Friday, August 13, 2010

Bu Rus versus Giovanni van Bronckhorst


Kalau anda penggila bola pasti kenal dengan nama yang satu ini. Bagi kita bangsa Indonesia yang rindu akan prestasi internasional, dia lumayan, menjadi substitusi kebanggaan. Setidak-tidaknya kita yang jumlahnya 240 juta jiwa penduduk, terwakili oleh dia. Meski enggak akrab dengan kita tapi ia itu kan keturunan Maluku.

Nama lengkapnya Ridder Giovanni Christiaan van Bronckhorst. Lahir di Rotterdam tanggal 5 Februari 1975 dari seorang ayah dan seorang ibu yang asli orang Maluku. Pengalaman bermain bola, antara lain, di Arsenal, kemudian di Barcelona dan sejak 2007 hingga kini di Feyenoord.

Nyong Ambon yang biasa dipanggil Gio ini memang 'enak' kalau bermain bola. Dia sulit dilewati lawan di posisi bek kiri. Tapi, pikirku, enak mana van Bronckhorst dengan brongkos langgananku dulu di Yogya?

Kalau melihat “Surat Keterangan” yang diterbitkan Pusat Pendidikan Perhubungan (Pusdikhub) TNI-AD aku lulus pada tanggal 15 Mei 1975. Dengan pangkat Calon Jenderal, eh, calon pegawai. Aku masuk kawah candradimuka ketentaraan tanggal 14 April 1975. Nama “University”ku adalah Kursus Bintal Pmtnt Angkatan Pertama. NRP-ku adalah TL-136. Nilai kecakapan yang kuraih sebesar 71,88. Menduduki ranking ke 51 dari 77 siswa. Artinya 67 persen siswa lebih pandai dari aku. “He..hee… di bawah rata-rata, ya.”

Menurut “Surat Keterangan” yang diterbitkan Diklat Biro Daerah Telekomunikasi II Semarang, setelah mengikuti Pendidikan Pmtnt selama 20 bulan, aku lulus tanggal 30 April 1975. Pendidikan dimulai 1 September 1973. Nilai yang kuraih cuma 67 saja dari skala 100. Peringkat enam dari 24 siswa.

Dengan ‘kebodohan’ tersebut maka itu ternyata menentukan lokasi kota kerja pertamaku. Nomor dua dan empat, kalau tidak salah, Taufik Maksum dan Bambang ‘Gamber’ Haryanto di DTel I Jakarta. Peringkat enam, delapan, sepuluh, duabelas, dan empatbelas di Jateng dan DIY. Kemudian di Daerah dibagi-bagi lagi. Aku dapat di Yogyakarta. Bambang Tirta dan Mudjiari di Semarang, Minto Sudarsono di Solo dan Sudaryono di Purwokerto. Yang lainnya di Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan dan terakhir di Ambon, Hesdi Suparjo (Alm). Yang lulus dengan nomor ganjil mendapat “kehormatan” untuk melanjutkan study ke Swedia, mempelajari Sentral Telepon Ericsson. Yang saya ingat mereka itu Sumarlan, Singgih Mardiyanto, Wiji Utomo, Saswandi, Agus Nursamsyah dan … siapa lagi ya?

Aku sudah lupa tanggal keberangkatanku ke Yogya. Yang ingat via Semarang. Baru setelah tahu bahwa aku termasuk yang ‘ditransfer’ lalu aku cabut dan melangkah ke Yogya. Sekitar bulan Juni 1975.

Yang kutuju di Kota Gudeg adalah sebuah Point in Charge berada di posisi 7o47’11” Lintang Selatan dan 110o22’29” Bujur Timur, tepatnya di Jl. Suroto No.2 (yang kelak berubah menjadi Jl. Laksda Yos Sudarso No. 9). Itulah Kantor Telepon Yogyakarta.

Aku menghadap Kepala Kantor berlogat Jawa-Betawi di Ruang kerjanya di lantai II. Beliau adalah R. Bais Gondosoewarno. Orangnya tinggi, berwibawa tapi cukup ramah. Sesuai dengan bunyi NDDP (Nota Dinas Dengan Pos) yang kubawa aku disuruh menghadap Kepala Dinas Luar (KDL). Kantor pasukan jaringan kabel ada di bagian lain sisi selatan komplek itu, menghadap ke arah Stadion Kridosono. Komandannya adalah J. Sutrisno. Orangnya hitam manis, tubuh tegap, mudah seyum, pemurah dan penyayang kepada anak buah. Di situlah aku akan menghabiskan hari-hariku sampai aku diperintahkan mutasi lagi yang entah kapan itu terjadi.

Posisiku, masih on the job training, sebagai petugas jaringan luar mengelola jaringan yang ada di Yogya Sektor Utara. Aku menggantikan Mas Budi Rahardjo, kakak kelasku angkatan 1972-1974, yang dipanggil mengikuti kursus Sentral Telepon PRx buatan Belanda di Bandung.

Yogya Utara? Ya. Daerah kerja petugas jaringan luar itu dibagi dua sektor. Satunya, sudah pasti, Yogya Selatan. Batasnya adalah Rel Kerata Api utama yang membentang mulai dari Maguwo sampai daerah Tegalrejo. Lumayan luas juga.

Kepala Seksi Yogya Selatan adalah Pak Tokit. Orangnya agamis, kalem, ramah dan pemurah. Kalau ada uang logam kembalian, bila sudah segenggam banyaknya, baru dikasihkan salah satu anak buahnya.”Nih dek lumayan buat beli pareman,” ujarnya. (Penulis: Parem=obat gosok ramuan tradisional untuk menghilangkan pegel linu).

Pak Tokit itu orangnya cerdas. Otaknya moncer. Dia masuk ke Telkom dengan ijazah SMP. Ikut Pendidikan Perakit sekaligus pembimbing selama empat tahun. Lulus menjadi sama dengan tamatan sekolah Pmtnt, sebagai Pengatur Muda. Di tahun 1977 beliau melanjutkan pendidikan setara D3. Kemudian tahun 1985 melanjutkan S1 program kerjasama antara Telkom dengan Universitas Indonesia.

Dalam usia 23 tahun, waktu itu, tentu saja aku kerja keras dan giat (walau belum smart!). Masuk kerja mulai pukul 07.00 WIB. Pagi mendistribusikan pekerjaan. Prioritas satu memperbaiki telepon pelanggan yang rusak. Nama nota tugas perbaikan itu MU.4 yang diterbitkan oleh petugas Meja Ukur (MU). Bukan Majelis Ulama, lho! Lainnya adalah pemeliharaan jaringan telepon baik yang ada di atas tanah maupun di bawah tanah. Kalau sudah pukul sembilan aku mulai keliling ke lokasi-lokasi teman-teman bertugas. Kontrol, ceritanya. Atau sesekali mewakili bos rapat di Dinas PU atau instansi Perhubungan lain (waktu itu Telkom di bawah naungan Departemen Perhubungan).

Sebelum berangkat ke luar tentu saja harus mengisi perut dulu. Namanya juga tugas sebagai Mandor Kawat. Kerjanya kendor, makannya harus kuat! He …hee…

Restoran mana yang harus aku tuju, atau CafĂ© mana yang aku harus singgahi? Ha .. haa, gajiku saat itu 18 ribu perak! Bayar Kos 9 ribu, beli sabun, sampho, odol, deodorant, minyak rambut dll, tentu saja tak mungkinlah ke resto. Larinya ke belakang garasi tempat pool kendaraan. Di pojok timur situ, tersembunyi, ada ‘gubuk’ kantin yang, menurut lidahku, berbintang lima cita rasanya. Tidak kalah dengan masakan dari Hotel Ambarrukmo.

Tahun segitu aku, di kantin ini, telah belajar menggunakan ‘Kartu Kredit’. Seusai makan kartu dikeluarkan. Di situ ditulis, tanggal sekian, sekian rupiah. Bayarnya nati kalau uang makan keluar baru dilunasi. Uang makan, lazim disebut Tt.63 (sebuah model pertanggungan keuangan), keluar tanggal 20 setiap bulan. Hanya petugas yang kerja ke luar kantor saja yang memperoleh ‘previledge’ demikian itu.

Siapa Chef yang membuat masakan yang enak itu? Beliau adalah yang biasa dipanggil dengan sebutan Bu Rus! Bagi karyawan, sepertinya lebih terkenal beliau daripada nama seorang kepala Seksi yang ada di Dinas Tata Usaha, misalnya.

Bu Rus, perempuan yang sudah mulai senior, yang salah satu putranya bernama Pak Sugino (driver) menjadi karyawan Telkom di situ juga, adalah sosok ’manager’ yang serba bisa dan merangkap-rangkap. Belanja bisa, memasak juga, meladeni pembeli, kasir, sampai mencuci piring kotor pun beliau mampu lakukan.

Beliau adalah pemberi tenaga, sumber nutrisi dan asupan gizi pasukan Dinas Luar utamanya, sebelum pergi perang ke medan juang. Kalau kami batere, beliau adalah charger pemberi energi dan jiwa. Beliau layak sebetulnya mendapat satya lencana kesetiaan mengasuh putra-putra terbaik karyawan telkom Yogya dengan anugrah semacam medali Selendang Sutra.

Beliau sudah tahu kegemaranku kalau sarapan pagi setengah siang. Sepiring nasi diseduh dengan sayur yang sangat mashur di seluruh lembur, kondang di setiap desa, populer dari kidul hingga kaler, terkenal dari orang gemuk maupun yang sintal. Itulah dia, sayur van Bronckhorst yang sohor!

Di lidah Jawa disebut sayur brongkos. Warna sayurnya berwarna coklat kehitam-hitaman, seperti kuah rawon, karena diberi rempah-rempah bernama kluwek. Sayurannya adalah kulit mlinjo alias kulit emping alias tangkil yang sudah digodok sampai lunak. Lho, mlinjo-nya kemana? Ya, dijadikan emping crispy. Itu kan sisanya yang dimanfaatkan dan dibudidayakan menjadi sesuatu yang memiliki arti, bahan energi sumber daya nabati.

Pasangan lauknya adalah koyor, berupa otot atau gajih yang warnanya bening seperti kikil (bukan gajih yang putih!) tercampur di dalam brongkos. Tambahannya, kerupuk plus teh nasgitel, panas legi kentel.

Saat itu aturan kerja berbeda dengan sekarang. Seminggu enam hari kerja. Masuk pukul 07.00 pulang 14.00. Sore istirahat. Dengan pengaturan waktu seperti itu aku bisa melakukan kegiatan ekstrakulikuler. Kesenian dan olahraga.

Kalau kesenian aku ikut main kolintang, bersama ibu-ibu Dharma Wanita dan Karyawati. Di Olah raga aku ikut aerobik, tenis dan sepak bola. Pelatih sepakbolaku keren abis! Beliau adalah pensiunan pegawai Kantor Telegrap Yogya (yang mendapat dispensasi dari Menteri Olah Raga, jarang masuk kerja!) yang juga sebagai pelatih PSSI. Antara lain pernah menjadi Asisten Pelatih Tim Garuda untuk Pra Piala Dunia bersama sang pelatih yang kondang Will Coerver. Nama beliau adalah Djawad, mantan pemain PSSI era 50-60an.

Dengan kekuatan dari sayur brongkos buatan Bu Rus itulah aku mendapat kepercayaan dari Pak Djawad mengisi posisi bek kiri, tempat yang sama seperti juga van Bronckhorst tempati di kesebelasan nasional Belanda yang masyhur itu.

Oh sayur brongkos kegemaranku sayang, ….. oh van Bronckhorst pemain bola idolaku sayang …….

Courtesy of Wikipedia

---

No comments: