Monday, September 22, 2008

Aku, diriku, kisah 13, Gelasan


Kurus, tinggi semampai, memakai ban atau ikat pinggang lebar berwarna perak, hitam legam, itu apa? Teka-teki ini sering dilontarkan Kang Ucup, penjual kumang atau kalomang di muka sekolah, yang suka melucu kepada anak-anak yang membeli kepiting berumah keong itu. Jawabnya, sambung Kang Ucup, dia menunjuk tiang telepon yang berdiri di muka pagar sekolah.

Di sisi timur alun-alun, agak ke pojok selatan, ada tiga batang tiang telepon tertancap membentuk formasi segitiga sama sisi. Tonggak itu sangat kokoh menurut pendapatku. Di puncak tiang, formasi segitiga diikat dengan palang-palang besi dicat brons. Di tengah, kira-kira setinggi dua meter dari permukaan tanah, juga ‘dibending’ dengan besi serupa. Pada palang besi yang bawah inilah kami para ‘bocah’ sering memamerkan kepandaian bergelayutan, atau sekali-sekali ada juga yang bergaya akrobatik meniru sirkus.

Aku biasanya hanya bisa duduk di pinggir palang besi itu, berpegangan erat ke tiang telepon, Agak miris mau meniru acting teman-teman. Duduk di situ itu berebutan jika ada pertandingan bola. Rasanya luas penglihatan memirsa jalannya pertandingan dari ketinggian dua meter.

Pada palang yang atas berderet mangkok putih yang masing-masing memikul kawat tembaga. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa benda itu namanya isolator yang mempunyai daya tahan isolasi listrik sebesar 10 megaohm. Mangkok putih itu tidak pernah mulus. Bagian bawahnya pasti sempal. Ia senantiasa menjadi idaman anak-anak di kala musim layangan tiba.

Pecahan isolator itu diyakini sangat ampuh untuk dijadikan bahan utama gelasan. Benang yang diberi gelasan berserbuk pecahan isolator unggul dalam bertarung, jaya dalam berlaga.

Aku membuat gelasan sendiri. Bahannya adalah sebuah ketapel dan batu kerikil sebesar biji salak. Kemudian putih telur perekat kayu bernama ‘ka’, jeruk nipis, zat pewarna atau gincu. Kok ada ketapel? Ya, ketapel atau catapult kata turis, digunakan untuk menembak mangkok putih yang ada di puncak tiang telepon tadi. Kalau dapat beberapa keping pecahan keramiknya lalu aku tumbuk sampai halus. Ukuran kehalusannya diukur dengan saringan dari kain. Yang lolos menembus saringan itulah yang akan menjadi bahan utama gelasan.

Benang yang akan digelas, harus terpilih. Biasanya cap kambing nomer 24 untuk layangan kecil, cap gajah nomer 8 untuk layangan ulur yang agak besar. Benang ini, sebelum digelas, dibentangkan kemudian digesut dulu dengan menggosoknya menggunakan kain atau sabut kelapa yang diberi putih telur. Membentangkan benang lazimnya digelar di dua tiang jemuran baju. Di putar berkali-kali sesuai panjangnya benang yang akan digelas.

Penggesutan ini bermaksud agar benang tidak berbulu, serat kapasnya terintegrasi secara utuh sehingga benang bertambah liat dan kuat, tidak mudah putus. Kalau sudah kering benang hasil gesutan digulung kecil agar bisa masuk dalam kaleng yang akan dipakai dalam proses penggelasan. Biasanya pecahan genting ukuran bujur sangkar bersisi dua sentimeter digunakan untuk menggulung benang.

Adonan gelasan, serbuk keramik, perekat ‘ka’, gincu, sedikit jeruk nipis dan air secukupnya dididihkan sambil terus dikocek agar ramuan gelasan teraduk merata. Kalau sudah mendidih di angkat. Setelah setengah dingin ‘gendul’ benang yang akan digelas lalu dicelupkan. Setelah hangat suam-suam baru benang dibentangkan kembali.

Caranya, ujung benang ikatkan di tiang jemuran. Lalu aku berjalan mundur membawa kaleng ramuan gelasan sambil menekan benang yang keluar dari kaleng. Hal ini dilakukan agar benang tetap berpermukaan halus dan rata tapi serbuk kacanya bisa menempel dengan baik. Setelah semua benang sudah digelas, biarkan sampai kering.

Perekat kayu yang bernama ‘ka’ itu terbuat dari bahan kulit sapi yang seperti lendir. Kalau digunakan membuat gelasan baunya tidak sedap. Oleh sebab itu jeruk nipis mengurangi aroma tidak enak itu. Di sisi lain, jeruk nipis membuat benang gelasan tidak terlalu getas. Penggunaan ‘ka’ yang berlebihan juga bisa membuat benang menjadi getas, mudah patah, kemudian putus.

Kalau sudah kering, benang digulung menggunakan kaleng susu bekas. Bukan susunya yang bekas, tapi kaleng susunya. Agar benang tidak terkena karat maka kaleng hendaknya diberi alas kertas koran yang dililitkan. Sebelum benang gelasan digulung terlebih dahulu benang pengulur yang digulung. Benang pengulur biasanya jauh lebih panjang dari pada benang gelasan. Menyambungkan benang pengulur dengan benang gelasan ada caranya tersendiri. Harus diperhatikan putaran benang harus searah. Istilahnya kepala benang harus disambungkan dengan ekor benang. Jika kepala ketemu kepala, atau ekor ketemu ekor, benang akan selalu melintir sehingga ketika ditarik akan mudah kusut. Benang menjadi rusak dan pada akhirnya bagian yang kusut terpaksa harus diamputasi.

Benang gelasan yang dipakai tidak boleh terlalu panjang. Dia hanya ada di atas saja mulai dari layang-layang itu sendiri. Kalau kita mengadu layangan, benang gelasan itu jangan sampai ada dalam genggaman tangan kita. Benang gelasan sangat tajam. Dia bisa lebih tajam dari pisau. Sudah banyak jari yang luka teriris benang gelasan. Yang digenggam dalam memainkan layang-layang adalah benang pengulur.

Benang gelasan juga tidak boleh terlalu pendek. Jika musuh pandai ‘menyasar’ dengan kecepatan tinggi, layang-layang lawan akan menyabet benang kita serendah mungkin. Bila perlu dekat tangan pemain. Kalau yang tersabet itu benang pengulurnya sudah dapat ditebak pasti layangan kita kalah. Putus terbang melayang dengan benang yang terbawa layang-layang cukup panjang.

Menurut aku lebih berseni mengejar layang-layang putus dari pada bermain mengadu layang-layang. Mengejar dan berebutan memberi rasa puas yang tersendiri. Kalau dapat bukan main bangganya. Sebaliknya kalau luput, kecewa terasa menyesakkan dada.

Saat aku kecil berburu layangan itu jujur. Yang diperkenankan diambil, sesuai tradisi, hanya benangnya saja. Layang-layangnya dikembalikan kepada yang punya. Anehnya, kok semua orang berbuat sama, jujur tak mau curang. Padahal kalau mau diambil, siapa yang tahu.

Para pemburu layangan seperti aku sudah hapal posisi para pemain layangan. Ini layang-layang punya Kang Engkos, ini punya Pak Sarbini. Sehingga kalau mengembalikan tepat sasaran kepada pemiliknya. Ada kalanya mengenal pemain dari motif gambar layang-layangnya. Pak Gaos misalnya, ia senang menggunakan layang-layang berwarna merah motif ‘kapinis’ mirip sayap dan ekor burung sriti. Kang Engkos layangan bondol warna biru tua bermotif ‘wajit’, jajaran genjang, di bagian kepala layang-layang.

Den Kadar, memang orang kaya, membeli layang-layang pun dari kota Bandung. Motif yang digemarinya aneka ragam. Gambar tengkorak paling disenanginya. Kalau mengembalikan layang-layang kepadanya, biasa kita diberi tip. Lumayan bisa membeli segelas es cincau.

Kecelakaan dalam mengejar layang-layang kerap juga terjadi. Sholeh, anak kauman sebayaku misalnya, pernah jatuh di jembatan bambu. Alat vitalnya nyaris putus tersayat bambu tepi jembatan. Khabar itu, layaknya di kampung, segera beredar luas. Semua orang tua memberi nasehat agar jangan suka mengejar-ngejar layang-layang. Hal yang klise ini menimpa diriku juga. Tapi, nyatanya nasehat datang, pemburu layangan tetap berlalu dan berpacu!

Kalau melihat mangkok putih di atas tiang telepon. Aku suka tersenyum sendiri. Semasa kecil benda itu selalu aku rusakkan. Setelah dewasa, tidak dinyana, aku bekerja di telkom bagian jaringan yang tugasnya, antara lain, mengganti isolator yang pecah itu.


2 comments:

Unknown said...

Mantap bro..cukup membawa lamunanku ke masa lalu... 2jempol

Unknown said...
This comment has been removed by the author.