Friday, August 27, 2010

PARE-PARE KOTA KENANGAN


Salah satu kota yang aku singgahi dalam perjalanan hidup ini adalah Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan.

Berbekalkan sebuah eSKa bernomor 348, bertanggal 12 September 1995, aku melangkahkan kaki ke kota pelabuhan terbesar kedua di Sulawesi Selatan, yakni Pare-pare. Pak Koesprawoto, Kepala Telkom Divisi Regional VII Kawasan Timur Indonesia, memberi kepercayaan kepadaku untuk memangku jabatan Kepala Kantor Daerah Telekomunikasi (Kandatel) Pare-pare.

Sebelumnya aku banyak berkecimpung menjadi ‘pembantu’ orang nomor satu yang memimpin PT. Telkom di pulau Sulawesi, bahkan Kawasan Timur Indonesia.

Pertama kali menjadi Sekretaris Kepala Wilayah Telekomunikasi (Kawitel) X Sulawesi, era kepemimpinan Pak Effendi Soetanto. Beliau pindah ke Jawa Barat, lalu aku di’waris’kan kepada Drs. Soerato yang pakar Gugus Kendali Mutu (GKM) di Telkom.

Dari Pak Soerato kemudian aku ‘diserah-terimakan’ kepada Pak Adeng Achmad yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kawitel X Sulawesi.

Setelah Pak Adeng, terus aku diturunkan kepada penggantinya, yaitu Bapak M.J. Worung. Dari Pak Worung terus diestafetkan kepada Bapak Pramudjo. Di jaman Bapak Pramudjo inilah Telkom melakukan Restrukturisasi. Empat Wilayah Usaha, meliputi Sulawesi, Bali dan Nusra (saat itu termasuk Timor-Timur), Maluku, serta Papua digabung menjadi satu, berganti nama menjadi Divre VII.

Aku mengalami masa kepemimpinan ‘Twinning’ di Ujungpandang (sekarang kembali menjadi Makassar). Ada Kawitel, yaitu Pak Pramudjo, tapi ada pula Kadivre, yaitu Pak Koes.

Kepindahanku ke Pare-pare merupakan langkah transformasi dari memegang peran sebagai ‘ekor kerbau’, menjadi seorang ‘kepala tikus’. Daerah operasi Kandatel Pare-pare lumayan luas. Sekitar 45.000 km2. Membawahi 11 Kantor Cabang Mulai dari Kancatel Mamuju, di sisi Sulawesi sebelah barat, sampai Masamba, Palopo di Timur Utara, mendekati Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Aku harus mampu berkordinasi dengan 13 Kepala Daerah Tingkat II, dua orang Pembantu Gubernur, dua orang Komandan Korem, dan dua orang Kapolwil.

Pada saat pelantikan (di jaman Orde Baru dikenal ada istilah Penguasa Tunggal) maka bingung Pejabat Pemda yang mana yang akan melantik. Pembantu Gubernur ataukah Walikota Pare-pare? Ternyata menurut protokol dari Provinsi Sulawesi Selatan, yang akan melantik adalah Pembantu Gubernur.

Saat itu, aku lupa pak siapa Pembantu Gubernurnya, tapi kalau Walikotanya masih ingat. Bapak Syamsul Alam Bullu (Alm).

Di luar Jawa, terlebih di Kota kecil seperti Pare-pare yang waktu itu penduduknya sekitar 100 ribu orang, semua pejabat menjadi sangat rukun. Hampir semua pejabat instansi non Pemda itu orang dari Jawa dan Madura. Kepala BRI namanya Pak Bambang, Kepala Pertamina dari Madura Pak Sholeh (?), Kepala PLN Pak Purwanto. Kepala Pos orang Sunda (?). Di Pare-pare, mungkin hadiah dari Pak Habibie, ada Kantor/stasiun bumi LAPAN. “Bos’-nya juga dipanggil Pak Bambang yang suka naik Jeep yang ‘ngegrond’.

Yang lucu, kepala Bank BTPN orang Gorontalo, tapi arisannya ikut perkumpulan Jawa dan perkumpulan Sunda (Ayo ngGuyu dan Condong Raos). Pak Danrem orang Jawa, lupa namanya. Tapi kalau Pak Kapolwil saya ingat. Pak Yusuf Muharam orang Sukabumi yang baik hati, yang kemudian promosi menjadi Kapolda Timor-Timur.

Kalau Bulan Ramadhan, semua pimpinan instansi, sipil maupun militer, kebagian menjadi Tuan Rumah dalam acara buka puasa bersama yang dilanjutkan dengan Sholat Tarawih. Rumah Jabatan rata-rata besar, sehingga mampu merubah menjadi semacam ‘masjid’. Maklum di luar Jawa harga tanah tidak terlalu mahal, saat itu.

Di internal Telkom, Para Kepala Dinasku, 100 persen ‘anak muda’. Bahkan ada yang masih membujang. Semua sarjana, dan semua gila kerja. Kerja keras bagai kerbau, tapi mereka cerdik dan cerdas lebih dari 1000 ekor kancil. Pak Nyoman (ini pasti bukan orang Batak!) Kadin SDM dan Sisfo. Pak Syarifuddin, Kadin Teknik yang serba tahu dan serba bisa. Pak Bastoni (sama seperti Pak Syarifuddin, putra Palembang) Kadin Perencanaan yang pemberani. Mulai dari adu kepandaian sampai adu jotos si jago makan empek-empek ini bidangnya. DI Dinas Pembangunan saya punya Fitria Aboekasim. Namanya Fitria tapi dia berkelamin jantan. Orangnya memiliki seribu alternatif yang tak pernah kehabisan taktik dalam menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Di Dinas Keuangan ada Pak Djoko yang kemudian, karena sakit, diganti oleh Bonny Harumain. Yang terakhir ini harumnya bukan main! Eh sorry, bukan yang terakhir. Karena masih ada satu lagi orang yang mengawal ‘dagang’, Kepala Dinas Niaga, Pak Ardi utomo yang menempatkan Pare-pare dalam dua periode berturut-turut di peringkat satu bidang marketing, di antara 21 Kandatel yang ada. Berkat beliau aku sempat piknik bersama istri ke Singapura selama seminggu sebagai salah satu hadiahnya.

Kancatel yang ada di daerah Kandatel Pare-pare saat itu adalah, Kancatel Barru, Kancatel Polewali, Majene, Mamuju, Pinrang, Sedendeng Rappang (Sidrap), Enrekang, Rantepao (Tana Toraja), Palopo, Watan Soppeng, dan Sengkang.

Yang sekarang sering bertemu di Surabaya adalah Anak Agung Gde Agung, mantan Kakancatel Pinrang.

Makanan kegemaranku adalah Ciwiwi goreng. Daging unggas belibis yang digoreng. Rasanya gurih, nikmat. Makannya pasti lahap karena untuk mendapatkannya, biasanya seusai latihan Tenis di hari Sabtu, berjarak cukup jauh yaitu di daerah Tanru Tedong. Jaraknya sekitar 75 kilometer dari Pare-pare.

ey dedededeeh …. Nikmatna, di?”

------


No comments: