Sunday, September 28, 2008

Aku, diriku, kisah 16, Si Uro, Nyi Omah, dan Si Juned


Ada tiga ‘bintang’ yang populer di era masa kecilku. Keterkenalannya trio ini ditandai dengan nyaris seratus persen dari seluruh populasi yang ada di Cililin mengenalnya. Di kalangan anak-anak sebayaku tokoh ini tidak saja dikenal, tapi sekaligus ditakuti kalau bersua vis to vis.

Aktor pertama yang akan dikisahkan menggunakan nick name sederhana, Si Uro. Di awal kiprahnya orang tua yang satu ini tidak lebih dari sosok seorang pembantu yang setia, rajin, tidak banyak omong. Perubahan jalan hidupnya dimulai dengan terjadinya tragedi kebakaran yang menimpa sederetan asrama Polisi Cililin.

Salah satu rumah merangkap warung dekat asrama, meski tidak ikut terbakar, adalah tempat Si Uro mengabdi. Asrama yang terbakar menyuguhkan tidak sekedar api yang berkobar menggila, tapi juga diselingi dengan berbagai bunyi dentuman dan rentetan bunyi mesiu yang ikut terbakar.

Sejak peristiwa langka yang mencekam itu Si Uro menjadi pendiam. Tingkahnya berubah. Kalaupun dia bicara itu hanya berupa gumaman yang tak jelas apa yang diucapkannya. Si Uro, ujar orang-orang, telah menjadi gila. Ia mulai menggelandang. Lebih banyak berada di sekitar pasar dan memunguti makanan sisa.

Ia menjadi beringas terhadap anak-anak yang sering melemparinya. Bocah-bocah senantiasa merasa takut, tapi bercampur dengan perasaan ingin tahu dengan apa yang diperbuat Si Uro. Jadinya mendekat juga. Anak-anak mulai membuat cerita dari satu kepada yang lain tentang kegalakan Si Uro. Gangguan berupa lemparan dengan batu-batu kecil atau berwujud cemoohan dengan mimik muka menirukan tampang Si Uro.

Tindakan ini memancing Si Uro menjadi alergi terhadap anak kecil. Dia selalu memandang anak-anak dengan penuh curiga. Matanya yang merah, kepala cukuran gundul dengan rambut yang mulai tumbuh pendek beruban membuat sosok Si Uro menjadi menyeramkan.

Aku sendiri tidak pernah mencari perkara dengannya. Aku lebih memilih menghindar untuk berpapasan dengan orang tua yang satu ini. Lagi pula, sebelum gila, Si Uro sering disuruh bapakku untuk bantu-bantu ala kadarnya sebagai alasan bapakku untuk memberi sedekah kepadanya.

Tidak ada yang tahu siapa kerabat Si Uro yang sendirian ini. Bahkan, cerita dari mana dan mulai kapan Si Uro, ketika muda usia, berada di Cililin. Semua orang hanya tahu, bahwa Uro muda bagai turun dari langit, tiba-tiba ada begitu saja.

Kini Si Uro, kalau siang hari, dapat mudah ditemui di lokasi pasar. Sebaliknya kalau malam hari, penduduk Cililin hanya bisa melihat tanda-tanda kehidupannya saja. Si Uro sejak sore sudah mendaki ke lereng bukit, menuju daerah yang dikenal bernama Gabus. Di sebuah goa, meski bukan belantara yang lebat, Si Uro beristirahat melepaskan penat setelah seharian mengais sisa-sisa makanan dari tong sampah yang satu ke tong berikutnya.

Sebagai isyarat, Si Uro setiap malam senantiasa membuat api unggun pengusir dingin dan sekaligus penerangan dan pertahanan dari binatang malam di mulut goa. Nyala api ini bisa dilihat dari kampungku..

Suatu ketika, manakala nyala api unggun Si Uro tidak terlihat lagi, orang mulai curiga. Lagi pula Si Uro tadi pagi tidak nampak keberadaannya di pasar sebagaimana biasa dia menggelandang. Ketidakhadirannya sungguh terasa dan menjadi pembeda warna hari-hari suatu desa. Semakin siang orang-orang semakin penasaran, mereka mulai saling bertanya. “Kemana Si Uro yaa…,” guman orang-orang.

Ketika malam berikutnya juga nyala api unggun tidak muncul, penduduk mulai menduga .Pasti orang tua yang malang itu sakit keras. Keesokan harinya beberapa orang dewasa memutuskan untuk mendaki bukit Gabus, mencari tahu apa yang terjadi dengan Si Uro.

Siang hari, selepas dzuhur, barulah berita jelas menyebar ke peloksok desa. Si Uro telah tiada. Si Uro mati. Lelaki senja yang kesepian itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir tanpa sanak keluarga, tanpa kehadiran siapa-siapa. Berselimutkan dinginnya bukit, Si Uro terbujur kaku di pembaringannya, di atas sehelai tikar kumal yang ditumpuki dengan beraneka kain ‘gombal’ yang lusuh.

Anak-anak bersedih. Lelaki tua yang selalu diganggunya, sehingga dia balas mengganggu, kini telah tiada. Ada sesuatu yang hilang dalam aktivitas keseharian di desa. Terutama di minggu-minggu pertama. Saat itu, orang masih menitikkan airmata duka untuk Si Renta tanpa sanak keluarga. Kisah Si Uro ‘happy ending’-nya sedih dan menyedihkan.

Cerita selanjutnya tentang tokoh kedua bernama Nyi Omah. Seorang gadis yang lumayan elok parasnya. Kuning langsat kulitnya, rambutnya panjang terurai. Sayang, entah apa yang membuatnya, ia hilang ingatan. Dengan berpakaian yang tidak karuan, sebagaimana lazimnya orang gila, kecantikan Nyi Omah menjadi tersembunyi. Ia suka menggelandang dan tidur di kios pasar yang gelap dan sepi karena, kalau malam , ditinggalkan pedagang.

Nyi Omah termasuk orang gila yang tidak membahayakan anak-anak. Kategori jinak. Oleh sebab itu anak-anak suka memberi Nyi Omah permen yang disebut ‘es bon-bon’. Nyi Omah orangnya pendiam. Dia menenteng keranjang tempat menyimpan baju-baju lusuh yang merupakan uniform kebesarannya.

Suatu ketika Nyi Omah tiba-tiba tampil bersih. Pakaian lusuhnya tidak nampak lagi. Dia berpakaian rapi dan necis. Lebih aneh lagi Nyi Omah tidak muncul di pasar. Ia tampil tidak jauh dari rumahku di Sumurbandung.

Jarum jatuh saja orang kampung pasti semua tahu. Apalagi ada perubahan drastis yang terjadi atas performance Nyi Omah. Semua orang bergunjing dan bergosip. Setelah diselidiki, Nyi Omah ternyata dirawat oleh Pak Sobur, duda mantan guru yang juga agak samin. Maksudnya kadar gilanya hanya sedikit saja. Orang Sunda bilang "owah".

Nyi Omah yang kini nampak ayu tinggal di rumah Pak Sobur, duda tua yang seorang diri. Orang-orang tidak bisa berbuat apa-apa. Orgil ketemu orgil, ya sudah biarin saja. Siapa tahu dua-duanya bisa sembuh dari owahnya.

Hasil dari symbiose mutualistis ini sudah dapat diterka ujung ceritanya. Nyi Omah berbadan dua. Orang-orang berkomentar. Pak Sobur, duda tua, gila lagi, ternyata untuk urusan yang satu masih tokcer. Cerita selanjutnya tentang Nyi Omah aku hentikan sampai di sini saja. Happy ending-nya, apakah hepi atau sedih, aku tidak mampu memberi argumentasi.

Kita beralih saja ke aktor ketiga, aktor terakhir. Juned namanya. Jalannya tegap badannya cukup bagus layak untuk menjadi, minimal, anggota OKD. Apa itu OKD? Itu tuh Organisasi Keamanan Desa. Mirip Kamra atau Satpam jaman sekarang. Ia berpakaian hijau ala tentara. Dia dididik kemiliteran dan dilengkapi dengan senapan tempo doeloe bernama ‘dorlok’. Kalau sudah dibunyikan ‘dor’ peluru terlepas dari senapan, tapi selanjutnya pause dulu. Tembakan berikutnya, senapan harus dicolok-colok terlebih dahulu guna mengeluarkan selongsong peluru yang masih tertinggal di dalam laras, baru bisa diisi mesiu .

Kembali ke masalah Si Juned. Ia lebih duluan hadir, sebagai sosok orang gila, dari pada dua tokoh yang telah kita bahas di depan. Juned kedudukannya jauh lebih tinggi satu anak tangga dibanding Uro dan Omah.

Juned lebih cerdik dan memiliki jam kerja yang jelas. Juned memiliki pakaian dinas dan pakaian rumah. Di jam kerjanya Juned nyerocos ngomong apa saja tidak berstruktur. Ada beberapa phrase kata-kata jargon yang kerap dilontarkan berulang-ulang sehingga menjadi populer di kalangan anak-anak.

Ia sering menyebutkan ‘plong batujajar’ dalam dialek sunda yang kental. 'Raja Hendrik' dan 'Ratu Melmina' (mungkin maksudnya Wihelmina) adalah ucapan lain yang reflek keluar begitu saja dari mulut lincahnya.

Pakaian kebesaran Si Juned bagai busana selebritis. Penuh bertaburkan kancing-kancing yang dijahit di berbagai permukaan bajunya yang berkantong banyak. Yang paling dihapal anak-anak, seperti juga aku ketika mulai bisa membaca, adalah tulisan ‘HIK’ yang terbuat dari sederet kancing cetet di punggungnya. Sampai kini misteri singkatan HIK ini tak pernah ada yang mampu memecahkannya. Saya yakin pemecah sandi sekelas CIA , Mosaad, KGB, atau BIN tidak mampu menjelaskannya.

Dalam tugasnya Juned memiliki ‘tupok’ alias tugas pokok yang jelas Istilah kerennya, Juned memiliki Visi dan Misi yang clearly. Ia mendatangi kios demi kios para penjual sembako yang ada di pasar Cililin. Dari setiap pedagang beras Juned meminta segenggam beras yang dimasukkannya ke dalam tas kain yang selalu bertengger di pundaknya. Dari kios tukang ikan asin dia hanya meminta sepotong kecil ikan gabus atau secomot ikan teri. Dari tukang sayuran dia hanya meminta sejumput kecil lombok rawit atau sebuah lombok besar, hijau atau pun merah. Atau mungkin memungut sebutir kentang, atau sebatang wortel. Pokoknya Juned tidak pernah serakah. Dia tidak meminta banyak. Least but not last.

Jika pasar sudah usai dikitarinya, ia memindahkan operasinya di sekitar terminal bis. Kepada sopir-sopir atau penumpang yang sedang jajan di warung kopi ia menyodorkan tangannya mengharap sedekah. Sopir-sopir lazim memberi uang receh barang lima atau 10 ketip. Ada juga yang memberi sebatang rokok putih merek Kresta, atau Escort, atau Kansas, Kartika Eka Paksi, Commodore, Wembley, Bom, atau Lancer. Jarang orang mengisap rokok kretek yang cuma dua jenis saja yaitu merek Soepiah dan Djarum.

Juned beroperasi dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Setelah itu dia pulang ke desa Cipetir. Di sana anak dan istrinya sudah menunggu menyambut tas doraemon yang dipenuhi aneka bawaan dari pasar. Di luar jam kerja Juned berpakaian sederhana dan bersih. Juned tidak banyak berkata-kata. Meniru No Comment-nya pejabat kalau diwawancarai wartawan.

Bahkan, walau masih memakai pakaian dinas, jika bersua di perjalanan pulangnya, Juned tidak nyerocos seperti di pasar tadi. Kalau ditanya, “Mang Juned dari mana? Jawabnya cukup ramah,: “Biasa Den, Emang dari pasar …” jawabnya datar.

Dengan penampilan seperti itu orang-orang tua di desaku memberi penilaian bahwa Si Juned itu sesungguhnya tidak gila. Dia hanya memilih lakon seperti itu untuk menjadi seorang kepala keluarga yang dituntut harus mampu menafkahi anak istrinya.

Konon khabarnya hasil operasi pasarnya, setelah disortir dan dipilah-pilah, benda-benda itu laku dijual kepada tetangga dengan harga miring. Kehidupan tidak banyak memberi pilihan kepada Juned. Ia memilih peran gila yang tak mungkin orang akan tergila-gila dengan job-nya itu. Hanya satu saja keisengan Juned yang cerdik tapi super nakal itu. Dan itu senantiasa menjadi kenangan atau mimpi buruk yang tak pernah terlupakan bagi anak gadis remaja atau ibu muda. Juned sering menyergap dan memeluk cewek. Untuk urusan harrasment yang satu ini, memang universal. Mau gimana lagi, he… heee….. Hukum kita tidak mampu menjerat tindak pidana yang pelakunya orang gila. Kecuali kalau ada novum, bahwa Juned terbukti hanya sekedar gila-gilaan, eh.., maksudnya gila bo'ongan. Anda berminat jadi Juned masa kini?


No comments: