Monday, September 29, 2008

aku, diriku, kisah 18, dua balita dua kumpay



Orang Cililin suka ikan mas. Semua menyebutnya lauk emas. Di Jawa disebut tombro. Jenisnya, dibedakan dari warna sisiknya, ada yang disebut domas, belang batu, kumpay atau kamper. Kakekku memelihara ikan mas di sawah bersamaan dengan menanam padi. Bibitnya sebesar jari. Selama dua atau tiga bulan, sewaktu padi masih butuh banyak air, ikan mas itu dipelihara. Setelah sawah mulai tidak digenangi air lagi ikan pun dipanen. Membantu menangkap ikan menggunakan ayakan, anyaman bambu sebesar niru, memang asik. Badan berlepotan penuh lumpur menambah kegembiraan suasana panen. Aku biasanya bertelanjang saja. Tokh peristiwa ini tidak disaksikan supporter atau para penggembira. Apalagi camera-man, wartawan juru liput dan cheer-leader, tak ada laah….capek deh!

Asyiknya suasana akan berlanjut saat disambung dengan acara makan siang. Kali itu, dapat dipastikan, nasi putih tidak lagi ditemani sekedar ikan peda, ikan asin paling murah di kampungku. Lauknya pasti ikan mas yang sudah digoreng kering oleh nenek. Pasangan ikan mas yang akan disandingkan, sudah bisa diterka pasti tahu goreng, sambel terasi, kerupuk, lalapan mentimun dan daun antanan yang rasanya 'cengkring' di lidah.

Sambungan kegembiraan pasca panen ikan masih berlanjut. Keesokan harinya aku pasti akan diajak ke pasar. Aku dibelikan celana atau baju baru oleh kakek. Itu diperoleh dari uang keuntungan menjual ikan mas ke Pak Supriatna, tukang ikan yang akan menjualnya kembali di pasar. Tugas tambahanku adalah menjaga ikan mas agar tetap hidup. Airnya harus diperhatikan harus selalu bersih. Kalau airnya keruh binatang bersisik indah ini bisa tewas. Ikan mas yang mati tidak ada yang mau beli. Sampai pembeli terakhir pun ikan mas harus dalam keadaan hidup. Itulah kode etik jualan ikan mas di kampungku. Tidak ada ikan mati, meski diberi es, diperjualbelikan.

Lauk emas itu, kata latinnya adalah Cyprinus carpio. Kata ensiklopedi itu termasuk genus cyprinus dari family cyprinidae. Ordonya adalah cypriniformes dari kelas Osteichthyes, group Pisces dan Phylum Chordata. Kata-kata aneh itu yang berkesan cuma kata Pisces saja. Aku dilahirkan tanggal 13 Maret di bawah naungan zodiac Pisces, gambarnya dua ikan yang meniru posisi yin dan yang orang Korea.

Orang Inggris menyebutnya common carp. Orang Iran menamakan ikan mas ini dengan kata kapour. Orang Sunda tidak salah banget kalau menyebutnya kamper. Tapi kalau orang Rusia kebangetan, masa menyebutnya sazan. Orang Kazastan juga keterlaluan, dia bilang itu kalyntyr atau munke. Orang Turkmenian lebih gila lagi. Ikan mas disebut kepiz atau tennbalyk. Wah waah …..

Pemandian Sumurbandung itu sesungguhnya didapati ada dua kolam. Satu sumur atau kolam utama, ada di sisi utara bentuknya luas. Pemandiannya berwujud bangunan tembok permanen. Terpisahkan dengan jalan kampung selebar dua meter, di sisi selatan, terdapat kolam 'pembantu' dalam ukuran kecil. Bentuknya berupa lingkaran dengan jari-jari sekitar satu setengah meter saja. Kolam kecil ini bangunannya tidak permanen. Terbuka tanpa atap dan hanya diberi dinding anyaman bambu saja. Tapi tempat ini, meski terbuka, tetap teduh karena di pinggir kolam tumbuh pohon beringin selaku pohon perindang sekali gus tempat mata air kolam keluar.

Letaknya di sisi kiri rumah Ibu Maryamah. Oleh sebab itu tidak heran kalau kolam kecil ini lebih digunakan oleh keluarga tersebut bersama tetangga terdekatnya. Penduduk lain lebih suka menggunakan pemandian umum Sumurbandung utama yang luas dan berpenerangan listrik.

Di dalam kolam kecil ada dua ekor ikan kumpay yang berwarna oren dan ros. Ukurannya sudah cukup besar. Kira-kira sebesar paha orang tua. Keduanya selalu saling berdekatan bagai dua remaja sedang kasmaran. Kemana si oren berenang kesitu pula si ros mengikutinya. Ikan ini nampak sekali keindahannya karena air kolam sangat jernih alami. Penduduk tidak pernah memberi makan. Kedua ikan ini hanya memakan lumut-lumut yang tumbuh di batu-batu besar yang menjadi dinding kolam.

Satu hal yang menguntungkan. Ikan ini bebas dari kejailan dan gangguan. Semua orang memandang ikan ini sebagai makhluk keramat. Siapa berani mengganggu dia sendiri akan menanggung akibatnya. Kesakralan ikan ini dipercaya oleh banyak orang. Maka lestarilah ikan yang jumlahnya cuma dua ekor itu.

Suatu ketika kolam kecil nampak agak kotor. Itu diakibatkan sudah banyak daun beringin yang mengotori dasar kolam. Kalau dibiarkan lama-lama air kolam bisa bau dan mata air bisa saja tersumpat. Pada hari Minggu pagi penduduk bekerja bakti membersihkannya. Untuk sementara waktu Si Kumpay duo sejoli ditangkap dulu kemudian disimpan di dalam ember kaleng besar dengan diberi air kolam secukupnya. Ember diletakkan di dapur rumah Ibu Maryamah.

Paling lama satu atau dua hari kolam akan penuh air kembali. Jadi untuk hari Minggu dan Senin kolam kecil tidak akan digunakan. Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan untuk memperbaiki dinding kamar mandinya.

Pukul sembilan malam aku sudah tertidur lelap. Maklum hari Minggu aku bermain gangsing dan mencari buah saliara buat tembak-tembakan menjadikan tubuhku penat. Tiba-tiba saja terjadi kegaduhan yang membuat aku terbangun. Orang-orang, termasuk bapakku lari menenteng ember. “Kahuruan … kahuruan … kahuruannnn…!!” penduduk berteriak-teriak sekerasnya. Aku segera keluar rumah. Langit ternyata sudah membara. Kahuruan atau kebakaran terjadi nampak tidak terlalu jauh dari rumahku. Orang-orang berpekik Allohu Akbar …. Allohu Akbar bersahutan. Laki-laki dewasa bergegas membawa ember menuju lokasi terjadi nya kebakaran.

“Rumah Ceu Yoyom, yang terbakar,” ujar Bi Imah yang sempat melihat dari dekat dengan suara ngos -ngosan.

Bunyi api bergemuruh dan letupan bambu yang terdengar berderak-derak dengam asap membumbung menciptakan suasana kengerian yang mencekam.

Ceu Yoyom itu seorang bidan. Suaminya tentara yang berdinas di luar kota (aku lupa di kota mana). Ia tinggal bersama ibunya, Ibu Maryamah yang rumahnya di tepi Sumurbandung kecil itu.

Selang dua jam bapakku sudah kembali. Badannya kotor penuh warna hitam dari angusnya arang. “Kasihan Yoyom,” ujar bapak ketika menuju kami yang menunggu berdiri di muka rumah.

Bapak lalu bercerita, bahwa malam ini Ceu Yoyom sedang tugas piket di Rumah Sakit Pembantu Cililin, satu-satunya rumah sakit yang ada di desaku. Yang menunggu rumah dan dua anak balita adalah ibunya yaitu Bu Maryamah.

Seusai menidurkan si bocah dua balita, Bi Maryamah menutup kelambu. Lalu pergi ke rumah saudaranya yang tidak jauh letaknya. Hanya terhalang enam rumah saja. Ia mau minta tolong, dikerokin punggung. Ibu Maryamah merasa tidak enak badan. Masuk angin mungkin.

Belum saja selesai kerokan, orang-orang sudah berteriak ada kebakaran. Rumah Bu Maryamah terbakar. Rumah setengah batu setengah gedeg itu cepat sekali membara. Tetangga terdekat mencoba mendorong pintu rumah bagian depan tapi pintu tidak bisa dibuka. Dia pikir rumah itu dikunci. Rumah itu sesungguhnya tidak dikunci, hanya saja pintu itu bukan didorong tapi harusnya ditarik. Karena gugup dan panik apapun bisa terjadi. Yang jelas dua balita yang tidur di ranjang berkelambu tak terselamatkan.

Semuanya hanya bisa sesenggukan. Dini hari, jenazah balita itu sudah bisa ditemukan dalam posisi saling berpelukan dengan kondisi hangus terbakar. Keduanya segera saja dibalut dengan kain kafan.

Di dapur, di dalam ember kaleng yang besar, didapati pula bangkai dua ekor ikan kumpay yang juga nyaris menjadi arang.

Sejak kejadian itu orang-orang semakin percaya bahwa musibah dua balita itu berkaitan erat dengan masalah proses pemindahan sementara kedua ikan penghuni kolam Sumurbandung.

Sejak peristiwa itu, berhari-hari suasana sekitar kolam pemandian menjadi tidak nyaman. Ada semacam kesedihan bercampur kengerian menyelimuti dan mewarnai raut-raut muka penduduk yang biasa mandi dan mencuci di situ.

Aku sendiri, jika hari mulai gelap, memilih jalan putar tidak lewat sekitar kolam jika ada keperluan ke tempat temanku. Meski belakangan, Pak Tjip yang bekerja sebagai seorang polisi, mengatakan bahwa penyebab kebakaran adalah lampu tempel yang diletakkan di atas meja kecil, di dalam kamar, tersenggol kucing peliharaannya Bu Maryamah. Lalu api menyambar ujung kelambu dan membakar rumah sampai ludes. “Untung angin tidak sedang bertiup kencang,” sambung Pak Tjip kepada bapakku sehingga, katanya, api tidak merembet ke rumah tetangga yang berdekatan.


No comments: