun dua tahun berlalu. Kakakku senantiasa berkiriman surat dengan Ceu Ai. Aku merasa lega. Takutku kakak, yang biasanya mudah ganti pacar, tergaet oleh gadis kota. Saya bayangkan pasti teman-teman sekolahnya itu cantik-cantik. Penyakit kakak bisa kumat kalau melihat cewek semlohai.

Suatu ketika, tiba-tiba di rumahku kedatangan tamu istimewa. Pak Haji Hasan dan Bu Haji Dioh datang bersilaturakhmi malam-malam. Aku bisa menangkap percakapan mereka. Topik bahasan adalah tentang kakakku. Haji Hasan merisaukan jauhnya lokasi kakakku dengan Ceu Ai, takut menjadikan rencana besanan menjadi bubar. Intinya Pak Haji Hasan, yang terkenal tegas itu, menawarkan satu-satunya pilihan seperti lagunya Elvis Presley. It’s now or never!

Kondisi yang menyulitkan posisi ini akhirnya harus ditebus dengan patahnya studi kakakku yang tinggal setahun lagi. Ia gagal menyelesaikan sekolahnya di SMEA itu. Ia harus melepaskan lajangnya mempersunting kembang desa putri Pak Haji Hasan bernama Ceu Ai itu.

Sampai di sini aku masih berpikir, apakah kisah kakakku ini happy ending-nya, seperti juga kisah sebelumnya tentang Si Uro, hepi apa sedih? Mereka berdua nampak bahagia ketika memulai pelayaran bahtera kehidupan di samudera cinta. Tapi kakakku gagal bersekolah yang sangat diharapkan orang banyak di desaku yang haus akan success story dari warganya selaku pewaris kehidupan desa di depan.

Selamat tinggal masa remaja. Hidup kekuasaan orang tua atas para anak-anaknya, semoga saja akhir cerita semua berbahagia. Tiada pihak merasakan adanya penyesalan yang berkepanjangan.Amien!


Monday, September 29, 2008

aku, diriku, kisah 18, dua balita dua kumpay



Orang Cililin suka ikan mas. Semua menyebutnya lauk emas. Di Jawa disebut tombro. Jenisnya, dibedakan dari warna sisiknya, ada yang disebut domas, belang batu, kumpay atau kamper. Kakekku memelihara ikan mas di sawah bersamaan dengan menanam padi. Bibitnya sebesar jari. Selama dua atau tiga bulan, sewaktu padi masih butuh banyak air, ikan mas itu dipelihara. Setelah sawah mulai tidak digenangi air lagi ikan pun dipanen. Membantu menangkap ikan menggunakan ayakan, anyaman bambu sebesar niru, memang asik. Badan berlepotan penuh lumpur menambah kegembiraan suasana panen. Aku biasanya bertelanjang saja. Tokh peristiwa ini tidak disaksikan supporter atau para penggembira. Apalagi camera-man, wartawan juru liput dan cheer-leader, tak ada laah….capek deh!

Asyiknya suasana akan berlanjut saat disambung dengan acara makan siang. Kali itu, dapat dipastikan, nasi putih tidak lagi ditemani sekedar ikan peda, ikan asin paling murah di kampungku. Lauknya pasti ikan mas yang sudah digoreng kering oleh nenek. Pasangan ikan mas yang akan disandingkan, sudah bisa diterka pasti tahu goreng, sambel terasi, kerupuk, lalapan mentimun dan daun antanan yang rasanya 'cengkring' di lidah.

Sambungan kegembiraan pasca panen ikan masih berlanjut. Keesokan harinya aku pasti akan diajak ke pasar. Aku dibelikan celana atau baju baru oleh kakek. Itu diperoleh dari uang keuntungan menjual ikan mas ke Pak Supriatna, tukang ikan yang akan menjualnya kembali di pasar. Tugas tambahanku adalah menjaga ikan mas agar tetap hidup. Airnya harus diperhatikan harus selalu bersih. Kalau airnya keruh binatang bersisik indah ini bisa tewas. Ikan mas yang mati tidak ada yang mau beli. Sampai pembeli terakhir pun ikan mas harus dalam keadaan hidup. Itulah kode etik jualan ikan mas di kampungku. Tidak ada ikan mati, meski diberi es, diperjualbelikan.

Lauk emas itu, kata latinnya adalah Cyprinus carpio. Kata ensiklopedi itu termasuk genus cyprinus dari family cyprinidae. Ordonya adalah cypriniformes dari kelas Osteichthyes, group Pisces dan Phylum Chordata. Kata-kata aneh itu yang berkesan cuma kata Pisces saja. Aku dilahirkan tanggal 13 Maret di bawah naungan zodiac Pisces, gambarnya dua ikan yang meniru posisi yin dan yang orang Korea.

Orang Inggris menyebutnya common carp. Orang Iran menamakan ikan mas ini dengan kata kapour. Orang Sunda tidak salah banget kalau menyebutnya kamper. Tapi kalau orang Rusia kebangetan, masa menyebutnya sazan. Orang Kazastan juga keterlaluan, dia bilang itu kalyntyr atau munke. Orang Turkmenian lebih gila lagi. Ikan mas disebut kepiz atau tennbalyk. Wah waah …..

Pemandian Sumurbandung itu sesungguhnya didapati ada dua kolam. Satu sumur atau kolam utama, ada di sisi utara bentuknya luas. Pemandiannya berwujud bangunan tembok permanen. Terpisahkan dengan jalan kampung selebar dua meter, di sisi selatan, terdapat kolam 'pembantu' dalam ukuran kecil. Bentuknya berupa lingkaran dengan jari-jari sekitar satu setengah meter saja. Kolam kecil ini bangunannya tidak permanen. Terbuka tanpa atap dan hanya diberi dinding anyaman bambu saja. Tapi tempat ini, meski terbuka, tetap teduh karena di pinggir kolam tumbuh pohon beringin selaku pohon perindang sekali gus tempat mata air kolam keluar.

Letaknya di sisi kiri rumah Ibu Maryamah. Oleh sebab itu tidak heran kalau kolam kecil ini lebih digunakan oleh keluarga tersebut bersama tetangga terdekatnya. Penduduk lain lebih suka menggunakan pemandian umum Sumurbandung utama yang luas dan berpenerangan listrik.

Di dalam kolam kecil ada dua ekor ikan kumpay yang berwarna oren dan ros. Ukurannya sudah cukup besar. Kira-kira sebesar paha orang tua. Keduanya selalu saling berdekatan bagai dua remaja sedang kasmaran. Kemana si oren berenang kesitu pula si ros mengikutinya. Ikan ini nampak sekali keindahannya karena air kolam sangat jernih alami. Penduduk tidak pernah memberi makan. Kedua ikan ini hanya memakan lumut-lumut yang tumbuh di batu-batu besar yang menjadi dinding kolam.

Satu hal yang menguntungkan. Ikan ini bebas dari kejailan dan gangguan. Semua orang memandang ikan ini sebagai makhluk keramat. Siapa berani mengganggu dia sendiri akan menanggung akibatnya. Kesakralan ikan ini dipercaya oleh banyak orang. Maka lestarilah ikan yang jumlahnya cuma dua ekor itu.

Suatu ketika kolam kecil nampak agak kotor. Itu diakibatkan sudah banyak daun beringin yang mengotori dasar kolam. Kalau dibiarkan lama-lama air kolam bisa bau dan mata air bisa saja tersumpat. Pada hari Minggu pagi penduduk bekerja bakti membersihkannya. Untuk sementara waktu Si Kumpay duo sejoli ditangkap dulu kemudian disimpan di dalam ember kaleng besar dengan diberi air kolam secukupnya. Ember diletakkan di dapur rumah Ibu Maryamah.

Paling lama satu atau dua hari kolam akan penuh air kembali. Jadi untuk hari Minggu dan Senin kolam kecil tidak akan digunakan. Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan untuk memperbaiki dinding kamar mandinya.

Pukul sembilan malam aku sudah tertidur lelap. Maklum hari Minggu aku bermain gangsing dan mencari buah saliara buat tembak-tembakan menjadikan tubuhku penat. Tiba-tiba saja terjadi kegaduhan yang membuat aku terbangun. Orang-orang, termasuk bapakku lari menenteng ember. “Kahuruan … kahuruan … kahuruannnn…!!” penduduk berteriak-teriak sekerasnya. Aku segera keluar rumah. Langit ternyata sudah membara. Kahuruan atau kebakaran terjadi nampak tidak terlalu jauh dari rumahku. Orang-orang berpekik Allohu Akbar …. Allohu Akbar bersahutan. Laki-laki dewasa bergegas membawa ember menuju lokasi terjadi nya kebakaran.

“Rumah Ceu Yoyom, yang terbakar,” ujar Bi Imah yang sempat melihat dari dekat dengan suara ngos -ngosan.

Bunyi api bergemuruh dan letupan bambu yang terdengar berderak-derak dengam asap membumbung menciptakan suasana kengerian yang mencekam.

Ceu Yoyom itu seorang bidan. Suaminya tentara yang berdinas di luar kota (aku lupa di kota mana). Ia tinggal bersama ibunya, Ibu Maryamah yang rumahnya di tepi Sumurbandung kecil itu.

Selang dua jam bapakku sudah kembali. Badannya kotor penuh warna hitam dari angusnya arang. “Kasihan Yoyom,” ujar bapak ketika menuju kami yang menunggu berdiri di muka rumah.

Bapak lalu bercerita, bahwa malam ini Ceu Yoyom sedang tugas piket di Rumah Sakit Pembantu Cililin, satu-satunya rumah sakit yang ada di desaku. Yang menunggu rumah dan dua anak balita adalah ibunya yaitu Bu Maryamah.

Seusai menidurkan si bocah dua balita, Bi Maryamah menutup kelambu. Lalu pergi ke rumah saudaranya yang tidak jauh letaknya. Hanya terhalang enam rumah saja. Ia mau minta tolong, dikerokin punggung. Ibu Maryamah merasa tidak enak badan. Masuk angin mungkin.

Belum saja selesai kerokan, orang-orang sudah berteriak ada kebakaran. Rumah Bu Maryamah terbakar. Rumah setengah batu setengah gedeg itu cepat sekali membara. Tetangga terdekat mencoba mendorong pintu rumah bagian depan tapi pintu tidak bisa dibuka. Dia pikir rumah itu dikunci. Rumah itu sesungguhnya tidak dikunci, hanya saja pintu itu bukan didorong tapi harusnya ditarik. Karena gugup dan panik apapun bisa terjadi. Yang jelas dua balita yang tidur di ranjang berkelambu tak terselamatkan.

Semuanya hanya bisa sesenggukan. Dini hari, jenazah balita itu sudah bisa ditemukan dalam posisi saling berpelukan dengan kondisi hangus terbakar. Keduanya segera saja dibalut dengan kain kafan.

Di dapur, di dalam ember kaleng yang besar, didapati pula bangkai dua ekor ikan kumpay yang juga nyaris menjadi arang.

Sejak kejadian itu orang-orang semakin percaya bahwa musibah dua balita itu berkaitan erat dengan masalah proses pemindahan sementara kedua ikan penghuni kolam Sumurbandung.

Sejak peristiwa itu, berhari-hari suasana sekitar kolam pemandian menjadi tidak nyaman. Ada semacam kesedihan bercampur kengerian menyelimuti dan mewarnai raut-raut muka penduduk yang biasa mandi dan mencuci di situ.

Aku sendiri, jika hari mulai gelap, memilih jalan putar tidak lewat sekitar kolam jika ada keperluan ke tempat temanku. Meski belakangan, Pak Tjip yang bekerja sebagai seorang polisi, mengatakan bahwa penyebab kebakaran adalah lampu tempel yang diletakkan di atas meja kecil, di dalam kamar, tersenggol kucing peliharaannya Bu Maryamah. Lalu api menyambar ujung kelambu dan membakar rumah sampai ludes. “Untung angin tidak sedang bertiup kencang,” sambung Pak Tjip kepada bapakku sehingga, katanya, api tidak merembet ke rumah tetangga yang berdekatan.


Aku, diriku, kisah 17, Babangi


Ada pabrik kerupuk di belakang rumah H. Mukmin. Pabrik ini berteknologi kuno. Atau supaya enak didengar, berteknologi tradisional. Perangkat yang digunakan, kayu, bambu, tali-tali ijuk. Logam yang digunakan itu berhubungan dengan masalah penggorengan, berupa wajan raksasa berikut seroknya, dan bagian perebusan berupa dandang ukuran jumbo.

Bahan bakar yang digunakan adalah kayu bakar. Minyak yang dipakai untuk menggoreng kerupuk adalah minyak goreng terbuat dari kopra buah kelapa. Lazim disebut minyak kelapa.

Bahan utama untuk membuat kerupuk adalah ‘aci sampeu’. Aci itu artinya tepung kanji, sampeu itu singkong atau ubi kayu. Campurannya, yang menjadikan kerupuk itu harum dan gurih, adalah terasi. Untuk keelokannya digunakan pewarna. Bahan kunyit alias kunir digunakan agar kerupuk berwarna kuning. Untuk warna hijau dibuat dari daun suji, sedang untuk warna merah dengan kasumba pemerah kue.

Cara membuatnya, kanji, dan terasi diberi air secukupnya. Diaduk dengan diberi pewarna maupun tidak. Kentalnya harus pas. Lalu dimasukkan kedalam tabung-tabung penampung. Tabung-tabung itu ditekan oleh engkol kayu panjang yang ujungnya dibebani berbagai ukuran batu besar. Adonan yang mendapat tekanan mencari celah-celah jalan keluar. Celah memang dibuat pada setiap tabung. Ada tiga lubang sebesar batang lidi, tempat keluar adonan. Buruh pembuat kerupuk menadah adonan yang jatuh ‘brojol’ seperti tali itu dengan sedikit digoyang-putar sehingga menjadi berbentuk bunga, bahan kerupuk mentah. Beberapa buah kerupuk mentah ini ditata di dalam niru yang terbuat dari anyaman bambu. Satu lempeng niru berbentuk persegi panjang ini bisa menampung lima puluh buah kerupuk mentah. Jika sudah siap, kerupuk mentah ini dikukus dalam pengukusan sampai kanji menjadi masak.

Kanji masak, sebutannya babangi, kalau sudah dingin, dibawa keluar untuk disimpan di penjemuran. Kalau hari panas penjemuran bisa memakan waktu tiga sampai lima hari.. Kalau musim hujan bisa lebih.

Babangi yang masih kenyal, kalau dimakan, rasanya enak kenyal-kenyil mirip permen karet. Meski rasanya agak asin tapi anak-anak doyan mengunyahnya. Tidak ada orang menjual babangi setengah kering, tapi anak-anak tokh bisa memperolehnya. Babangi yang dijemur dan terletak paling pinggir di ladang penjemuran menjadi sasaran operasi.

Dengan sedikit naik ke atas tembok pagar anak-anak bisa meraihnya meski harus susah payah untuk menjangkaunya. Anak-anak yang jangkung dan panjang tangannya bisa meraup lima atau enam babangi sekali ambil Tapi yang posturnya seperti aku, terlebih babangi yang di pinggir sudah didahului teman, hanya mampu gigit jari.

Untungnya solidaritas dan rasa setia kawan senantiasa dijunjung tinggi. Yang tidak memperoleh babangi akan diberi oleh yang babangi-nya paling banyak. Dengan adanya kesetiakawanan yang kondusif, rahasia pencurian babangi senantiasa di simpan di peti es. Seperti juga kasus korupsi, kami juga bisa menyembunyikan rahasia terbesar dalam berperi kehidupan anak kecil.

Meski rahasia sudah di-keep, tokh operasi tidak selalu berjalan mulus. Usep misalnya tertangkap tangan oleh pemilik pabrik kerupuk yang rupanya mulai kesal atas ulah anak-anak yang menjadi hama kerupuk.

Ia dinasehati lebih dari satu jam oleh pemilik pabrik. Meski Usep hampir nangis dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia pun menyatakan rasa penyesalannya. Hasilnya Usep dibekali kerupuk mateng yang sudah digoreng, masih hangat lagi, barang sepuluh buah.

Sejak kejadian itu kami menghentikan operasi. Komandan menangguhkannya sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semuanya menunggu perkembangan lebih lanjut. Lagi pula minggu ini sudah mulai musim mangga. Operasi dengan sandi Babangi akan dialihkan ke medan lain, operasi mangga muda di kebun wak Haji Pelit.


Sunday, September 28, 2008

Aku, diriku, kisah 16, Si Uro, Nyi Omah, dan Si Juned


Ada tiga ‘bintang’ yang populer di era masa kecilku. Keterkenalannya trio ini ditandai dengan nyaris seratus persen dari seluruh populasi yang ada di Cililin mengenalnya. Di kalangan anak-anak sebayaku tokoh ini tidak saja dikenal, tapi sekaligus ditakuti kalau bersua vis to vis.

Aktor pertama yang akan dikisahkan menggunakan nick name sederhana, Si Uro. Di awal kiprahnya orang tua yang satu ini tidak lebih dari sosok seorang pembantu yang setia, rajin, tidak banyak omong. Perubahan jalan hidupnya dimulai dengan terjadinya tragedi kebakaran yang menimpa sederetan asrama Polisi Cililin.

Salah satu rumah merangkap warung dekat asrama, meski tidak ikut terbakar, adalah tempat Si Uro mengabdi. Asrama yang terbakar menyuguhkan tidak sekedar api yang berkobar menggila, tapi juga diselingi dengan berbagai bunyi dentuman dan rentetan bunyi mesiu yang ikut terbakar.

Sejak peristiwa langka yang mencekam itu Si Uro menjadi pendiam. Tingkahnya berubah. Kalaupun dia bicara itu hanya berupa gumaman yang tak jelas apa yang diucapkannya. Si Uro, ujar orang-orang, telah menjadi gila. Ia mulai menggelandang. Lebih banyak berada di sekitar pasar dan memunguti makanan sisa.

Ia menjadi beringas terhadap anak-anak yang sering melemparinya. Bocah-bocah senantiasa merasa takut, tapi bercampur dengan perasaan ingin tahu dengan apa yang diperbuat Si Uro. Jadinya mendekat juga. Anak-anak mulai membuat cerita dari satu kepada yang lain tentang kegalakan Si Uro. Gangguan berupa lemparan dengan batu-batu kecil atau berwujud cemoohan dengan mimik muka menirukan tampang Si Uro.

Tindakan ini memancing Si Uro menjadi alergi terhadap anak kecil. Dia selalu memandang anak-anak dengan penuh curiga. Matanya yang merah, kepala cukuran gundul dengan rambut yang mulai tumbuh pendek beruban membuat sosok Si Uro menjadi menyeramkan.

Aku sendiri tidak pernah mencari perkara dengannya. Aku lebih memilih menghindar untuk berpapasan dengan orang tua yang satu ini. Lagi pula, sebelum gila, Si Uro sering disuruh bapakku untuk bantu-bantu ala kadarnya sebagai alasan bapakku untuk memberi sedekah kepadanya.

Tidak ada yang tahu siapa kerabat Si Uro yang sendirian ini. Bahkan, cerita dari mana dan mulai kapan Si Uro, ketika muda usia, berada di Cililin. Semua orang hanya tahu, bahwa Uro muda bagai turun dari langit, tiba-tiba ada begitu saja.

Kini Si Uro, kalau siang hari, dapat mudah ditemui di lokasi pasar. Sebaliknya kalau malam hari, penduduk Cililin hanya bisa melihat tanda-tanda kehidupannya saja. Si Uro sejak sore sudah mendaki ke lereng bukit, menuju daerah yang dikenal bernama Gabus. Di sebuah goa, meski bukan belantara yang lebat, Si Uro beristirahat melepaskan penat setelah seharian mengais sisa-sisa makanan dari tong sampah yang satu ke tong berikutnya.

Sebagai isyarat, Si Uro setiap malam senantiasa membuat api unggun pengusir dingin dan sekaligus penerangan dan pertahanan dari binatang malam di mulut goa. Nyala api ini bisa dilihat dari kampungku..

Suatu ketika, manakala nyala api unggun Si Uro tidak terlihat lagi, orang mulai curiga. Lagi pula Si Uro tadi pagi tidak nampak keberadaannya di pasar sebagaimana biasa dia menggelandang. Ketidakhadirannya sungguh terasa dan menjadi pembeda warna hari-hari suatu desa. Semakin siang orang-orang semakin penasaran, mereka mulai saling bertanya. “Kemana Si Uro yaa…,” guman orang-orang.

Ketika malam berikutnya juga nyala api unggun tidak muncul, penduduk mulai menduga .Pasti orang tua yang malang itu sakit keras. Keesokan harinya beberapa orang dewasa memutuskan untuk mendaki bukit Gabus, mencari tahu apa yang terjadi dengan Si Uro.

Siang hari, selepas dzuhur, barulah berita jelas menyebar ke peloksok desa. Si Uro telah tiada. Si Uro mati. Lelaki senja yang kesepian itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir tanpa sanak keluarga, tanpa kehadiran siapa-siapa. Berselimutkan dinginnya bukit, Si Uro terbujur kaku di pembaringannya, di atas sehelai tikar kumal yang ditumpuki dengan beraneka kain ‘gombal’ yang lusuh.

Anak-anak bersedih. Lelaki tua yang selalu diganggunya, sehingga dia balas mengganggu, kini telah tiada. Ada sesuatu yang hilang dalam aktivitas keseharian di desa. Terutama di minggu-minggu pertama. Saat itu, orang masih menitikkan airmata duka untuk Si Renta tanpa sanak keluarga. Kisah Si Uro ‘happy ending’-nya sedih dan menyedihkan.

Cerita selanjutnya tentang tokoh kedua bernama Nyi Omah. Seorang gadis yang lumayan elok parasnya. Kuning langsat kulitnya, rambutnya panjang terurai. Sayang, entah apa yang membuatnya, ia hilang ingatan. Dengan berpakaian yang tidak karuan, sebagaimana lazimnya orang gila, kecantikan Nyi Omah menjadi tersembunyi. Ia suka menggelandang dan tidur di kios pasar yang gelap dan sepi karena, kalau malam , ditinggalkan pedagang.

Nyi Omah termasuk orang gila yang tidak membahayakan anak-anak. Kategori jinak. Oleh sebab itu anak-anak suka memberi Nyi Omah permen yang disebut ‘es bon-bon’. Nyi Omah orangnya pendiam. Dia menenteng keranjang tempat menyimpan baju-baju lusuh yang merupakan uniform kebesarannya.

Suatu ketika Nyi Omah tiba-tiba tampil bersih. Pakaian lusuhnya tidak nampak lagi. Dia berpakaian rapi dan necis. Lebih aneh lagi Nyi Omah tidak muncul di pasar. Ia tampil tidak jauh dari rumahku di Sumurbandung.

Jarum jatuh saja orang kampung pasti semua tahu. Apalagi ada perubahan drastis yang terjadi atas performance Nyi Omah. Semua orang bergunjing dan bergosip. Setelah diselidiki, Nyi Omah ternyata dirawat oleh Pak Sobur, duda mantan guru yang juga agak samin. Maksudnya kadar gilanya hanya sedikit saja. Orang Sunda bilang "owah".

Nyi Omah yang kini nampak ayu tinggal di rumah Pak Sobur, duda tua yang seorang diri. Orang-orang tidak bisa berbuat apa-apa. Orgil ketemu orgil, ya sudah biarin saja. Siapa tahu dua-duanya bisa sembuh dari owahnya.

Hasil dari symbiose mutualistis ini sudah dapat diterka ujung ceritanya. Nyi Omah berbadan dua. Orang-orang berkomentar. Pak Sobur, duda tua, gila lagi, ternyata untuk urusan yang satu masih tokcer. Cerita selanjutnya tentang Nyi Omah aku hentikan sampai di sini saja. Happy ending-nya, apakah hepi atau sedih, aku tidak mampu memberi argumentasi.

Kita beralih saja ke aktor ketiga, aktor terakhir. Juned namanya. Jalannya tegap badannya cukup bagus layak untuk menjadi, minimal, anggota OKD. Apa itu OKD? Itu tuh Organisasi Keamanan Desa. Mirip Kamra atau Satpam jaman sekarang. Ia berpakaian hijau ala tentara. Dia dididik kemiliteran dan dilengkapi dengan senapan tempo doeloe bernama ‘dorlok’. Kalau sudah dibunyikan ‘dor’ peluru terlepas dari senapan, tapi selanjutnya pause dulu. Tembakan berikutnya, senapan harus dicolok-colok terlebih dahulu guna mengeluarkan selongsong peluru yang masih tertinggal di dalam laras, baru bisa diisi mesiu .

Kembali ke masalah Si Juned. Ia lebih duluan hadir, sebagai sosok orang gila, dari pada dua tokoh yang telah kita bahas di depan. Juned kedudukannya jauh lebih tinggi satu anak tangga dibanding Uro dan Omah.

Juned lebih cerdik dan memiliki jam kerja yang jelas. Juned memiliki pakaian dinas dan pakaian rumah. Di jam kerjanya Juned nyerocos ngomong apa saja tidak berstruktur. Ada beberapa phrase kata-kata jargon yang kerap dilontarkan berulang-ulang sehingga menjadi populer di kalangan anak-anak.

Ia sering menyebutkan ‘plong batujajar’ dalam dialek sunda yang kental. 'Raja Hendrik' dan 'Ratu Melmina' (mungkin maksudnya Wihelmina) adalah ucapan lain yang reflek keluar begitu saja dari mulut lincahnya.

Pakaian kebesaran Si Juned bagai busana selebritis. Penuh bertaburkan kancing-kancing yang dijahit di berbagai permukaan bajunya yang berkantong banyak. Yang paling dihapal anak-anak, seperti juga aku ketika mulai bisa membaca, adalah tulisan ‘HIK’ yang terbuat dari sederet kancing cetet di punggungnya. Sampai kini misteri singkatan HIK ini tak pernah ada yang mampu memecahkannya. Saya yakin pemecah sandi sekelas CIA , Mosaad, KGB, atau BIN tidak mampu menjelaskannya.

Dalam tugasnya Juned memiliki ‘tupok’ alias tugas pokok yang jelas Istilah kerennya, Juned memiliki Visi dan Misi yang clearly. Ia mendatangi kios demi kios para penjual sembako yang ada di pasar Cililin. Dari setiap pedagang beras Juned meminta segenggam beras yang dimasukkannya ke dalam tas kain yang selalu bertengger di pundaknya. Dari kios tukang ikan asin dia hanya meminta sepotong kecil ikan gabus atau secomot ikan teri. Dari tukang sayuran dia hanya meminta sejumput kecil lombok rawit atau sebuah lombok besar, hijau atau pun merah. Atau mungkin memungut sebutir kentang, atau sebatang wortel. Pokoknya Juned tidak pernah serakah. Dia tidak meminta banyak. Least but not last.

Jika pasar sudah usai dikitarinya, ia memindahkan operasinya di sekitar terminal bis. Kepada sopir-sopir atau penumpang yang sedang jajan di warung kopi ia menyodorkan tangannya mengharap sedekah. Sopir-sopir lazim memberi uang receh barang lima atau 10 ketip. Ada juga yang memberi sebatang rokok putih merek Kresta, atau Escort, atau Kansas, Kartika Eka Paksi, Commodore, Wembley, Bom, atau Lancer. Jarang orang mengisap rokok kretek yang cuma dua jenis saja yaitu merek Soepiah dan Djarum.

Juned beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Setelah itu dia pulang ke desa Cipetir. Di sana anak dan istrinya sudah menunggu menyambut tas doraemon yang dipenuhi aneka bawaan dari pasar. Di luar jam kerja Juned berpakaian sederhana dan bersih. Juned tidak banyak berkata-kata. Meniru No Comment-nya pejabat kalau diwawancarai wartawan.

Bahkan, walau masih memakai pakaian dinas, jika bersua di perjalanan pulangnya, Juned tidak nyerocos seperti di pasar tadi. Kalau ditanya, “Mang Juned dari mana? Jawabnya cukup ramah,: “Biasa Den, Emang dari pasar …” jawabnya datar.

Dengan penampilan seperti itu orang-orang tua di desaku memberi penilaian bahwa Si Juned itu sesungguhnya tidak gila. Dia hanya memilih lakon seperti itu untuk menjadi seorang kepala keluarga yang dituntut harus mampu menafkahi anak istrinya.

Konon khabarnya hasil operasi pasarnya, setelah disortir dan dipilah-pilah, benda-benda itu laku dijual kepada tetangga dengan harga miring. Kehidupan tidak banyak memberi pilihan kepada Juned. Ia memilih peran gila yang tak mungkin orang akan tergila-gila dengan job-nya itu. Hanya satu saja keisengan Juned yang cerdik tapi super nakal itu. Dan itu senantiasa menjadi kenangan atau mimpi buruk yang tak pernah terlupakan bagi anak gadis remaja atau ibu muda. Juned sering menyergap dan memeluk cewek. Untuk urusan harrasment yang satu ini, memang universal. Mau gimana lagi, he… heee….. Hukum kita tidak mampu menjerat tindak pidana yang pelakunya orang gila. Kecuali kalau ada novum, bahwa Juned terbukti hanya sekedar gila-gilaan, eh.., maksudnya gila bo'ongan. Anda berminat jadi Juned masa kini?


Aku, diriku, kisah 15, Jurig Kebon Kopi



Orang Cililin, seperti juga orang Sunda pada umumnya, tahu jurig. Lima huruf yang membentuknya tidak istimewa. Tapi maknanya, terutama bagi anak-anak seperti saya dulu, adalah sesuatu yang menakutkan. Jurig itu hantu. Orang Jawa menyebutnya genderuwo.

Jenis jurig itu, sebagaimana juga genderuwo, aneka ragam. Hantu perempuan yang bolong punggungnya, disebut kuntilanak. Orang Sunda menyebutnya cukup kunti saja, nggak ditambahi lanak. Orang Betawi menyebutnya sundel bolong.

Jika dilihat dari lokasi tempat hantu itu berada, di sunda ada yang disebut jurig jarian. Ini bukan hantu berjari. Jarian itu artinya tempat pembuangan sampah. Hantu yang menempati TPS ini disebut jurig jarian. Kalau hantu yang suka mangkal di pohon-pohon besar, seperti kalong atau kelelawar besar, disebutnya ‘kelong wewe’. Kerjaannya, kata nenekku, suka nyolong bayi yang akan dibawanya ke atas pohon.

“Pohon sukun yang ada dekat makam Pasirmeong itu tempatnya kelong wewe,” sambung nenek waktu bercerita perihal perjurigan.

Di kampung Sumurbandung, kata Maman dan Mimin, si kembar putra Mang Karmin, di kebon kopi, di sisi barat tanah kosongnya Haji Mukmin, dikenal ada jurignya. Cep Yayat putra Haji Mukmin pemilik bis Tjintamanah itu, ujar Mimin, pernah melihatnya. Waktu itu malam hari Cep Yayat sendirian mau menengok kolam lele. “Mukanya hancur, jalannya sempoyongan,” tambah Mimin mengulangi ucapan Cep Yayat sembari menyeringai menirukan mimik si hantu.

Cerita keangkeran kebon kopi sudah populer bagi warga Sumurbandung. Hantu di situ suka iseng. “Suka menyiram orang lewat di situ dengan pasir,” ujar Ma Elim tetangga sebelah.

Ada kalanya, hantu itu hanya memperlihatkan dirinya berupa asap putih disertai bau kemenyan. Konon khabarnya, kejadian ini biasa terjadi pada saat malam Jum’at kliwon. Oleh sebab itu Ma Elim suka memberi sesajen yang diletakkan di bawah pohon kopi paling ujung, sisi selatan, dekat selokan yang serem. Komposisi alam di situ menyempurnakan situs kebon kopi menjadi tempat yang ideal untuk dihuni makhluk halus. Sesajen kesenangan hantu adalah secangkir kecil kopi pahit, gula aren dan kelapa masing-masing cukup sekerat kecil.

Di kebon kopi yang dimaksud, kalau malam, memang gelap gulita. Tidak ada lampu listrik atau lentara yang dipasang. Padahal kebon kopi itu jalan terdekat satu-satunya buat keluargaku kalau mau ke alun-alun. Adakalanya bapakku, malam hari, menyuruh membeli rokok commodore kesayangannya di toko Nugraha miliknya Haji Dodoh. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus melewati kebon kopi. Meski baru jam tujuh malam, di situ memang sepi. Tetap saja ngeri dan bulu kuduk berdiri. Jalanpun setengah berlari.

Bahkan, suatu ketika, aku melihat makhluk hitam seperti mengendap-endap mau menerkamku di kebun pisang miliknya Bu Guru Tjitjih yang ada di sisi barat kebon kopi. Aku berteriak dan lari kembali ke rumah sambil cerita sama seluruh penghuni rumah bahwa aku baru saja melihat jurig. Tubuhku gemetar. Ibu memelukku dan memberi aku minum teh tawar. Bapakku malah ngakak. Sambil pergi mau menengok jurig kebon kopi, katanya.

Lima menit bapak sudah kembali. Ia cerita bahwa yang bergerak-gerak di kebun pisang itu bayangannya daun pisang yang sudah kering tertiup angin. “Ini jurignya sudah bapak potong,” ujar bapak sambil menaruh daun pisang yang dimaksud.

Kakakku tertawa. Tapi ibu tidak tertawa. Ibu, seperti juga aku, percaya kalau di situ memang ada ‘penghuni’-nya. Kata ibu, “Jangan gegabah ngomong, bisa-bisa suatu ketika kita diujinya.”

Aku percaya pada bapakku karena aku tahu bapakku memang pemberani dan tak percaya takhayul. Tapi aku tetap saja tak bisa tidur. Di satu sisi aku juga percaya ibu. Katanya Allah itu menjiptakan makhluk, selain khewan dan tumbuhan, ada tiga jenis yaitu; jin, setan dan manusia. Yang suka mengganggu itu, sering disebut jurig, adalah jin kafir yang perbuatannya selalu jahat. Hiii .........


Monday, September 22, 2008

Aku, diriku, kisah 14, Sparta versus Athena


Yunani sering disebut sebagai negeri yang dihuni para dewa. Yunani kuno senantiasa menjadi pusat perhatian dunia karena kemajuan peradabannya. Hal-hal yang berkaitan dengan agama, filsafat, ilmu, peperangan dan olahraga berkembang dengan subur yang berawal dari kegelisahan terhadap hakikat hidup..

Adalah dua negara ‘polis’ di Yunani. Namanya Sparta dan Athena. Sparta terletak di ‘dalam’, di lembah yang dikelilingi gunung-gunung. Untuk menjaga aktualisasi diri mereka mengembangkan ilmu kedigjayaan berperang. Mereka harus tambil garang. Istilah itu sekarang menjadi sebutan tampil spartan. Athena berada di pantai yang mendorong majunya perniagaan. Ilmu-ilmu seni dan filsafat berkembang dengan baik. Perekonomian yang mensejahterakan adalah pertahanan yang kuat.

Sparta memilih pendekatan kekerasan, otoriter dan militeristik. Athena berbeda 180 derajat. Mereka memilih cara-cara lebih manusiawi. Mereka mengembangkan sistem demokrasi. Kedua sistem yang diterapkan negara kota ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dengan otoriterisme yang dijalankan Sparta, kehidupan mereka lebih teratur daripada Athena. Sedangkan dengan demokrasi yang dikembangkan, Athena menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan para filsuf, kaum cendekiawan, dan para seniman.

Sparta memiliki kekuatan militer yang kuat. Meskipun minim dengan orang-orang terpelajar, disiplin berkembang dengan baik. Raja Leonidas I, misalnya, dengan dibantu 300 pasukan Sparta mampu menghancurkan ribuan tentara Persia.

Akan halnya Athena, dengan para pemikir yang jenius seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, berjaya mengukir dunia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tempat yang lebih tinggi dan berkembang dengan pesat.

Sparta dan Athena, dalam rentang waktu yang panjang, senantiasa berseteru tiada habisnya, meski perseteruan ini membawa Yunani kejenjang kemajuan.

Jauh dari Yunani kuno, di desaku yang jauh dari keramaian kota, ada dua kelompok kampung yang senantiasa berseteru. Meski tak sampai perang antar kampung. Itu adalah kampung Kauman dan kampung Sumurbandung. Kauman lokasinya di sisi barat selatan alun-alun Cililin. Sesuai namanya, kampung ini berada di belakang mesjid agung. Berada di kaki bukit Gegerpulus yang hijau subur. Banyak guru agama, para ustadz dan Haji.

Sebaliknya Sumurbandung menempati daerah datar yang ada di sisi Utara timur alun-alun. Kampungnya padat, didapati banyak warung dan toko tempat perniagaan. Pengusaha angkutan bis dan pabrik wajit Cililin tinggal di sini. Satu-satunya tempat kursus mengetik hanya ada di kampung Sumurbandung.

Persaingan kedua kampung memang unik untuk disimak. Kondisi ini menjadi pendorong dan memotivasi keduanya untuk tidak terkalahkan. Dalam bidang olah raga, sepak bola utamanya, hanya pertandingan dua kampung inilah yang paling menyedot animo penonton. Kedua pihak suporter pasti hingar bingar saling ejek dan saling maki. Pemain akan tampil ngotot, ekstra keras dan penuh trik yang mengundang tepukan.

Dalam bulan puasa, pertandingan adu mercon bumbung, biasa disebut lodong, tiada habisnya. Bunyinya memekakkan telinga. Adakalanya kaca-kaca jendela pada bergetar terkena getaran ‘bom’ karbit. Seusai tarwih bunyi meriam bambu itu akan saling timpal bersahutan. Para donatur mengumpulkan uang untuk membeli karbit sebagai bahan ‘mesiu’ meriam bambu. Jangan sampai hari belum pagi persediaan mesiu telah ludes.

Anehnya sehebat apapun persaingan itu terjadi tak pernah kedua kampung ini saling merusak apalagi saling menyakiti. Keduanya seperti sepakat, hati boleh panas tapi kepala tetap dingin. Persaingan Kauman versus Sumurbandung di masa kini tak masuk di akal bisa terwujud.

Cerita Sparta dan Athena sengaja saya tulis di depan. Dalam nuansa perseteruan abadi itu, entah siapa yang memulai, ada ide pemberian nama terhadap kesebelasan bola yang ada. Kesebelasan anak-anak Sumurbandung memilih nama Athena. Sedangkan anak Kauman menyandang sebutan Sparta.

Bendera kesebelasan dibuat. Athena memakai dasar kuning dengan gambar obor merah dan tiga buah lingkaran olahraga. Sparta memakai dasar hijau dengan gambar bola berwarna kuning. Kauman memang fanatik warna hijau.

Pimpinan kesebelasan Athena adalah Mang Cecep, pamanku. Ia pencetak gol yang disegani kiper-kiper lawan. Di deretan pasukan Kauman, putra mahkota pak Lurah Syahlun yaitu Kang Ucup sebagai panglima perangnya. Hati-hati dengan Kang Ucup si jago silat ini, ia pandai mematahkan tulang kering lawan.

Di Athena banyak pemikir dan banyak ide. Nama Athena, supaya lebih bermakna, kemudian sepakat diubah menjadi Atena, kependekan dari Angkatan Teruna Nasional. Pembinanya, kebetulan Dan Yon 327 Infanteri, setuju dengan nama yang lebih berbau nasionalisme ini.

Di Kauman tetap Sparta seperti Sparta yang asli di negeri Yunani yang tersohor keras, disiplin tapi sportif. “Nggak pake singkatan-singkatan. Pokoknya Sparta ya tetap Sparta!” ujar Cep Dayat sekretaris organisasi saat itu.

Perayaan 17 Agustus adalah puncak acara persaingan. Dua kampung ‘polis’ ini mengeluarkan berbagai kekuatan utamanya. Dalam tarik tambang, lomba karung, dan panjat pinang. Dalam bidang olah raga populer adu gengsi terjadi lebih terasa. Para orang tua, selaku sponsor, biasanya sudah bisa menebak. Sparta bakal unggul di bidang apa dan Atena di bidang apa. Bapak bilang sama aku: “Bulutangkis pasti dimenangkan Atena. Tapi sepakbola, seperti tahun lalu juga, pasti digondol Sparta.”

Ramalan bapakku memang tepat. Atena dan Sparta masing-masing punya keunggulan. Lebih dan kurangnya itu, bagi desa, membuat suasana menjadi lebih dinamis.

Konon khabarnya Athena dan Sparta di Yunani itu pernah terserang wabah penyakit. Banyak orang yang mati. Akan halnya Sparta dan Atena di desaku, entah sebab apa, digerogoti waktu akhirnya sampai pada kondisi kedua nama besar itu redup untuk kemudian tak pernah terdengar lagi.

Sepak bola Cililin yang berintikan gabungan Sparta-Atena, pada masanya sangat disegani berbagai kesebelasan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung. Bahkan Wowo dan Omo, pemain utama Persib, pernah ditugaskan selaku talent scoutting mencari pemain berbakat dari Cililin.

Mang Cecep, pamanku, pernah mengejutkan dalam kejuaran bulutangkis di Bandung yang diselenggarakan KOGOR (Komite Gerakan Olah Raga) semacam KONI masa kini. Tapi, bagaikan terkena epidemi, kejayaan itu surut dan kemudian sirna. Bendera Sparta maupun Atena tak pernah dikibarkan lagi.

Sebagian wilayah Sparta dan Atena, di negeri Cililin, terendam waduk Saguling bersama 30 desa lainnya dalam hamparan seluas 6.176 hektar berupa sawah ladang dan kampung halaman. Banyak penduduk yang pindah jauh ke kota-kota lain mencari penghidupan yang lebih baik. Bakat-bakat itu, baik yang pemikir maupun yang spartan, ikut pula termutasikan. Meski kini tidak atas nama Cililin lagi, tokh masih ada dan berkiprah di pertiwi Indonesia juga. Semoga.


Aku, diriku, kisah 13, Gelasan


Kurus, tinggi semampai, memakai ban atau ikat pinggang lebar berwarna perak, hitam legam, itu apa? Teka-teki ini sering dilontarkan Kang Ucup, penjual kumang atau kalomang di muka sekolah, yang suka melucu kepada anak-anak yang membeli kepiting berumah keong itu. Jawabnya, sambung Kang Ucup, dia menunjuk tiang telepon yang berdiri di muka pagar sekolah.

Di sisi timur alun-alun, agak ke pojok selatan, ada tiga batang tiang telepon tertancap membentuk formasi segitiga sama sisi. Tonggak itu sangat kokoh menurut pendapatku. Di puncak tiang, formasi segitiga diikat dengan palang-palang besi dicat brons. Di tengah, kira-kira setinggi dua meter dari permukaan tanah, juga ‘dibending’ dengan besi serupa. Pada palang besi yang bawah inilah kami para ‘bocah’ sering memamerkan kepandaian bergelayutan, atau sekali-sekali ada juga yang bergaya akrobatik meniru sirkus.

Aku biasanya hanya bisa duduk di pinggir palang besi itu, berpegangan erat ke tiang telepon, Agak miris mau meniru acting teman-teman. Duduk di situ itu berebutan jika ada pertandingan bola. Rasanya luas penglihatan memirsa jalannya pertandingan dari ketinggian dua meter.

Pada palang yang atas berderet mangkok putih yang masing-masing memikul kawat tembaga. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa benda itu namanya isolator yang mempunyai daya tahan isolasi listrik sebesar 10 megaohm. Mangkok putih itu tidak pernah mulus. Bagian bawahnya pasti sempal. Ia senantiasa menjadi idaman anak-anak di kala musim layangan tiba.

Pecahan isolator itu diyakini sangat ampuh untuk dijadikan bahan utama gelasan. Benang yang diberi gelasan berserbuk pecahan isolator unggul dalam bertarung, jaya dalam berlaga.

Aku membuat gelasan sendiri. Bahannya adalah sebuah ketapel dan batu kerikil sebesar biji salak. Kemudian putih telur perekat kayu bernama ‘ka’, jeruk nipis, zat pewarna atau gincu. Kok ada ketapel? Ya, ketapel atau catapult kata turis, digunakan untuk menembak mangkok putih yang ada di puncak tiang telepon tadi. Kalau dapat beberapa keping pecahan keramiknya lalu aku tumbuk sampai halus. Ukuran kehalusannya diukur dengan saringan dari kain. Yang lolos menembus saringan itulah yang akan menjadi bahan utama gelasan.

Benang yang akan digelas, harus terpilih. Biasanya cap kambing nomer 24 untuk layangan kecil, cap gajah nomer 8 untuk layangan ulur yang agak besar. Benang ini, sebelum digelas, dibentangkan kemudian digesut dulu dengan menggosoknya menggunakan kain atau sabut kelapa yang diberi putih telur. Membentangkan benang lazimnya digelar di dua tiang jemuran baju. Di putar berkali-kali sesuai panjangnya benang yang akan digelas.

Penggesutan ini bermaksud agar benang tidak berbulu, serat kapasnya terintegrasi secara utuh sehingga benang bertambah liat dan kuat, tidak mudah putus. Kalau sudah kering benang hasil gesutan digulung kecil agar bisa masuk dalam kaleng yang akan dipakai dalam proses penggelasan. Biasanya pecahan genting ukuran bujur sangkar bersisi dua sentimeter digunakan untuk menggulung benang.

Adonan gelasan, serbuk keramik, perekat ‘ka’, gincu, sedikit jeruk nipis dan air secukupnya dididihkan sambil terus dikocek agar ramuan gelasan teraduk merata. Kalau sudah mendidih di angkat. Setelah setengah dingin ‘gendul’ benang yang akan digelas lalu dicelupkan. Setelah hangat suam-suam baru benang dibentangkan kembali.

Caranya, ujung benang ikatkan di tiang jemuran. Lalu aku berjalan mundur membawa kaleng ramuan gelasan sambil menekan benang yang keluar dari kaleng. Hal ini dilakukan agar benang tetap berpermukaan halus dan rata tapi serbuk kacanya bisa menempel dengan baik. Setelah semua benang sudah digelas, biarkan sampai kering.

Perekat kayu yang bernama ‘ka’ itu terbuat dari bahan kulit sapi yang seperti lendir. Kalau digunakan membuat gelasan baunya tidak sedap. Oleh sebab itu jeruk nipis mengurangi aroma tidak enak itu. Di sisi lain, jeruk nipis membuat benang gelasan tidak terlalu getas. Penggunaan ‘ka’ yang berlebihan juga bisa membuat benang menjadi getas, mudah patah, kemudian putus.

Kalau sudah kering, benang digulung menggunakan kaleng susu bekas. Bukan susunya yang bekas, tapi kaleng susunya. Agar benang tidak terkena karat maka kaleng hendaknya diberi alas kertas koran yang dililitkan. Sebelum benang gelasan digulung terlebih dahulu benang pengulur yang digulung. Benang pengulur biasanya jauh lebih panjang dari pada benang gelasan. Menyambungkan benang pengulur dengan benang gelasan ada caranya tersendiri. Harus diperhatikan putaran benang harus searah. Istilahnya kepala benang harus disambungkan dengan ekor benang. Jika kepala ketemu kepala, atau ekor ketemu ekor, benang akan selalu melintir sehingga ketika ditarik akan mudah kusut. Benang menjadi rusak dan pada akhirnya bagian yang kusut terpaksa harus diamputasi.

Benang gelasan yang dipakai tidak boleh terlalu panjang. Dia hanya ada di atas saja mulai dari layang-layang itu sendiri. Kalau kita mengadu layangan, benang gelasan itu jangan sampai ada dalam genggaman tangan kita. Benang gelasan sangat tajam. Dia bisa lebih tajam dari pisau. Sudah banyak jari yang luka teriris benang gelasan. Yang digenggam dalam memainkan layang-layang adalah benang pengulur.

Benang gelasan juga tidak boleh terlalu pendek. Jika musuh pandai ‘menyasar’ dengan kecepatan tinggi, layang-layang lawan akan menyabet benang kita serendah mungkin. Bila perlu dekat tangan pemain. Kalau yang tersabet itu benang pengulurnya sudah dapat ditebak pasti layangan kita kalah. Putus terbang melayang dengan benang yang terbawa layang-layang cukup panjang.

Menurut aku lebih berseni mengejar layang-layang putus dari pada bermain mengadu layang-layang. Mengejar dan berebutan memberi rasa puas yang tersendiri. Kalau dapat bukan main bangganya. Sebaliknya kalau luput, kecewa terasa menyesakkan dada.

Saat aku kecil berburu layangan itu jujur. Yang diperkenankan diambil, sesuai tradisi, hanya benangnya saja. Layang-layangnya dikembalikan kepada yang punya. Anehnya, kok semua orang berbuat sama, jujur tak mau curang. Padahal kalau mau diambil, siapa yang tahu.

Para pemburu layangan seperti aku sudah hapal posisi para pemain layangan. Ini layang-layang punya Kang Engkos, ini punya Pak Sarbini. Sehingga kalau mengembalikan tepat sasaran kepada pemiliknya. Ada kalanya mengenal pemain dari motif gambar layang-layangnya. Pak Gaos misalnya, ia senang menggunakan layang-layang berwarna merah motif ‘kapinis’ mirip sayap dan ekor burung sriti. Kang Engkos layangan bondol warna biru tua bermotif ‘wajit’, jajaran genjang, di bagian kepala layang-layang.

Den Kadar, memang orang kaya, membeli layang-layang pun dari kota Bandung. Motif yang digemarinya aneka ragam. Gambar tengkorak paling disenanginya. Kalau mengembalikan layang-layang kepadanya, biasa kita diberi tip. Lumayan bisa membeli segelas es cincau.

Kecelakaan dalam mengejar layang-layang kerap juga terjadi. Sholeh, anak kauman sebayaku misalnya, pernah jatuh di jembatan bambu. Alat vitalnya nyaris putus tersayat bambu tepi jembatan. Khabar itu, layaknya di kampung, segera beredar luas. Semua orang tua memberi nasehat agar jangan suka mengejar-ngejar layang-layang. Hal yang klise ini menimpa diriku juga. Tapi, nyatanya nasehat datang, pemburu layangan tetap berlalu dan berpacu!

Kalau melihat mangkok putih di atas tiang telepon. Aku suka tersenyum sendiri. Semasa kecil benda itu selalu aku rusakkan. Setelah dewasa, tidak dinyana, aku bekerja di telkom bagian jaringan yang tugasnya, antara lain, mengganti isolator yang pecah itu.