Saturday, September 20, 2008

Aku, diriku, kisah sepuluh, Si Jangkrik Panggilanku

Aku memang suka mencari jangkrik. Berjalan kaki ke kampung Sayuran di kecamatan Cihampelas, dengan jarak sekitar 5 atau 6 kilometer adalah hal yang lumrah buat ukuran anak-anak desa. Berbekal sepotong bambu patahan pagar, atau memang sengaja mematahkan pagar entah dari kebun siapa, kami bergerombol, disirami terik matahari, melewati pematang sawah, menyerbu ladang perburuan. Hunting dilakukan seusai petani panen padi dan membiarkan tanah sawahnya terjemur matahari. Jika sudah semingguan, di sela-sela tanah kering yang mulai merekah biasanya jangkrik bersembunyi.

Menurut Emif, temanku, jangkrik kalau siang hari, hawa sedang panas, dia istirahat di liang-liang persembunyiannya. Saat itu ia akan mudah ditangkap. Di kala sore hari atau malam jangkrik mulai berbunyi, berkomunikasi dengan sesamanya. Jangkrik yang bunyi hanya jangkrik jantan. Sulit ditangkap karena trengginas. Ia memiliki sayap tipis yang permukaannya tidak mulus rata melainkan bagai cetakan timbul bermotif. Jangkrik betina permukaan sayapnya rata sehingga tidak menimbulkan getaran sebagai sumber bunyi. Jangkrik yang laku di bursa para pecinta jangkrik hanya ada satu jenis saja. Ia disebut sebagai jangkrik kalung. Warna tubuhnya mulai dari yang hitam legam sampai ke yang merah tua mengkilap. Sebagai penandanya sangat gampang dikenali, jangkrik yang suka diadukan ini memiliki warna kuning di dekat tengkuknya. Jangkrik yang tidak memiliki kriteria di atas ditangkap hanya untuk menjadi santapan ayam kesayangan saja.

Jangkrik kalung juga menjadi barang komoditi. Ia diperjual-belikan. Di muka sekolahan biasa Mang Oman menawarkan jangkrik-jangkrik ini dilengkapi dengan rumah kerangkengnya yang terbuat dari bambu berventilasi. Di dalam kerangkeng jangkrik diberi makanan berupa rumput bernama ‘babakoan’ atau ‘gelang’. Adakalanya jangkrik diberi nasi putih. Habitat jangkrik harus sejuk agar dia senantiasa beringas dan siap bertarung menggunakan jepitan taring giginya yang lazim disebut ‘kokop’.

Sebelum jangkrik diadukan, terlebih dulu jangkrik diputar, menggunakan selembar rambut perempuan yang agak panjang, diselipkan di paha jangkrik, lalu secara hati-hati jangkrik diputar agar dia menjadi mabuk dan marah.

Jika ditaruh di kaleng bekas biskuit yang sudah dialasi tanah lembab maka mereka akan beradu bagaikan gladiator di jaman Romawi. Jangkrik yang terbanting dan dikejar-kejar tidak melakukan perlawanan lagi adalah jangkrik yang keok. Jangkrik yang menang mendapat pujian dan dia akan mendapat perhatian istimewa dari pemiliknya. Kalau dijual sudah pasti harganya di atas rata-rata.

Adakalanya jangkrik itu sempal atau copot pahanya. Itu bisa terjadi manakala cara meng-‘unda’, memutarnya, terlalu keras. Lepas paha juga bisa terjadi dalam arena karena kalah ‘kuda-kuda’ dan terbanting oleh lawan yang lebih kuat. Jangkrik yang lepas kaki belakangnya ini disebut ‘simping’. Jangkrik simping hanya dipelihara jika bunyinya masih bagus. Jika tidak, nasibnya akan sama saja dengan jangkrik jenis non kalung, menjadi santapan si jago kluruk.

Berulang kali ketemu pak Haji Safe’i, atau lurah Syahlun, aku pasti dipanggil Si Jangkrik. Apakah aku terkenal karena jago mengadu jangkrik? Ha..haa… ternyata aku dalam masalah perjangkrikan selalu menjadi the looser. Berburu jangkrik di sawah atau di tepi sungai Ciminyak yang banyak batunya – jangkrik biasa juga bersembunyi di balik batu-batu – aku selalu luput. Dalam mengadu jangkrik, biasanya jangkrik hasil beli dari Mang Oman, aku juga selalu kalah karena tidak piawai memilih jangkrik adu yang baik. Tapi mengapa banyak orang tua memanggilku dengan sebutan si jangkrik?

Ternyata aku dipanggil si jangkrik semata-mata hanya karena bapakku. Bapak memliki truk pengangkut sembako. Mesinnya bermerek GMC. Baknya terbuat dari kayu dan diberi tulisan indah, “Si Jangkrik”. Gara-gara truk sembako inilah aku selalu dipanggil si jangkrik. Waktu itu, di desaku, nama bis atau truk gampang dikenal. Itu karena populasinya bisa dihitung dengan jari.



No comments: