Tuesday, August 10, 2010

KALILANGSE, SEMARANG, 1973

Saya alumnus pendidikan setara D2 di Telkom Indonesia. Namanya Pendidikan Pengatur Muda Teknik Telekomunikasi (PMTNT). Masuk bulan September 1973 di Kota Semarang. Padahal, waktu melamar, domisili maupun test seleksi di Kota Bandung.

Peristiwa ‘besar’ ini menjadi langkah pertamaku dalam mengarungi hidup mandiri. Sekaligus sebagai pengalaman pertama merasakan bagaimana suka-dukanya ‘merantau’. Bagi saya, saat itu, letak Kota Semarang itu sangat jauh dari kampungku Cimahi, Jawabarat.

Apa bekal yang kubawa?

Selain pakaian aku membawa segenggam uang. Itu uang bertuah. Sebagaian besar adalah uang pemberian dari orang-orang ‘susah’ yang tokh masih sempat membaginya buat bekal hidupku.

Mang Emus, contohnya. Ia hanya seorang tukang kayu yang biasa disuruh oleh bapakku. Ketika tahu aku akan berangkat ke Jawatengah, secara spontan dan dengan penuh keikhlasan, ia merogoh koceknya dan memberikan hampir seluruh isi dompet-lusuhnya. Jumlahnya 350 rupiah. (Penulis: Sebagai bandingannya ongkos angkot saat itu 15 rupiah!). Jumlah itu menjadi genap 600 rupiah berkat tambahan sumbangan dari Mang Amer pekerja bengkel di bengkel bapakku.

Ada juga Pak Kamnu. Ia memberi 500 rupiah. Tapi status sosial Kamnu memang lebih baik katimbang Mang Emus maupun Mang Amer.

Bekal lainnya yang kubawa adalah sebuah foto hitam putih ukuran postcard. Di situ terpampang aksi seorang karyawan Bank Dagang Negara (BDN) berikut sedan kerennya. Ia pejabat tinggi? Bukan. Ia hanya seorang driver di BDN Cabang Semarang. Biasa dipanggil Mas Di. Foto ini pemberian saudaraku yang juga driver BDN di Cabang Bandung. Pesannya, “dari pada bingung, enggak ada yang dituju, coba-coba tanya sama Mas Di untuk cari tempat kost.”

Benar juga. Berkat Mas Di inilah aku langsung masuk ‘penampungan’ sehingga tidak perlu menginap di Hotel yang dapat memboroskan cadangan devisa.

Tempat kostku adalah rumah mertuanya Mas Di sendiri. Lokasinya dekat komplek elite Candi Baru Semarang. Kalau naik bemo dari Terminal Johar, tinggal bilang turun di Candi Baru. Wuah bergengsi buanget. Padahal setelah itu turun menyeberang kali yang berjembatan bambu. Mobil nggak bisa masuk! Kalau hari hujan tanahnya merah lengket ke sepatu. Nama kampung itu tepatnya adalah Kalilangse.

Rumahnya berdinding ‘gedheg’ alias anyaman bambu. Orang Sunda bilang, bilik namanya. Lantainya adalah tanah asli yang dipadatkan. Tidak ada listrik. Kamar mandi di luar. Tidak ada bak mandi untuk menampung air. Sebagai substitusi yang ada hanyalah sebatang bambu besar yang ruas-ruasnya sudah dibolongi. Terpasang menurun dari arah sumur ke arah ‘kotak gedheg’ bernama kamar mandi tanpa atap. Panjangnya kira-kira 25 meter, dengan pucuk berada di dekat sumur.

Ujung yang satu, pangkalnya, berada di dalam bilik mandi. Dibolongi sebesar telunjuk ditutup dengan penyumbat dari ranting kayu jambu. Kalau dicabut sumbatnya maka ‘mancur’lah airnya. Itulah pancuran sebagai ‘shower’nya orang desa.

Sumurnya juga unik timbanya menggunakan galah yang turun naik. Tidak menggunakan kerekan atau katrol. Air satu ember terangkat agak ringan karena di ujung galah yang satu dioberi beban berupa batu yang diikat. Airnya bening dan dingin nyessss…..

Kalau mandi harus irit. Jangan sampai isi bambu itu habis sebelum selesai. Karena akan sulit menimba air lagi kalau badan sudah terlanjur berlumuran busa sabun mandi. Soalnya itu semua akan transparan di lihat publik. Namanya juga kamar mandi umum!

---


No comments: