Wednesday, August 11, 2010

IKAN LELE TERNIKMAT DI DUNIA

Banyak ahli kuliner memperbincangkan makanan ternikmat atau terenak. Mulai dari makanan primitif, semi primitif, tradisional, moderat, sampai yang super modern. Skala yang didebatkan bisa lokal, regional, nasional sampai kaliber internasional.

Ada yang bilang ayam goreng dari Filipina itu jauh lebih enak dari ayam goreng Kalasan, DIY, Indonesia.

Bakso si A lebih yahud dari pada buatan si B, pepes ikan tombro Bu Ani lebih oke katimbang sajian Bu Anu dan seterusnya.

Itu sah-sah saja karena selera setiap individu bisa berbeda. Lain lidah lain pula rasa.

Tapi, menurut pendapatku, lele goreng yang paling enak dan nikmat yang pernah kurasakan hanya satu kali saja. Setidak-tidaknya sampai saat tulisan ini dibuat.

Itu, tak lain, lele goreng Simpang Lima Semarang. Kenapa bisa? Oh, tentu ada rahasianya.

Suatu ketika, di sore hari, hujan turun lebat membasahi Kota Semarang. Kami semua sedang berada di kelas mengikuti pelajaran yang, setiap hari kerja, diselenggarakan dari pukul 14.00 sampai pukul 19.00.

Di tahun 1973 Semarang memang akrab dengan banjir. Air pasang hingga teras kelas. Lima sentimeter lagi air akan masuk ruangan. Saat istirahat tiba air belum surut. Banjir datang dari sebelah gedung sekolah kami, STM Pembangunan. Berasal dari sebuah rawa yang sekaligus merupakan tanah kosong. Di rawa tersebut, di samping uthek-uthek anak nyamuk juga banyak ikan Lele, Gabus maupun Sepat.

Pada saat air melimpah penghuni rawa refreshing pada jalan kemana-mana. Termasuk ke halaman sekolahku. Setelah melihat ada seekor lele dengan ukuran lumayan berada di parit kecil seputar bangunan sekolah, muncul ide untuk segera menyumbat ‘pintu masuk air’. Aku gunakan keset yang terbuat dari sabut kelapa sebagai penyumbat. Harapannya, bila air surut ikan tidak akan dapat kembali ke rawa. Dia akan tertinggal di parit kecil sekolah yang diplester semen dengan rapih.

Harapan menjadi kenyataan. Skenario berjalan mulus. Keset bertuliskan “Welcome” itu berfungsi dengan sempurna. Saat hujan reda, banjirpun surut. Tanpa terasa pelajaranpun usai.

Sebelum pulang aku dan temanku terlebih dahulu memanen ikan lele yang tergelepar terjebak di parit sekolahan. Sepatu dijinjing, tas diamankan dengan dibungkus plastik. Lele ditenteng sebanyak empat ekor. Lumayan. Ukurannya rata-rata sebesar tanganku yang saat itu masih kurus.

Jarak yang kutempuh dari Simpang lima, lewat lapangan Mugas, ke Bulu Stalan di Jalan Suyudono Semarang sekitar empat kilometeran. Waktu agak seret, maklum kaki telanjang dan harus mengarungi segmen sisa-sisa banjir setinggi betis. Sampai di rumah kos, lele aku serah-terimakan kepada ibu kos untuk digoreng dan menjadi tambahan asupan gizi makan malam.

Capek, kedinginan dan ‘bokek’ adalah nuansa pendukung. Lapar sebagai penggerak utama, disempurnakan dengan keterbatasan resources melahirkan cita-rasa ikan lele goreng yang kusantap malam itu menjadi begitu menggoda dan surprise! Begitu hebat, begitu nikmat. Ikan lele empat ekor terpotong tiga bagian dibagi-bagi kepada seluruh penghuni kos! Semua berkomentar sama. ”Asyiiikkk….,” ujar mereka serempak.

Sudah puluhan lele, bahkan mungkin ratusan ekor, selama tigapuluh tahun terakhir sejak ‘tragedi’ lele goreng Simpang Lima yang nostalgia itu, aku santap. Tiada satupun yang mengalahkan nikmatnya. Tiada secuilpun yang mampu menyainginya. Maha Besar Allah. Alhamdulillah !

---


No comments: