Thursday, September 18, 2008

Aku, diriku, kisah lima, Samen

Ayam jantan memang sudah berkokok bersahutan. Tapi langit masih terlalu gelap untuk bisa ke luar rumah. Adzan subuh, bahkan bedug pun, belum bergema. Tapi aku sudah terbangun. Ingin segera bangkit dari tempat tidur namun lampu gantung belum dinyalakan kakek yang biasa menyalakannya sebelum pergi ke surau. Kutarik selimut agar aku bisa lelap kembali setidaknya sampai adzan subuh berkumandang. Tapi mata ini tertap terpicing. Waktu rasanya berjalan seret bagai gerobak dokar kakek kalau melalui tanjakan di kampung Bongas.

Hari itu adalah hari kenaikan kelas. Orang-orang menyebutnya ‘samen’. Menyambut hari istimewa itu aku sudah tidak sabar ingin segera pergi ke sekolah. Keinginan itu begitu menggebu karena di hari itu aku akan mengenakan baju baruku. Aku akan membasahi rambutku dan disisir nenek dengan model kalipso, kalau sekarang mirip Ronaldo eM yU.

Dengan uang tabungan yang tersimpan di celengan, aku diperbolehkan jajan sepuasnya. Kesukaanku sudah pasti adalah ‘harum manis’ makanan yang berbentuk kapas berwarna merah jambu terbuat dari gula yang dipanaskan dan diputar oleh pedagangnya seperti mengengkol mesin jahit. Rasanya manis ‘kerenyes-kerenyes’ di lidah.

Kemudian aku akan membeli limun instant yang dijajakan dalam pikulan pedagang. Aku selalu tertegun kagum manakala sebuah teko porselin berongga dua, dikucurkan ke gelas kosong. Kedua cairan isi teko tertuang dan akan bercampur di dalam gelas. Proses yang bagikan sulap terjadi yaitu keluarnya buih kecil-kecil dengan suara berdesis. Soda asam karbonat itu, kalau ditenggak, akan terasa bagaikan ratusan semut menggelitik lidahku. Hi..hii.. rasanya enak-enak gila gito lho!

Bangunan sekolahan pun sudah cantik bagai gadis bersolek. Kertas minyak merah putih, yang biasa kujadikan layang-layang, bergelantungan membentuk rangkaian mata rantai. Merah berselingan dengan putih dipasang berjuntai vertikal di lisplang bangunan dan senantiasa berputar-putar terkena pengaruh angin dan gravitasi.

Di sudut-sudut tiang, di ketinggian dua meteran, dipasang seikat karangan bunga sederhana berupa komposisi ranting-ranting beringin berdaun hijau dengan janur kelapa berwarna gading. Ada pula di situ bendera kertas merah putih yang dilem di tangkai bambu yanng sudah dibelah-belah dan diraut halus seukuran dua atau tiga kali besarnya lidi.

Pengeras suara sudah di pasang. Dua buah Load Speaker berbentuk corong, ukurannya lebih besar dari ember kaleng yang biasa digunakan mencuci, diikatkan di pojok bangunan. Mereknya tertulis dengan warna hitam “Toa” di atas warna biru agak kelabu. Satu dipasang di utara dan satunya lagi di selatan. Tangkai mikropon sudah berdiri di atas panggung. Ingin rasanya aku mencoba ngomong dengan kata-kata meniru orang-orang dewasa. “Tes …tes … haloouu….satu…dua ….tiga,” begitu biasanya. Aku ingin suaraku menjadi keras.

Panggung berkaki drum minyak tanah berdiri megah beralaskan papan kayu yang dihampari deklit. Hiasannya sangat elok. Di situlah nanti, satu demi satu, setiap wali kelas berdiri dan membacakan nomor urut dan nama siswa yang naik kelas. Saat inilah hal yang selalu paling menegangkan. Betapa tidak, jika nama kita tidak sebutkan itu artinya kita tidak naik kelas dan harus mengulang di kelas yang sama selama setahun lagi. ‘Ngendog’ istilahnya kalau kita mengulang itu. Ngendok artinya mengerami telur atau endog. Lalu anak yang tidak naik akan mengalami kesulitan. Kesulitan menaruh muka. Mau ditaro dimana muka ini akibat aib tak naik kelas.


No comments: