Sunday, September 21, 2008

Aku, diriku, kisah 11, Teve pertama di desaku


Banyak orang bercerita bahwa Vladimir Kosma Zworykin, orang Amerika asal Uni Sovyet, telah berhasil menciptakan pesawat televisi cathode ray tube tahun 1923 yang dilakukannya di Westinghouse Laboratories, Pittsburgh. Lalu penyempurnaannya dilakukan John Logie Baird di USA, tahun 1925, yang untuk pertama kalinya berhasil memancarkan siaran langsung percobaan dalam durasi pendek.

Lima tahun kemudian, tahun 1930, di Negeri Paman Sam ini sudah ada siaran langsung, tanpa rekaman atau siaran tunda. Baru pada tahun 1938 pertelevisian dilengkapi perangkat rekaman yang mampu merealisasikan siaran tunda. Setahun kemudian lahir banyak siaran televisi nonstop yang tumbuh menjamur di USA.

Tapi di desaku, sumpah mati, televisi pertama lahir di rumahnya Haji Maksum, pemilik penggilingan padi berkapasitas raksasa. Haji yang terkenal dermawan ini membeli pesawat televisi hitam putih merek Philips berteknologi tabung elektron.

Televisi disiapkannya dalam rangka menyambut pembukaan pesta olahraga Asian Games ke empat yang akan dibuka oleh Bung Karno, idola orang-orang tua di desaku saat itu. Katanya acara akan dilaksanakan tanggal 24 Agustus 1962. Saat itu aku duduk di kelas enam SR.

Haji Maksum sahabat erat bapakku. Aku sering bermain-main di pabriknya sehingga aku tahu percakapan mereka tentang akan adanya televisi. Di rumah Haji Maksum ini aku sudah dianggap keluarga sehingga bebas keluar masuk rumah dan pabriknya. Istrinya, Hj. Komariah, sering menyuruh aku membantu jaga tokonya. Aku paling senang kalau disuruh menimbang gula pasir atau kacang tanah yang sudah dikupas. Nanti kalau sore hari, setelah toko tutup, aku dibekali sebungkus kacang shianghai yang gurih dan enak di mulut sebagai upah membantu melayani pembeli.

Setelah televisi yang didatangkan dari Bandung sampai maka ramailah rumah Haji Maksum. Orang-orang tua, ‘geng’-nya Haji Maksum, mengerubungi benda hitam yang dipercaya bisa memperpanjang mata itu. Petugas yang membawa televisi itu memasang antena yang dipasang di loteng menggunakan pipa yang menjulang. Antena itu tinggi sekali menurut ukuran saya. “Sepertinya lebih tinggi dari pohon kelapa tertinggi yang ada di kebun belakang pabrik,” pikirku.

Televisi sudah bisa di tes dua atau tiga hari menjelang acara pembukaan. Aku tidak bisa melihat karena pesawatnya masih ditaruh di kamar pak Haji.

Pada hari pembukaan itulah televisi diletakkan di atas meja di lapangan tempat menjemur padi. Jemuran ini berlantaikan semen plesteran, cukup luas sehingga mampu menampung orang banyak yang akan ikut serta menonton Asean Games.

Malam yang dinanti tiba. Televisi disetel. Anak-anak duduk paling depan teratur berjejer membawa sarung untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Orang-orang dewasa duduk di kursi, di bagian belakang. Gambarnya hitam putih dan tidak terlalu jelas maklum jauh dari antena pemancar. Lebih sering keluar bintik-bintik hujannya. Bahkan wajah Bung Karno yang di-close up, sering meleyat-meleyot bagai pohon cemara tertiup angin. Tapi itu tidak menjadi masalah buat kami. Layar kaca ajaib ini layak dibicarakan berhari-hari.

Seusai nonton, sebelum berkomentar tentang materi siaran, anak-anak bercerita bahwa semua badannya terasa gatal-gatal. Pengakuan itu bak gayung bersambut. Semua anak-anak merasakan hal yang sama. Gatal. Betapa tidak, kita memang nonton di lantai tempat menjemur padi. Bulu-bulu butiran padi yang halus itu menjadi biang kerok gatalnya badan. Gatal ini sama persis dengan gatal yang kurasakan manakala ada kentongan dan aku mengungsi malam hari ke dalam rumpun padi di sawah. Aha... penontonnya emang gatel ..... Gratis kok pengen nyaman!

Selang beberapa hari kemudian televisi ke dua hadir di desaku. Kali ini hartawan bernama Haji Asmuni, pemilik bis Sukalaksana, juga membelinya. Dari rumah haji Asmuni ini tidak banyak reportase yang bisa disampaikan. Tidak ada cerita, karena televisinya disiarkan dalam limited edition alias edisi terbatas. Peruntukannya sangat jelas, bahwa property ini didedikasikan khusus keluarga saja. Yang bukan keluarga dilarang ngintip! Makanya sampai sekarang pun aku belum pernah nonton di rumahnya karena, ya ... karena aku bukan mantunya! (Padahal aku naksir putrinya yang bernama Neng Sholihat).

Penduduk hanya bisa melihat bahwa di rumah itu pasti, sepasti-pastinya, ada televisi karena, secara de facto, ada antena teve nampak menjulang sama tingginya dengan antena yang ada di rumah Haji Maksum.

Dengan hadirnya tabung kaca ajaib di rumah Haji Maksum, aku bisa melihat dan mendengar Titiek Puspa yang cantik dan merdu suaranya melantunkan lagu kesayanganku, ‘Minah Gadis Dusun’. Sampai kini aku hapal syair lagu itu. Penyanyi lainnya yang kugemari adalah Lilis Suryani dengan lagunya ‘Tjai Kopi’ dan ‘Gang Kelintji’. Band yang paling disukai anak-anak adalah ‘Band Botjah’ yang lupa siapa-siapa saja awak band-nya.

Ketika Achmad Albar terkena kasus narkoba, anganku di bawa ke rumah Haji Maksum pula. Rocker gaek itu pernah menjadi seorang jenderal. Aku sangat menggemari filmnya yang berjudul ‘Djenderal Kantjil’ yang ditayangkan TVRI. Achmad Albarnya belum kribo. Di hatiku aku ingin seperti jenderal kancil. Kalau perang menang terus.

Menantikan televisi di rumah kakekku atau bapakku, rasanya lama sekali. Bahkan almarhum kakekku, sampai akhir hayatnya tak pernah memiliki benda bernama televisi itu.


No comments: