Sunday, September 28, 2008

Aku, diriku, kisah 15, Jurig Kebon Kopi



Orang Cililin, seperti juga orang Sunda pada umumnya, tahu jurig. Lima huruf yang membentuknya tidak istimewa. Tapi maknanya, terutama bagi anak-anak seperti saya dulu, adalah sesuatu yang menakutkan. Jurig itu hantu. Orang Jawa menyebutnya genderuwo.

Jenis jurig itu, sebagaimana juga genderuwo, aneka ragam. Hantu perempuan yang bolong punggungnya, disebut kuntilanak. Orang Sunda menyebutnya cukup kunti saja, nggak ditambahi lanak. Orang Betawi menyebutnya sundel bolong.

Jika dilihat dari lokasi tempat hantu itu berada, di sunda ada yang disebut jurig jarian. Ini bukan hantu berjari. Jarian itu artinya tempat pembuangan sampah. Hantu yang menempati TPS ini disebut jurig jarian. Kalau hantu yang suka mangkal di pohon-pohon besar, seperti kalong atau kelelawar besar, disebutnya ‘kelong wewe’. Kerjaannya, kata nenekku, suka nyolong bayi yang akan dibawanya ke atas pohon.

“Pohon sukun yang ada dekat makam Pasirmeong itu tempatnya kelong wewe,” sambung nenek waktu bercerita perihal perjurigan.

Di kampung Sumurbandung, kata Maman dan Mimin, si kembar putra Mang Karmin, di kebon kopi, di sisi barat tanah kosongnya Haji Mukmin, dikenal ada jurignya. Cep Yayat putra Haji Mukmin pemilik bis Tjintamanah itu, ujar Mimin, pernah melihatnya. Waktu itu malam hari Cep Yayat sendirian mau menengok kolam lele. “Mukanya hancur, jalannya sempoyongan,” tambah Mimin mengulangi ucapan Cep Yayat sembari menyeringai menirukan mimik si hantu.

Cerita keangkeran kebon kopi sudah populer bagi warga Sumurbandung. Hantu di situ suka iseng. “Suka menyiram orang lewat di situ dengan pasir,” ujar Ma Elim tetangga sebelah.

Ada kalanya, hantu itu hanya memperlihatkan dirinya berupa asap putih disertai bau kemenyan. Konon khabarnya, kejadian ini biasa terjadi pada saat malam Jum’at kliwon. Oleh sebab itu Ma Elim suka memberi sesajen yang diletakkan di bawah pohon kopi paling ujung, sisi selatan, dekat selokan yang serem. Komposisi alam di situ menyempurnakan situs kebon kopi menjadi tempat yang ideal untuk dihuni makhluk halus. Sesajen kesenangan hantu adalah secangkir kecil kopi pahit, gula aren dan kelapa masing-masing cukup sekerat kecil.

Di kebon kopi yang dimaksud, kalau malam, memang gelap gulita. Tidak ada lampu listrik atau lentara yang dipasang. Padahal kebon kopi itu jalan terdekat satu-satunya buat keluargaku kalau mau ke alun-alun. Adakalanya bapakku, malam hari, menyuruh membeli rokok commodore kesayangannya di toko Nugraha miliknya Haji Dodoh. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus melewati kebon kopi. Meski baru jam tujuh malam, di situ memang sepi. Tetap saja ngeri dan bulu kuduk berdiri. Jalanpun setengah berlari.

Bahkan, suatu ketika, aku melihat makhluk hitam seperti mengendap-endap mau menerkamku di kebun pisang miliknya Bu Guru Tjitjih yang ada di sisi barat kebon kopi. Aku berteriak dan lari kembali ke rumah sambil cerita sama seluruh penghuni rumah bahwa aku baru saja melihat jurig. Tubuhku gemetar. Ibu memelukku dan memberi aku minum teh tawar. Bapakku malah ngakak. Sambil pergi mau menengok jurig kebon kopi, katanya.

Lima menit bapak sudah kembali. Ia cerita bahwa yang bergerak-gerak di kebun pisang itu bayangannya daun pisang yang sudah kering tertiup angin. “Ini jurignya sudah bapak potong,” ujar bapak sambil menaruh daun pisang yang dimaksud.

Kakakku tertawa. Tapi ibu tidak tertawa. Ibu, seperti juga aku, percaya kalau di situ memang ada ‘penghuni’-nya. Kata ibu, “Jangan gegabah ngomong, bisa-bisa suatu ketika kita diujinya.”

Aku percaya pada bapakku karena aku tahu bapakku memang pemberani dan tak percaya takhayul. Tapi aku tetap saja tak bisa tidur. Di satu sisi aku juga percaya ibu. Katanya Allah itu menjiptakan makhluk, selain khewan dan tumbuhan, ada tiga jenis yaitu; jin, setan dan manusia. Yang suka mengganggu itu, sering disebut jurig, adalah jin kafir yang perbuatannya selalu jahat. Hiii .........


No comments: