Sunday, September 21, 2008

Aku, diriku, kisah 12, Mencari Belut


Pagi sangat indah. Mentari di ufuk timur memancarkan sinar keemasannya, bak muncul dari peraduannya di ujung danau Poso yang terhampar seperti lautan. Embun pagi masih enggan tersibak dari permukaan danau yang terkenal sangat dalam. Penduduk masih satu dua orang saja yang lewat di atas jembatan sungai Poso. Air sungai bersih dan jernih tanpa polusi. Ia berhulu di danau Poso. Bunyi alirannya gemericik terdengar di telingaku yang saat itu tengah berpegangan pagar pengaman di sisi timur jembatan kayu.

Di tepi sungai berderet karamba-karamba terbuka, terbuat dari bambu yang dibelah-belah kecil. Ujung-ujung bambunya yang tengadah ke langit tidak sama panjangnya, memberi aksentuasi pemandangan yang asimetris. “Sungguh elok pemandangan sungai dan danau Poso ini,” gumamku memuja kebesaran Tuhan.

Rekaman peristiwa itu terlintas di pikiranku. Pada waktu itu aku masih bertugas sebagai Sekretaris Kepala Wilayah Telkom Sulawesi. Potret danau Poso dan Hotel Tentena saat itu belum berhiaskan tragedi kerusuhan Poso yang berkepanjangan dan menyakitkan. Terkenal kisah pilunya sampai ke manca negara.

Di balik karamba-karamba bambu, dalam kerangkeng, terdapat berbagai ukuran makhluk danau Poso yang sudah berhasil ditangkap. Makhluk ini, tentu saja berbeda dengan makhluk misterius yang ada di danau Lochness yang masyhur itu, bernama “sogili”. Ia mirip naga licin tapi hidup di air dan tak berkaki.

Ia adalah sejenis belut berukuran anakonda. Untuk mengetahui besarnya sogili, gampang saja kita lihat dari dekat di kolam kecil milik hotel Tentena. Lingkaran perutnya, sebesar paha Maradona maha bintang sepakbola dari Argentina yang gempal itu. Panjangnya bisa mencapai dua atau tiga meter.

Sogili hidup di air tawar. Menurut sahabatku, Munawar yang ustadz itu, sogili halal di makan karena bukan amphibi. Ia bernapas dengan insang. Rasanya gurih. Turis dari negara Matahari Terbit sangat menggemari daging Sogili.

Sogili sulit dikembangkan di daerah lain. Pernah seorang teman mencoba membawanya ke Makassar dalam kantung plastik besar dan di beri air danau serta oksigen. Tokh di perjalanan, raksasa yang langka ini, menghembuskan nafasnya sebelum sampai di tujuan.

Aku tidak bermaksud menjadi penangkap belut jenis sogili ini. Kisahku hanya menggumamkan kembali masa kecilku. Pengisi waktu luang seusai pulang sekolah. Tentu saja waktunya tengah hari yang lagi terik menyengat. Aku mencoba berprofesi menjadi pemancing belut amatiran. Itu bisa terwujud manakala sawah-sawah masih bergelimang air. Padi belum tumbuh tinggi.

Memancing belut dalam ukuran tidak sampai sepermilnya sogili alias rata-rata ukuran belut sawah itu sebesar jari tangan. Paling besar sebesar jempol, paling kecil sebesar kelingking. Pendek kata disimpulkan average ukurannya sebesar jari tengah.

Umpan yang digunakan ada dua macam. Kalau di sawah lagi banyak anak katak hijau, disebut ‘bancet’, maka aku tidak usah membawa umpan dari rumah. Sebelum mancing belut, di sawah, menangkap bancet dulu. Tapi kalau bancet sudah tumbuh besar, maka aku memilih mencari cacing saja di kebun atau di dekat tempat pembuangan sampah.

Kail yang digunakan untuk menangkap belut berbeda dengan kail untuk menangkap ikan. Kail belut disebut ‘urek’. Tali urek terbuat dari serat kulit pohon aren yang disebut ‘papagan kawung’. Kawung itu artinya pohon aren. Serat aren ini, wujudnya seperti benang tapi agak kaku, panjangnya sekitar dua atau tigapuluh sentimeter perhelainya. Kemudian beberapa helai serat digabung dan dipilin, sebutannya ‘dirara’, seperti teknik membuat tambang atau tali rami. Ukurannya kecil saja agar lentur dan mudah didorong masuk ke lubang tempat belut berada.

Di ujung tali, sebelum proses ‘merara’ dilakukan, harus sudah tersedia mata kailnya. Aku biasa membuat mata kail urek dari kawat baja yang ada di lingkaran ban luar mobil bekas. Yang bekas itu bannya bukan mobilnya. Teman-teman menyebutnya hil. Nulisnya hil apa hill aku nggak tahu persis. Mengambil kawat dari dalam pinggiran ban tidak boleh asal gampangan saja, misalnya dibakar. Kawat bajanya akan menjadi lembek sehingga tidak akan kuat menahan beban ketika terjadi kasus tarik menarik dengan sang belut.

Harus diambil secara manual saja menggunakan pisau yang tajam lewat operasi caesar, dengan cara ditoreh, dicongkel dengan obeng, dan dipotong dengan tang potong.

Kawat yang terpilih lalu diasah ujungnya agar menjadi runcing seperti tajamnya jarum jahit atau peniti. Kemudian, setelah runcing, ditekuk dengan dibantu paku yang ditancapkan di balok kayu atau menggunakan pelat tang yang mirip mulut crocodille. Kalau bentuk dan ukurannya sudah pas seperti kail ikan yang dijual di toko maka kawat sisanya dipotong. Ujung kawat yang lurus dan tidak runcing lalu dipukul agar pipih sehingga waktu 'merara' serat 'papagan kawung' talinya tidak melorot dan lepas dari kail.

Panjang tali urek dibuat cukup 75 sampai 100 sentimeter saja panjangnya. Tokh tali yang masuk ke lubang belut, paling dalam, cuma 25 senti saja. Kalau sudah selesai mancing, urek hendaknya disimpan dengan cara dibentangkan lurus agar urek tetap bagus tidak tertekuk-tekuk. Biasanya urek dikaitkan di ‘gedeg’ dinding rumah. Ujung ekornya dijepitkan dengan lidi yang diselipkan dicelah-celah anyaman gedek dinding rumah.

Memancing belut itu cukup dengan cara memasukkan urek ke dalam lubang yang ditengarai ada belutnya. Lalu sambil digerak-gerakkan pelan mulut kita mengeluarkan bunyi meniru bunyi cecak. :”Cek…cekk …. Cekk……”. Entah siapa yang memulai bahwa belut senang bunyi mirip cicak itu. Penelitian dan riset siapa yang dijadikan referensi. Nyatanya setiap anak sebayaku senatiasa melakukan 'protap' (prosedur tetap) yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas penangkapan belut.

Ketegangan terjadi manakala tali urek bergerak perlahan-lahan ditarik belut yang memakan umpan. Kalau sudah masuk sepuluh senti maka tali kita tarik dengan harapan mudah-mudahan kail tersangkut di bibir tipisnya belut. (Belut itu tidak dower lho!). Jika berhasil nyangkut maka akan terjadi tarik menarik adu tenaga antara belut dengan si pemancing. Sedikit demi sedikit tali urek bisa ditarik. Pantangannya jangan dihentak. Pada saat kepala belut mulai nongol dari lubangnya maka kita akan bisa melihat ukuran besarnya belut. S, M, L, XL, atau XXL. Begitu setengah badan belut keluar, jari tangan kanan segera menjepit belut yang licin dengan kuncian ala yudo. Perut belut menempel di punggung telunjuk dan jari manis, sebaliknya punggung belut ditekan oleh perut jari tengah. Belut yang tertekuk itu segera dipukulkan ke pematang sawah agar KO. Kalau belum sampai hitungan sepuluh belut masih menggeliat boleh kita banting sekali lagi biar betul-betul KO. Belut yang berhasil ditangkap ‘diti’ir’ dengan menggunakan rumput alang-alang liat dan panjang. Diti’ir itu adalah lubang insang belut ditusuk dengan rumput hingga tembus ke mulutnya. Kalau hasil memancing ada lima atau tujuh ekor belut maka tentengan si pemancing akan nampak keren. Yang terbanyak hasilnya akan berwibawa saat berjumpa dengan sesama pemancing belut. Oleh sebab itu belut tidak umum disimpan di dalam kantung.

Pulang memancing, jika dapat, belut harus diurus sendiri. Belut ditoreh perutnya menggunakan sembilu alias kulit bambu yang tajam bagai pisau. Isi perut belut dibuang. Belut dicuci menggunakan pucuk daun jambu agar lendir dan bau amisnya hilang. Kalau sudah bersih punggung belut dipukul-pukul menggunakan ulekan kayu agar dia menjadi pipih dan tulang punggungnya agak remuk sehingga kalau diberi bumbu bisa meresap. Di samping itu mudah untuk digorengnya.

Nasi merah yang hangat, sambel terasi yang pedas ditemani terong kupa yang berwarna ungu dan kacang panjang, maka hidangan belut akan terasa menjadi lauk yang paling lezat. Jangan lupa, makanlah belut goreng di kala perut sudah lapar. Dijamin makan menjadi nikmat.

Saat itu lauk sangat langka. Keberadaan daging belut di piring merupakan peristiwa yang jarang diperoleh. Tentu saja nuansa ini akan menjadi memori yang indah. Nostalgia terhadap rasa daging belut, kelak setelah dewasa, akan menjadi suatu kerinduan yang menyiksa. Mendapatkan daging belut di kota tidak lagi mudah.

Ada hikmah yang dapat diambil dari proses memancing belut. Keuletan belut harus ditiru. Dalam dunia bisnis yang kejam, kalau hendak disergap pesaing, berkelitlah dan harus licin bagikan seekor belut!


1 comment:

bayu said...

halo mas salam kenal,blogwalk nih.

waah....cerita ttg sogilinya menarik tuuh.
posting lagi doong..."skrinsyut"nya mana...gambar.....:)

di kulonprogo juga ada sidat tapi ndak sebesar di tentena...tapi masyarakat mengambilnya sewaktu masih jadi larva..disebut impun...yang berjuta2 menetas dari sungai menuju muara.