Monday, September 22, 2008

Aku, diriku, kisah 14, Sparta versus Athena


Yunani sering disebut sebagai negeri yang dihuni para dewa. Yunani kuno senantiasa menjadi pusat perhatian dunia karena kemajuan peradabannya. Hal-hal yang berkaitan dengan agama, filsafat, ilmu, peperangan dan olahraga berkembang dengan subur yang berawal dari kegelisahan terhadap hakikat hidup..

Adalah dua negara ‘polis’ di Yunani. Namanya Sparta dan Athena. Sparta terletak di ‘dalam’, di lembah yang dikelilingi gunung-gunung. Untuk menjaga aktualisasi diri mereka mengembangkan ilmu kedigjayaan berperang. Mereka harus tambil garang. Istilah itu sekarang menjadi sebutan tampil spartan. Athena berada di pantai yang mendorong majunya perniagaan. Ilmu-ilmu seni dan filsafat berkembang dengan baik. Perekonomian yang mensejahterakan adalah pertahanan yang kuat.

Sparta memilih pendekatan kekerasan, otoriter dan militeristik. Athena berbeda 180 derajat. Mereka memilih cara-cara lebih manusiawi. Mereka mengembangkan sistem demokrasi. Kedua sistem yang diterapkan negara kota ini masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dengan otoriterisme yang dijalankan Sparta, kehidupan mereka lebih teratur daripada Athena. Sedangkan dengan demokrasi yang dikembangkan, Athena menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan para filsuf, kaum cendekiawan, dan para seniman.

Sparta memiliki kekuatan militer yang kuat. Meskipun minim dengan orang-orang terpelajar, disiplin berkembang dengan baik. Raja Leonidas I, misalnya, dengan dibantu 300 pasukan Sparta mampu menghancurkan ribuan tentara Persia.

Akan halnya Athena, dengan para pemikir yang jenius seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, berjaya mengukir dunia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tempat yang lebih tinggi dan berkembang dengan pesat.

Sparta dan Athena, dalam rentang waktu yang panjang, senantiasa berseteru tiada habisnya, meski perseteruan ini membawa Yunani kejenjang kemajuan.

Jauh dari Yunani kuno, di desaku yang jauh dari keramaian kota, ada dua kelompok kampung yang senantiasa berseteru. Meski tak sampai perang antar kampung. Itu adalah kampung Kauman dan kampung Sumurbandung. Kauman lokasinya di sisi barat selatan alun-alun Cililin. Sesuai namanya, kampung ini berada di belakang mesjid agung. Berada di kaki bukit Gegerpulus yang hijau subur. Banyak guru agama, para ustadz dan Haji.

Sebaliknya Sumurbandung menempati daerah datar yang ada di sisi Utara timur alun-alun. Kampungnya padat, didapati banyak warung dan toko tempat perniagaan. Pengusaha angkutan bis dan pabrik wajit Cililin tinggal di sini. Satu-satunya tempat kursus mengetik hanya ada di kampung Sumurbandung.

Persaingan kedua kampung memang unik untuk disimak. Kondisi ini menjadi pendorong dan memotivasi keduanya untuk tidak terkalahkan. Dalam bidang olah raga, sepak bola utamanya, hanya pertandingan dua kampung inilah yang paling menyedot animo penonton. Kedua pihak suporter pasti hingar bingar saling ejek dan saling maki. Pemain akan tampil ngotot, ekstra keras dan penuh trik yang mengundang tepukan.

Dalam bulan puasa, pertandingan adu mercon bumbung, biasa disebut lodong, tiada habisnya. Bunyinya memekakkan telinga. Adakalanya kaca-kaca jendela pada bergetar terkena getaran ‘bom’ karbit. Seusai tarwih bunyi meriam bambu itu akan saling timpal bersahutan. Para donatur mengumpulkan uang untuk membeli karbit sebagai bahan ‘mesiu’ meriam bambu. Jangan sampai hari belum pagi persediaan mesiu telah ludes.

Anehnya sehebat apapun persaingan itu terjadi tak pernah kedua kampung ini saling merusak apalagi saling menyakiti. Keduanya seperti sepakat, hati boleh panas tapi kepala tetap dingin. Persaingan Kauman versus Sumurbandung di masa kini tak masuk di akal bisa terwujud.

Cerita Sparta dan Athena sengaja saya tulis di depan. Dalam nuansa perseteruan abadi itu, entah siapa yang memulai, ada ide pemberian nama terhadap kesebelasan bola yang ada. Kesebelasan anak-anak Sumurbandung memilih nama Athena. Sedangkan anak Kauman menyandang sebutan Sparta.

Bendera kesebelasan dibuat. Athena memakai dasar kuning dengan gambar obor merah dan tiga buah lingkaran olahraga. Sparta memakai dasar hijau dengan gambar bola berwarna kuning. Kauman memang fanatik warna hijau.

Pimpinan kesebelasan Athena adalah Mang Cecep, pamanku. Ia pencetak gol yang disegani kiper-kiper lawan. Di deretan pasukan Kauman, putra mahkota pak Lurah Syahlun yaitu Kang Ucup sebagai panglima perangnya. Hati-hati dengan Kang Ucup si jago silat ini, ia pandai mematahkan tulang kering lawan.

Di Athena banyak pemikir dan banyak ide. Nama Athena, supaya lebih bermakna, kemudian sepakat diubah menjadi Atena, kependekan dari Angkatan Teruna Nasional. Pembinanya, kebetulan Dan Yon 327 Infanteri, setuju dengan nama yang lebih berbau nasionalisme ini.

Di Kauman tetap Sparta seperti Sparta yang asli di negeri Yunani yang tersohor keras, disiplin tapi sportif. “Nggak pake singkatan-singkatan. Pokoknya Sparta ya tetap Sparta!” ujar Cep Dayat sekretaris organisasi saat itu.

Perayaan 17 Agustus adalah puncak acara persaingan. Dua kampung ‘polis’ ini mengeluarkan berbagai kekuatan utamanya. Dalam tarik tambang, lomba karung, dan panjat pinang. Dalam bidang olah raga populer adu gengsi terjadi lebih terasa. Para orang tua, selaku sponsor, biasanya sudah bisa menebak. Sparta bakal unggul di bidang apa dan Atena di bidang apa. Bapak bilang sama aku: “Bulutangkis pasti dimenangkan Atena. Tapi sepakbola, seperti tahun lalu juga, pasti digondol Sparta.”

Ramalan bapakku memang tepat. Atena dan Sparta masing-masing punya keunggulan. Lebih dan kurangnya itu, bagi desa, membuat suasana menjadi lebih dinamis.

Konon khabarnya Athena dan Sparta di Yunani itu pernah terserang wabah penyakit. Banyak orang yang mati. Akan halnya Sparta dan Atena di desaku, entah sebab apa, digerogoti waktu akhirnya sampai pada kondisi kedua nama besar itu redup untuk kemudian tak pernah terdengar lagi.

Sepak bola Cililin yang berintikan gabungan Sparta-Atena, pada masanya sangat disegani berbagai kesebelasan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung. Bahkan Wowo dan Omo, pemain utama Persib, pernah ditugaskan selaku talent scoutting mencari pemain berbakat dari Cililin.

Mang Cecep, pamanku, pernah mengejutkan dalam kejuaran bulutangkis di Bandung yang diselenggarakan KOGOR (Komite Gerakan Olah Raga) semacam KONI masa kini. Tapi, bagaikan terkena epidemi, kejayaan itu surut dan kemudian sirna. Bendera Sparta maupun Atena tak pernah dikibarkan lagi.

Sebagian wilayah Sparta dan Atena, di negeri Cililin, terendam waduk Saguling bersama 30 desa lainnya dalam hamparan seluas 6.176 hektar berupa sawah ladang dan kampung halaman. Banyak penduduk yang pindah jauh ke kota-kota lain mencari penghidupan yang lebih baik. Bakat-bakat itu, baik yang pemikir maupun yang spartan, ikut pula termutasikan. Meski kini tidak atas nama Cililin lagi, tokh masih ada dan berkiprah di pertiwi Indonesia juga. Semoga.


No comments: