Thursday, September 18, 2008

Aku, diriku, kisah satu




Wakhid itu satu alias Ahad. Jadi hari pertama dalam sepekan itu adalah Ahad atau Minggu. Aku, kata Nenek, lahir di hari ke lima, alias Khomsah. Itulah sebabnya aku dinamai Hamzah.

Aku sendiri nggak begitu tahu nulisnya gimana. Aku nggak punya Surat Keterangan Kelahiran apalagi Akte. Di Ijazah eS eR-ku tertulis nama Hamdjah. Sebagai seorang anak kecil di kampungku aku biasa dipanggil oleh orang yang lebih tua dengan panggilan khas Sunda, Jang Hamjah.

Ijazah SR? Sebetulnya tidak ada kata ijazah dalam selembar kertas penting berukuran A5 alias separonya kertas HVS yang biasa digunakan dalam surat menyurat di kantor itu. Kata-kata yang terukir di sana adalah Surat Tamat Belajar Sekolah Rakyat Negeri 6 Tahun. Nama sekolahku, lengkapnya, Sekolah Rakyat Negeri 6 Tahun No. 3 Cililin, Kabupaten Bandung.

Ijazah SR yang berlatar belakang lambang negara Garuda dan tulisan Republik Indonesia itu bertanggal 17 Juli 1963. Ditandatangani oleh Kepala Sekolah, disyahkan oleh Penilik Sekolah Wilayah. Tidak ada pasfoto di dalamnya. Yang ada hanyalah cap jari. Tiga jari tangan kiri terdiri dari jari manis, tengah dan telunjuk. Di situ tertulis pula Nomor Daftar Induk yaitu 674. Aku, katanya, lahir di Cililin pada tanggal 6 Juli 1950 anak Tuan Momon.

Benarkah aku dilahirkan tanggal 6 Juli 1950 di Cililin? Di KTP sekarang aku dikatakan lahir di Bandung tanggal 13 Maret 1952.

Aku nggak begitu ingat kapan mulai sekolah. Tapi secara matematis, kalo dihitung mundur, aku masuk sekolah SR bulan Juli 1957. Untuk genapnya, barangkali, lalu aku didaftarkan sekolah dengan usia yang layak saat itu yaitu 7 tahun. Maka tahun 1950 dipandang pas untuk dijadikan tahun kelahiranku.

Aku merasa usiaku saat masuk sekolah itu kayaknya masih kurang dari 7 tahun. Samar-samar masih ingat, kalo hari-hari awal aku masuk sekolah masih minta digendong di punggung nenekku. Kalo usiaku saat itu lima tahun kayaknya lebih pas. Tapi, kalau jujur, pasti belum diperbolehkan untuk masuk sekolah.

Usia lima tahun itu lebih diperkuat lagi karena saat itu aku juga pernah “kababayan’ menurut orang Sunda. Kababayan itu tidak ada kaitannya dengan kisah tokoh lucu Si Kabayan dalam cerita dari Jawa Barat, tapi itu lho, Be A Be tapi tak sempat buka celana. Kecirit kata orang Jawa. Peristiwa ini membuat aku menangis menanggung malu dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Untunglah nenek sudah datang buat jemput aku sehingga urusan yang satu itu diselesaikan oleh nenek. Itulah ‘salah dua’ yang masih ingat dalam memoriku tentang hari-hari perdana masuk sekolah, digendong dan ‘kababayan’.

Kapan aku diwisuda dari Taman Kanak-kanak dan Play Group?

He..hee…. waktu itu belum ada TK apalagi Play Group di desaku. Di SD atau SR-ku saja kelas I itu hanya ada satu kelas yang dihuni sekitar 32 orang. Tidak banyak anak-anak yang ada. Kesadaran penduduk desa untuk menyekolahkan pun masih kecil.

Memoriku yang merekam adegan-adegan masa kecilku sebelum masuk SR nyaris tak ada. Hanya ada dalam jumlah kecil saja. Alat yang mampu membantu untuk men-trigger memori kita seperti foto masa kecil aku tak punya. Apalagi rekaman video. Televisipun belum ada.

Dulu aku pernah ditunjukkan oleh Nenek sebuah foto hitam putih yang sudah berwarna keruh di album mendiang kakakku yang paling sulung. Dalam foto keluarga itu aku digendong nenek. Pakai topi dan mengenakan sepatu serta berkaos kaki.

Selain nenek, dalam foto kenangan itu, ada ibu dan ayah serta kakakku. Foto itu dibuat di dalam studio yang berlatarkan layar berupa lukisan pemandangan alam. Nampak sekali bahwa untuk berfoto seperti itu semua peserta obyek mempersiapkan dirinya masing-masing dengan mengenakan properti yang terbagus yang dimilikinya. Garis-garis lipatan setrika di baju ayahku nampak jelas. Meski tak berwarna, kerudung yang dikenakan nenek jelas kerudung yang belum ‘bulak’ warnanya alias kerudung baru.

Seandainya foto itu masih ada aku mungkin bisa bernostalgia dan mereka-reka seperti apa nuansa yang ada saat itu. Satu yang paling aku ingat, nenek senantiasa tertawa terkekeh-kekeh, bahkan pernah sampai keluar air matanya, manakala menceritakan hal yang lucu dari potret itu. Sepatu mungil yang sangat indah yang kupakai itu ternyata terbalik. Sepatu kiri digunakan di kanan dan sepatu kanan digunakan sebaliknya. Meski foto itu tidak terlalu besar, kira-kira ukuran 3R lebih kecil dikit, kalau diteliti masih kelihatan kejanggalan letak sepatu itu. Aku cuma mampu tersenyum tanpa komentar karena peristiwa potret itu aku tidak dapat mengingatnya barang setitikpun. Terlalu kecil buatku sehingga memoriku belum berfungsi.

Sepatu mungil terbalik itu ternyata propertiku yang terindah satu-satunya. Sejak itu aku tak pernah melihat atau mendengar cerita atau bahkan aku sendiri yang mengingatnya, akan adanya sepatu lain. Aku tahu pasti sewaktu di bangku SR aku selalu ‘nyeker’ alias telanjang kaki seperti juga kebanyakan anak-anak desa teman sekolahku.

Kalau musim hujan, sebelum masuk kelas, semua murid harus membersihkan tanah liat yang masih terselip di antara jari-jari kaki. Aku selalu mematahkan tangkai pohon beluntas yang tumbuh sebagai pagar halaman sekolah. Dengan tangkai kayu itu proses melepaskan tanah liat dari jari kaki menjadi sangat lancar. Berkali-kali proses itu berulang, setiap musim penghujan tiba, sampai suatu hari penjaga sekolah melarang dengan alasan perbuatan itu membuat pagar sekolah menjadi tidak cantik lagi. Akupun menurut dan beralih mencari kayu kering di muka rumah tetangga sekolah.

Sekolah berpagarkan pohon perdu ini aku tempati sampai kelas tiga. Saat kelas empat aku pindah lokasi ke bangunan sekolah yang baru. Letaknya lebih jauh dari rumah nenek. Kalau dulu sekitar 600 meter, sekarang menjadi satu kilometeran. Tapi itu berada di lokasi yang paling pusat di desaku. Cililin adalah sebuah kelurahan yang diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir di sisi timur. Selain digunakan sebagai nama kelurahan juga dipakai sebagai nama kecamatan dan bahkan nama kewedanaan saat itu. Kabupatennya ikut Bandung. Berada di karesidenan Priangan Barat (?) dan provinsi Jawa Barat.

Sebagai kota mikro, lebih kecil dari kecil, tatanan kota atau kerennya planologi mengikuti umumnya kota-kota prototype buatan Belanda. Sekolahku dekat alun-alun sebagai titik nolnya kota. Alun-alun berbentuk empat persegi panjang membujur dari barat ke timur dengan dikelilingi jalan. Di sisi barat berdiri megah mesjid agung. Di sisi selatan ada kantor Kewedanaan dan ‘nunut’ di halamannya ada sebuah Kantor Pos ukuran kecil yang diawaki cuma oleh dua petugas PTT. Di sisi timur terdapat sekolah. Ada dua SR di situ SR No.1 dan No. 4. Sekolahku, karena baru, tidak terdapat di lingkaran pusat kota itu tapi hanya seratus meter saja jaraknya dari alun-alun.

Di sisi utara, menempel pada garis tepi alun-alun terdapat terminal bis. Bis-bis berjejer, kira-kira paling banyak enam bis, menghadap ke utara. Terminal itu juga melayani transito dari Gununghalu dan Sindangkerta yang sama-sama menuju ke Bandung melalui Cihampelas, Batujajar, Cimareme dan Cimahi. Di sisi utara, menghadap ke terminal terdapat semacam ruko beberapa bangunan batu yang menjual barang-barang kelontong. Dua bangunan di antaranya sudah bertingkat dua. Yang aneh di terminal itu adalah ruko miliknya Haji Hasan. Ia tidak menjual makanan jadi atau oleh-oleh yang digemari calon penumpang, tapi justru dia menjual daging kerbau mentah yang memiliki aroma khas kalau aku bermain berputar-putar berpegangan pada pipa besi yang menyangga teras loteng di muka toko itu.


No comments: