Saturday, September 20, 2008

Aku, diriku, kisah ke sembilan, Cep A'an Komandanku

Cerita kali ini tergugah gara-gara membereskan saya punya dokumen. Ada selembar ‘idjazah’ yang warna kertasnya sudah menguning. Di situ tertulis Kursus Mengetik “Marigold”, dengan ‘systeem 10-djari’, Pemimpin R. Mansur Natasaputra.

Aku lulus ‘dalam udjian mengetik, jang diselenggarakan pada tgl. 4.8.’72 di Tjililin, Bandung’. Ijazah ini diberikan tanggal 18 Agustus 1972, katanya, ‘berhubung dengan nilai udjian jang ditjapainja’.

Di dalam ijazah ini ada empat tandatangan, satu pasfoto, dan ‘tjap 3 djari kiri’ pemegang. Tanda tangan, selain aku, ada pula tanda tangan pemimpin kursus dan dua orang penguji, yaitu ‘Nj. R. Siti Markamah’ dan ‘R. Muhd. Sujud Natasaputra, Bc. St.’. Selain cap tempat kursus, juga tertempel materai bernilai 25 rupiah.

Ijazah mengetik ini aku harus dapatkan dalam rangka melengkapi ijazah SMA dan Tata buku Bond A1 dan A2, sebagai bekal untuk melamar kerja seusai lulus SMA-ku di tahun 1969.

Jaman sekarang, apa perlu ijazah mengetik ini? Semua orang, meski dengan dua jari, tokh bisa mengetik berbagai tulisan, dari artikel, tesis, disertasi atau apa saja. Komputer dan telepon genggam telah memberi kebiasaan orang untuk pandai mengetik. Keterampilan mengetik sudah tidak menjadi suatu ‘competitive advantage’ bagi yang menyandangnya.

Akan halnya cerita kali ini, tidak akan berkisah di seputar ketik-mengetik. Aku hanya bernostalgia. Ketika masa kecil, di rumah pak Mansur Natasaputra inilah aku sering bermain-main bersama putra-putranya.

Permainan yang paling berkesan adalah tentara-tentaraan. Yang punya ide adalah Cep A’an, putra pak Mansur yang sebaya denganku. Anak-anak yang lain sudah lebih dulu ikut ‘Divisi Siliwangi Kancil’ ini. Aku, yang baru pindah dari Pasirmeong mendapat pangkat setrip merah dua. Katanya Prajurit Satu atau Pratu. Kewajibannya mengikuti perintah komandanku, Cep A’an, yang sudah Letnan Dua.

Yang menjadi penasehat dalam ketentaraan ini adalah Cep Tatang, kakaknya Cep A’an, yang waktu itu sudah remaja. Cep Tatang yang baik hati ini menjadi idola kami karena, di samping orangnya tidak pelit, juga permainan bola sepaknya bagus. Di kampungku ia bintang lapangan. Perwira administrasi, yang suka bikin pangkat, terbuat dari karton, adalah Cep Hendra dan Cep Erna.

Paling berbahagia kalau latihan dilaksanakan di Pasir Pogor, kebun nenas, jeruk dan pisang miliknya pak Mansur. Lokasinya kira-kira dua setengah kilometer dari markas. Di sini kebunnya luas. Banyak pohon rimbun sehingga strategis untuk bersembunyi atau mengatur pertahanan maupun serangan.

Teman-teman menyandang senapan laras panjang terbuat dari papan peti sabun, komandan menyelipkan pistol di ikat pinggangnya. Pistol Cep A’an bagus karena mainan beneran buatan toko terbuat dari seng yang dicat hitam mengkilap. Katanya oleh-oleh dari kakaknya yang suka ke luar negeri yang kerja di Permigas (sekarang Pertamina).

Aku? Ha.. haa… belum punya senapan. Cep A’an memberi tangkai pohon jambu yang dipotong dari halaman rumahnya (pohon ini sering saya panjat karena buahnya digratiskan, saking baiknya pak Mansur!). Tangkai jambu yang agak menekuk mirip senapan ini diberi tali sehingga aku bisa menyandangnya dengan gagah untuk maju ke medan pertempuran.

Dalam perang selalu Cep Tatang menganjurkan agar peleton pimpinan Ukasah berperan sebagai musuhnya. Peletonku, di bawah komando Cep A’an, menjadi pasukan TNI yang harus menumpas semua tentara musuh yang hendak mengganggu kemerdekaan RI. Untung aku jadi tentara republik. Kalo mati aku pasti jadi pahlawan. Mati? Gak apa-apa mati. Paling Cuma satu atau dua jam saja. Sesudah itu ibunya Cep A’an telah menyediakan nenas yang sudah dikupas. Nenas Cikalong besar-besar. Warna kulitnya nyaris ungu kehitaman, dagingnya putih, manis rasanya. Ehm … sekarang kok sudah cari nenas seperti itu. Yang mati maupun yang tetap ‘hidup’ sama-sama boleh makan nenas sepuasnya.

Kalau ada di markas, di dekat kolam Sumurbandung, para tentara yang istirahat boleh main kartu. Main ‘fourty-one’ adalah kegemaran kami. Kartu bagus itu hanya ada di rumah Cep A’an. “Pasti oleh-oleh dari luar negeri juga,” pikirku.

Di muka rumah Cep A’an ada kolam yang dikitari pohon-pohon cemara lilin yang pucuknya runcing-runcing. Rumah indah berhalaman luas dengan penataan yang elok, mencerminkan yang punya rumah emang priyayi. Semua serba bagus. Keluarga Mansur Natasaputra menjadi idaman keluarga harmonis dan moderen tanpa meninggalkan hal-hal yang tradisional.

Di rumah ini sudah mengenal industri minuman botol orange squash. Tutup botolnya yang sama dengan minuman pabrik menandakan pak Mansur mengenal teknologi. Saat itu, proses menutup botol seperti itu adalah suatu yang surprise.

Belakangan aku tahu, para komandanku, setelah dewasa Cep Tatang menjadi perwira di Kepolisian. Tatang Natasaputra, menantunya Ateng Wahyudi mantan Walikota Bandung, cukup terkenal di jajaran Polri. Cep A’an, nama panjangnya Sofyan Natasaputra, melanjutkan sekolahnya ke Akademi Pelayaran. Sekarang entah sudah jadi Syahbandar mana. Cep Hendra aku nggak dapet informasi. Tapi, yang bungsu, Cep Erna, sejak tahun 2007 dilantik menjadi Wakil Bupati Bandung Barat. Namanya Ernawan Natasaputra. Setahu saya sesungguhnya semua berawalan eR, alias Raden.

Paling mengejutkan, ibunda mereka, pengawas ujian mengetik 10 jari-ku, Ny. R. Siti Markamah, masih ada dengan usia 94 tahun di tahun 2008 ini. Beliau yang murah hati ini, masih sempat menerima sungkeman tatkala Cep Erna mau melaksanakan Pilkada Wakil Bupati Bandung Barat.



1 comment:

Fyra Catleya said...

Senang sekali baca ceritanya. Andai bisa ikut main saat itu.
saya cicitnya Ny. R. Siti Markamah, beliau sudah almarhumah sekarang. Baru kemarin putra pertamanya, Muhd. Sujud Natasaputra menyusulnya. mohon doanya, ya..
Terimakasih