Thursday, September 18, 2008

Aku, diriku, kisah enam, Kukira Ibuku

Mengingat-ingat masa kecil itu mudah-mudah susah. Susah-susah mudah. Sejak kapan aku ingat tentang diriku sendiri? Aku nggak bisa memastikannya. Yang jelas ada sebagian yang remang-remang. Waktu itu aku tinggal di kampung Pasir Meong. Pasir itu artinya bukit, meong maknanya harimau. Pasir Meong artinya bukit harimau.

Kalau dikejar mengapa diberi nama Pasir Meong, jawabannya tak beda dengan Lilis Suryani waktu ditanya tempat tinggalnya mengapa dinamakan Gang Kelinci. Mungkin dulunya kerajaan kelinci. Pasir Meong analog, mungkin di bukit itu dulunya ada kerajaan harimau.

Yang pasti selama aku tinggal di situ tak pernah barang sekalipun berjumpa dengan harimau. Dalam bentuk kecil memang ada yaitu meong congkok, sejenis kucing hutan berwarna hitam yang suka menerkam ayam peliharaan. Itupun jumlahnya tidak banyak.

Mengenali lingkungan dalam rumah, menurut pikiranku saat itu, ada ibu dan bapak, ada kakak dua orang laki dan perempuan. Aku merupakan makhluk paling kecil dan paling muda karena yang kusebut kakakku itu sudah sekolah di SGB, Sekolah Guru Bawah, setingkat SLTP.

Aku memanggil ibuku ini dengan panggilan Ma Cicih. Bapak kupanggil Bapak Iya. Kakakku yang laki-laki kupanggil Kang Nunu dan yang wanita kusebut Ceu Nonah. Mengingat beda usia yang jauh maka aku sudah pasti menjadi orang yang paling dimanjakan.

Kedua orang tuaku adalah petani desa dengan lahan yang tidak terlalu luas. Di sela-sela waktu bertani Bapak Iya juga ‘nambangan’. Artinya menjalankan dokar mengangkut penumpang. Dokar dan kuda ini milik bapakku sendiri.

Ceu Nonah saat itu menjadi kembang desa yang banyak ditaksir pemuda-pemuda kampung. Tapi ketatnya pengawasan bapak membuat kakak tidak bebas memilih pemuda idamannya.

Bapakku ternyata juga seorang Tua Kampung alias kepala kampung karena pandai bela diri silat. Dadanya yang berbulu dengan badan tegap menyempurnakan potongan bapak memang seorang jawara. Dia pandai memimpin do’a di mesjid atau di tempat orang kenduren. Bapak juga pandai memberi jampi-jampi di air putih untuk mengobati tetangga yang jatuh sakit. Di sore hari sekali-kali bapak juga bermain bola sepak di alun-alun.

Saat itu pemain bola harus sedikit pandai bela diri karena lebih banyak curangnya dari pada menggocek bolanya. Tidak jarang pemain tergeletak dengan tulang kering atau lutut patah akibat dikerjain lawannya. Bapakku memang pemberani. Yang dia segani adalah kakak seperguruannya yaitu Ki Lurah bernama Sahlun yang jauh lebih tinggi ilmu silatnya.

Bapak kalau memanggil Ema lucu juga. Ia menyebutnya ‘indung Nyi Nonah’ artinya ibunya Nona Nonah. Sebaliknya Ema juga memanggil bapak dengan panggilan ‘bapanya Jang Nunu’ alias bapak Nak Nunu.

Semua penghuni rumah memanggilku ujang, atau adakalanya si ujang, atau kalau lebih lengkap lagi, Jang Hamjah.

Rumah kami dari anyaman bambu, rumah gedeg menurut orang Jawa. Rumahnya panggung dengan tinggi kolongnya sekitar 75 cm. Lantai rumah dari bambu tua yang diratakan sehingga bisa dijadikan lantai. Di Sunda disebut ‘palupuh’. Warnanya, saking sering dilap, mengkilap seperti dipernis saja. Keistimewaannya kita bisa mengintip dari celah-celah bampu yang dipecah-pecah ini melihat apa-apa yang ada di kolong rumah. Kalau ada uang logam yang jatuh tentu saja senangnya bukan main.

Listrik saat itu belum masuk desaku. Hanya sampai kota sekitar alun-alun saja yang ada listrik Maklum di situ ada perkantoran pemerintah. Sebagai penerangan kami menggunakan lampu gantung untuk di ruang keluarga. Lampu teplok buat di dapur dan lentera kecil buat penerangan di halaman rumah. Lampu teplok dan lampu gantung bahan bakarnya dari minyak tanah. Semprong lampu dari kaca kualitas baik yangs senantiasa dibersihkan secara hati-hati di setiap sore hari oleh bapak atau oleh kakakku. Lampu lentera nyalanya redup, BBMnya justru dari minyak kelapa sehingga awet tak mudah habis.

Kecuali lentera, lampu-lampu itu dimatikan manakala semua penghuni sudah mulai tidur. Bapak meniup lampu-lampu itu. Sejak itu semuanya menjadi gelap gulita. Hanya sesekali ada cahaya terang kalau ada kilat di langit atau bulan sedang purnama. Di malam pekat itu hanya ada suara binatang malam saja bersautan, seperti jangkrik dan serangga lainnya menyelimuti desa yang dingin menusuk tulang.

Manakala terdengar suara kentongan dipukul dalam irama cepat, dititir kata bapakku, kita semua harus gesit terbangun. Tanpa banyak suara rumah harus ditinggalkan. Tidak boleh ada sinar barang sedikitpun. Bapak meniup lentera sebagai penerangan terakhir yang dimatikan. Kami semua mengendap-endap ke sawah bersembunyi menunggu kentongan tanda aman dibunyikan.

Kejadian inilah yang selalu membuatku penuh ketegangan dan tentu saja dengan ketakutan. Menurut bapak itu tandanya ada bahaya serangan dari gerombolan Kartosuwiryo yang suka menjarah penduduk dan tidak segan-segan membunuh bila dipandang menantang atau rewel terhadap gerombolan.

Jika sudah begitu, meskipun kentongan aman sudah dibunyikan dan kami sudah kembali ke rumah, tetap saja aku tak bisa tidur. Pikiranku mencoba menghayalkan sosok-sosok gerombolan yang bengis menyandang bedil dan berselendang peluru serta membawa gobang atau pedang panjang yang tajam. Lalu aku jadi ingat tarian Bang Badot di Kawedanaan yang serem itu. Tidak bisa tidur ini didramatisir dengan gatalnya seluruh tubuh akibat masuk rumpun padi di sawah.

Ada obat ketegangan pelipur lara dari ketakutan akan gerombolan. Kalau ada liburan, ibuku mengajak ‘nyaba’ (travelling) ke kota, yaitu ke Cimahi. Inilah puncak kegembiraan hidup anak kecil di desa. Terbayang sudah bahwa kita akan menikmati jalan aspal hitam legam, bersih dan mulus dan tak berdebu. Di atasnya meluncur berbagai warna dan aneka jenis kendaraan yang bagus-bagus terutama sedan.

Di desaku, mobil yang lewat dalam sehari suntuk bisa dihitung dengan jari. Kalau aku lagi tidak enak badan, berbaring-baring saja di dipan, sambil menebak bis apa yang lewat. Pagi itu biasa bis ‘Djembar’, satu jam kemudian ‘Sukalaksana’ terus ‘Marga Laksana’. Agak siang dikit bis ‘Hoerip’ dan ‘Tjinta Manah’. Di kota mobil yang tidak bernama sungguh banyak lewat sehingga tidak kuat aku menghitungnya. Aku hanya mencoba membaca mereknya saja. Ada Dodge, Studebaker, Austin, Opel, Chevrolet, GMC, Ford, Power Wagon, Jeep dan Fiat.

“Besok kita ke Cimahi,” ujar Ibu

Aku terperangah mendengar berita paling bagus itu. Aku Cuma menganggukkan kepala pertanda suka. Lalu aku pergi membantu bapak menyiapkan oleh-oleh yang akan dibawa besok. Ibu ke dapur membuat penganan buat sarapan, buat di perjalanan dan juga buat oleh-oleh. Sungguh hari itu semua penghuni sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan ‘nyaba’ ke kota. Aku diam-diam memilih baju terbagus yang kumiliki. Sepasang celana pendek dan baju bekas ‘samen’ nampaknya masih keren untuk dikenakan. Sepatu? Dari kulit rusa atau apa saja, ku tak punyaaa …….!

Adzan subuh berkumandang. Aku dan bapak turun buat sembahyang di surau milik bapak. Terletak di muka rumah. Bangunan yang berkapasitas solat untuk 5 atau 6 orang saja. Menghadap ke kiblat. Ke barat tapi agak menyerong ke utara. Dinding terbuat dari anyaman bambu. Beratap genting tanpa langit-langit. Alasnya sehelai tikar anyaman daun pandan yang terhampar di atas ‘palupuh’, bambu yang dipecah-ratakan.

Usai sholat aku segera menyiapkan pakaian yang akan dikenakan. Ibu memanaskan makanan untuk sarapan sekalian memanaskan air buat mandi. Maklum udara di kaki bukit dingin menusuk tulang. Air sumur memang begitu.

Terang tanah aku sudah sarapan dan sudah tak sabar menantikan sang surya kenapa pagi ini matahari tidak gesit untuk segera bangun dan menyinari sawah kami. Aku kepengen segera naik ke bis lalu duduk dekat jendela agar kalau mobil melaju aku bisa menyaksikan orang-orang yang selalu menengok ke arah bis kalau mobil itu berlalu. Tapi itu masih harus lama menunggu. Dengan segala kegusaran, bunyi raungan mobil di kejauhan kunatikan. Kenapa tak pernah muncul?

Jam sembilan pagi bis Djembar baru datang. Bapak menyetop bis dengan mengangkat tangannya. Kernet bis dan supir sudah sangat kenal. Kernet cekatan membantu menaikkan bagasi tentengan ke atas bis . Kernet bertanya, : “Pak Iya ka Cimahi deui?” ujarnya dalam logat sunda yang medok. Bapak menjawab: “Iya”, ditambah dengan anggukan kepala.

Saya sama ibu sudah duluan masuk bis yang hari itu belum separonya terisi penumpang. Muatan memang biasanya penuh mulai terminal bis di alun-alun Cililin yang sebentar lagi disinggahi. Aku bangga duduk dekat jendela dan bisa melambaikan tangan kepada Ma Omi dan anak sulungnya, tetangga terdekat, yang akan berangkat ke sawah mengantar makanan.buat suaminya.

Betul dugaanku. Di terminal Cililin sudah banyak penumpang menunggu. Begitu berhenti langsung penumpang memenuhi bis. Mesin dimatikan sopir pun turun. Pedagang asongan menawarkan penganan dari jendela bis berebutan. “Ketan goreng, ketan goreng, anget …..,” teriakannya memekakkan telingan.

Ibu bilang nggak usah beli. Kita memang udah banyak bawa makanan, nanti kalau kepengen minta aja. Panganan ada dalam tas yang ibu tenteng dan diletakkan dekat kaki kursi bis. Aku mengangguk saja. Mataku berkeliling melihat orang-orang dewasa aneka ragam ada dalam bis. Hari itu rupanya hanya ada tiga orang anak kecil termasuk diriku. Sebagian mereka asyik ngobrol. Banyak di antaranya merokok daun kawung. Rokok lintingan sendiri dengan pembungkus dari daun aren yang sudah dikeringkan. Warnanya coklat krem. Lintingannya kecil sebesar gagang lidi. Tembakaunya ‘bako mole’ bikinan home industry yang aromanya sangat menyengat. Untung tidak dekat ibu. Ibu biasanya batuk kalau bapak merokok asapnya tak sengaja terhembus angin ke hidung ibu.

Lima belas menit berlalu sopir baru naik kembali. Kernet pergi ke depan bis untuk mengengkol bis. Bis-bis itu tidak berstarter listrik. Mesti dihidupkan dengan engkol besi berbentuk seperti L atau Z. Dua tiga kali diengkol baru bis bisa meraung. Petugas terminal melambaikan tangan dan bis meninggalkan alun-alun.

Masih ada tiga terminal lagi yang akan disinggahi. Prosesnya sama. Perjalanan akan terhenti sekitar lima belas menit di masing-masing terminal. Pedagang asongan, pergantian penumpang yang turun dan naik serta hingar bingar yang stereotype akan terdengar. Terminal itu ada di kampung Cihampelas, Batujajar dan Cimareme. Cimareme adalah hal yang paling kunanti. Itu karena Cimareme menjadi batas pergantian jalan dari jalan makadam berbatu-batu kemudian memasuki jalan Daendels yang beraspal mulus. Gabung dengan trafik yang datang dari arah barat atau Jakarta menuju Bandung.

Setelah Cimareme aku akan melewati Gadobangkong. Aku masih ingat di situ aku tak boleh lengah agar tidak kehilangan kesempatan menikmati pemandangan jalan kereta api di bawah jembatan. “He hee…. Jembatan Gadobangkong sungainya jalan kereta api”, guyonku dalam hati.”. Jalan kereta api Bandung-Jakarta lurus membentang melintang di bawah jalan mobil.

Tidak lama lagi Rancabelut akan dilewati. Itu berarti dua tiga menit lagi bis akan melintasi Cisangkan. Di sini, kalu sudah nambak tembok got berwarna putih ibu atau bapak akan teriak stop. Supir menginjak rem dan kami turun. Kernet sibuk emnurunkan bagasi dari atap bis. Kakek menghitung jumlah kolinya dan setelah berbasa-basi ucapan terima kasih bis tancap lagi.

Hari sudah terik. Jam satu siang saat itu. Bapak ternyata ‘kecepetan’ menyetop mobil. Tembok got yang nampak ini tembok got yang satunya. Mestinya tembok got yang kedua ketika jalanan mulai datar. Ini masih menanjak. Dengan banyak bawaan bapak dan ibu sibuk menenteng dan menggendongnya. Kami harus menambah jalan kaki sekitar enam ratus meteran. Aku berjalan terseok-seok padahal Cuma membawa bungkusan penganan yang kecil.

Rumah yang dituju di Cisangkan, Cimahi catnya biru. Aku sudah hapal di situ ada saudara yang akan menyambut. Setiap ke rumah itu aku selalu bingung. Paman atau kakak yang dikunjungi itu atau siapa?

Rumah ternyata sepi. Setelah diketuk dan teriak assalamualaikum baru Bi Idjah, pembantu rumah membukakan pintu. Bi Idjah mempersilahkan masuk: “Mangga …. Kalebet”.

Yang punya rumah muncul dari loteng bawah. Lalu menyambut kami. Aku diangkat dan diciumi. “Geus gede budak teh”, ujar ibu tersebut yang artinya sudah besar anak ini.

Aku cuma tersipu-sipu. Ibu itu selalu disebut oleh ibuku dengan sebutan Nyi Ena. Suaminya, biasa dipanggil Jang Momon, sedang dibengkel tempat kerjanya di Tagog. Kira-kira satu setengah kilometer lagi ke arah kota.

Ketika aku bilang sama ibuku bahwa aku mau pipis baru ibu tertawa keras. “Haa.. haaa… pantesan, Jang Hamjah jalannya terseok-seok. Lihat, lubang celana satu diisi dua kaki sedang lubang yang satu kosong. Kayak pakai rok sempit”.

Seisi rumah tertawa terbahak-bahak sampai orang yang disebut Nyi Ena itu mengeluarkan air mata. Kisah celana lubang satu isi dua kaki ini adalah kisah yang paling sering diceritakan almarhum ‘ibuku’ dan ‘Nyi Ena’ dalam berbagai kesempatan reuni.

Pada kunjungan kali ini ingatanku mulai tumbuh dengan baik. Setelah makan malam dan yang disebut “Jang Momon’ beserta pasukan bocah-bocah hadir aku baru menyadari posisiku. Di situ aku mendapat gambaran yang jelas. Yang disebut Jang Momon itu ternyata ayah kandungku. Bapak Iya itu ternyata kakekku. Ibu kandung sudah barang tentu yang disebut Nyi Ena, sedang Ema Tjitjih adalah nenekku. Aku anak ke empat. Yang terbesar, cowok, Ateng namanya. Kedua, cewek, Eem. Ketiga, O’om namanya. Cewek yang satu ini tinggal di Jakarta, seperti aku ia dibesarkan di kakek dan istrinya. Lho kakek yang mana?

Kakek dari bapak ada di Cililin yaitu Aki Ubed dan Nenek Mirah. Yang di Jakarta itu siapa?

Oh ternyata Aki Samir adalah bapaknya ibuku. Dulu Aki Samir menikah sama Ema Tjitjih nenekku. Punya anak semata wayang yaitu ibuku. Kemudian cerai. Kakek Samir ke Jakarta jadi pegawai Bank Indonesia dengan istri barunya bernama Ma Icih.

Ma Tjitjih dan Bapak Iya punya anak lagi namanya ‘Jang Nunu’ dan ‘Nyi Nonah’ yang sementara ini kukira kakakku. Mereka adalah paman dan bibiku. Di tempat Aki Samir dan Ma Icih kakakku yang nomer tiga dibesarkan.

Yang kelima, adikku, Tatang namanya. Kemudian, keenam dan ketujuh, dua balita yang gemuk-gemuk yang diasuh Bi Idjah, adalah Aep dan Ade dua cowok. Ateng dan Eem sekolah di SD Tagog, Cimahi. Tatang belum sekolah.

Kisah ini sebetulnya sudah pernah kudengar. Tapi saat itu aku nggak ngerti. Baru sekarang ini kupahami. Ternyata ibuku sekarang ini sesungguhnya nenekku. Bapakku adalah kakek (tiri)-ku.


1 comment:

Unknown said...

ada tambahan,ma Tjitjih menikah dengan aki Samir Mahmud mempunyai dua orang anak ma Ena (yoyoh nama kecilnya) dan Juariah yang meninggal karena sakit cacingan, usia 2-3 tahun. Oh iya aki Samir memiliki ayah namanya aki Suminta yang menikah dengan Hj Siti Nurliah mempunyai anak Ma Titi, aki samir Mahmud, Mih Ondeh, Oneung, Onder.