Friday, September 19, 2008

Aku, diriku, kisah delapan, Taneuh Angir versus Shampo



Pabrik shampo terbesar ada di desaku. Karena produksinya melimpah, istilah ekonomi tentang supply versus demand, disebut quantity-nya tak berhingga. Akibat quantity tak berhingga maka price alias harganya menjadi mendekati nol. Kenapa bisa begitu.

Ya, karena biaya operasinya nol rupiah pula. Alam di desaku telah menyediakan secara gratis. Pusatnya ada di tebing-tebing sawah daerah ‘ledok’ atau paling rendah di sawah terrasering.

Yang punya sawah tidak berkeberatan merelakan shampo tersebut diambil dari tempatnya sepanjang tidak merusak ‘galengan’ atau pematang sawah. Yang biasa mengambil adalah anak-anak perempuan, kecuali aku karena di rumah tidak ada anak perempuan kecil. Mengambil shampo itu di sawahnya Haji Mukbin dekat curug (air terjun) Tjidjengkol.

Shampo itu bernama ‘taneuh angir’. Taneuh itu tanah, angir itu keramas. Jadi tanah buat keramas. Warnanya kelabu, berbeda dengan tanah sekitarnya, lembek, liat seperti adonan bahan gerabah, butirannya sangat halus. Anehnya kalau kita gosokkan ke rambut dia mengeluarkan busa, meski tak bagitu banyak, seperti shampo (yang waktu itu tak pernah kulihat bendanya). Kalau dibilas maka rambut menjadi nyaman tidak berminyak lagi dan kalau sudah kering gampang disisir. Rambut enak jatuhnya. Cuma sayangnya tanpa aroma harum. Netral saja tidak berbau.

Satu orang anak mengambil satu kepalan tangan. Itu sudah cukup untuk memenuhi keperluan keramas seisi rumah selama satu minggu. Kalau sudah di rumah, ‘taneuh angir’ tiap pagi harus disiram agar tidak menjadi keras. Pengambilan yang ala kadarnya itulah yang membuat ekplorasi ‘taneuh angir’ tidak merusak habitat petani. Lagi pula tidak semua tebing ditemukan adanya ‘taneuh angir’.

Kegunaan lain, selain dipakai keramas, ia dapat pula dijadikan kerajinan tangan. Anak-anak biasa membuat asbak atau pot bunga kecil darinya jika ada tugas prakarya di sekolah.

Sekarang ladang tempat eksplorasi taneuh angir sudah tidak ada karena telah terendam proyek bendungan Saguling yang membendung sungai Citarum yang berpusat di daerah Desa Cijambu. Lagi pula, shampo kini telah masuk desa. Tidak ada lagi gadis-gadis yang memiliki rambut bak mayang berurai. Hitam legam, subur dan munjuntai hingga nyaris menyentuh tanah. Shampo membawa ke nuansa serba praktis dan moderen meski faktanya semakin banyak orang cepat ubanan, banyak ketombe dan botak. Waktu saya kecil, mencari orang botak itu susah sekali. Orang gundul banyak karena digundul itu, jaman saya dulu, gratis tis tiss ….



No comments: