Friday, September 19, 2008

Aku, diriku, kisah tujuh, Dari Pasir Meong ke Sumurbandung

Suatu ketika usaha bapakku di Cimahi menjadi seret. Ia memutuskan untuk mengambil jurus ‘kembali ke desa’. Bapak membangun sebuah rumah batu di kampung Sumur Bandung, suatu kampung paling ‘kota’ di desaku. Di samping padat, di situ banyak berkumpul para pemuka desa dan beberapa di antaranya orang kaya. Di kampung ini listrik sudah ada. Radio Philips yang punya mata kucing, tentu saja radio teknologi tabung listrik, sudah berkumandang.

Kalau ada siaran piala Thomas, tetangga-tetangga yang belum punya radio bergerombol ikut mendengarkan siaran ini. Kadang-kadang ekspresi mereka sungguh lucu. Ada penyesalan ada juga kepuasan manakala Indonesia unggul.

Kepindahan ayahku ke Cililin itu ketika aku duduk di kelas empat. Aku bergabung dengan keluarga baru di rumah bagus yang berlistrik dan banyak anak-anak sebaya di kiri kanan rumahku.

Pasirmeong ku tinggalkan. Itu tidak terlalu menyedihkan karena tiap hari aku bisa saja main ke Pasirmeong karena jaraknya cuma satu setengah kilometer saja.

Rumah batu gentengnya tebal sehingga bias saja aku menginjaknya manakala mengambil layang-layang yang kebetulan jatuh di genting rumahku. Rumah batu enak. Lantainya dari tegel berwarna abu-abu. Kamar mandi dan sumur ada di dalam rumah. Tidak seperti di rumah nenek kamar mandi dan wc ada di luar sehingga kalau malam hari takut deh pergi ke kamar mandi.

Rumah batu terasnya luas memanjang sehingga kalau sedang dicuci aku bias luncur-luncuran di atas lantai basah. Di rumah ini pasti akan banyak kenangan yang akan ditorehkan.

Kampung ini namanya Sumurbandung. Di tengah-tengah kampong, konon dari dulu kala, ada mata air yang senantiasa menggelegak mengocorkan air jernih jang bersih. Bentuknya menyerupai kolam besar. Di sisi timur ada pohon nangka raksasa yang kata orang sudah usia puluhan bahkan mungkin sudah seratus stahun. Pohon ini meneduhi kolam karena tumbuhnya condong ke kolam. Ia sudah tidak pernah berbuah lagi saking tuanya. Pohonnya sendiri banyak ditumbuhi bunga-bunga liar seperti Kadaka dan Anggrek. Di dalam kolam ada tiga atau empat ikan mas besar yang dikeramatkan. Tiada orang yang berani mengganggunya.

Di sisi barat didirikan bangunan tembok beratap untuk mandi dan berbagai keperluan nyuci. Berkamar-kamar luas untuk wanita maupun untuk laki-laki. Di sini banyak penduduk memanfaatkannya. Tidak heran setiap saat kolam yang diberi nama Sumurbandung ini senantiasa rame. Mulai pagi hingga magrib. Kepopuleran sumur atau kola mini menjadikan kampung di situ dinamakan kampung Sumurbandung.



No comments: